Sabtu, 5 Oktober 24

Tiga Sebab Kudeta PKI 1965 Gagal

Tiga Sebab Kudeta PKI 1965 Gagal
* Museum peristiwa G 30 S/PKI. (Antara)

Oleh: Abdul Rohman Sukardi, Penulis Buku “G30S-PKI: Soekarno-Soeharto Berenang di Antara Dua Karang”

 

Masa lalu merupakan “spion kesejarahan”. Untuk sesekali kita tengok. Diambil pelajaran.

Hal-hal positif dilanjutkan. Hal-hal negatif ditinggalkan. Kesalahan-kesalahan dihindari perulangannya. Baik pada masa kini, maupun masa datang.

Itulah makna refleksi kesejarahan.

September selalu menjadi momentum refleksi kesejarahan kelam bangsa ini. Atas peristiwa kudeta PKI 1965 yang tidak perlu terulang kembali.

Ketika jumlah jenderal terbunuh menempati rekor terbanyak dalam sejarah modern. Hanya berlangsung singkat. Sepertiga malam.

Peristiwa itu dilanjut tragedi civil war. Antara anggota dan simpatisan PKI dengan massa non komunis. Korbanya hingga ratusan ribu. Bukan hanya dari anggota komunis saja.

Kenapa kudeta itu gagal?. Bukankan PKI partai komunis terbesar ke-3 di dunia kala itu. Jaringan internasionalnya kuat. Tersebar pada belahan dunia yang luas. Terutama dimotori Soviet dan RRC?

Kegagalan kudeta itu menjadi dalih simpatisan dan kader-kader PKI. Untuk menolak kemungkinan keterlibatannya pada peristiwa 1 Oktober 1965. “Mustahil partai selihai itu gerakanya mudah dipatahkan”. Begitu dalihnya.

Bahkan terdapat opini-opini yang menyatakan kudeta itu sengaja diskenario gagal. Dengan mengambinghitamkan PKI.

Intinya untuk cuci tangan lumuran darah PKI dalam peristiwa itu. Menghapus dosanya sendiri dan mendosakan pihak lain.

Sudah 59 tahun peristiwa berlalu. Kita bisa melakukan analisa post factum. Menggunakan sumber-sumber data yang telah bertebaran dalam kurun waktu itu. Setidaknya ada tiga sebab kenapa PKI gagal dalam kudeta 1965.

Pertama, terbunuhnya tiga Jenderal TNI di kediamannya. Yakni Jenderal A. Yani, Brigjen D.I. Panjaitan, Mayjen Haryono MT. Peristiwa pembunuhan di kediaman A. Yani dikabarkan pembantunya, Mbok Milah. Menghubungi Ajudan A Yani, Mayor Soebardi.

Mayor Subardi menghubungi Mayor Soedarto di Kediaman S. Parman. S. Parman ternyata juga diculik. Keduanya kemudian menghubungi Pangdam Djaya Umar Wirahadikusumah. Pangdam itu meneruskan informasinya ke Pangkostrad Jenderal Soeharto.

Terbunuhnya ketiga jenderal itu membuka kamuflase doktrin G30S/PKI: “menjemput para perwira yang tergabung dalam Dewan Jenderal, untuk dihadapkan pada presiden, atas perintah presiden”.

Akan tetapi jam-jam pertama peristiwa itu, lingkaran elite militer non komunis sudah mengetahui. “Penjemputan” itu ternyata sebuah pembunuhan. Informasi itu memunculkan inisiatif melakukan tindakan.

Baik pada taraf sederhana dalam bentuk mencari informasi. Termasuk konsolidasi dan siaga untuk tidak mengalami nasib seperti para jenderal pimpinannya itu.

RPKAD Sarwo Edi Wibowo merupakan loyalis Jenderal A Yani. Bersiap-siap menuntut balas kematian koleganya. Jenderal Soeharto sesuai standing order mengamankan komando militer ketika Jenderal A. Yani berhalangan.

Pembunuhan itu merobek doktrin Aidit: “pengendali inisiatif akan menentukan kemenangan gerakan”. Pembunuhan itu menjadikan gerakan PKI bukan satu-satunya inisiatif. Implikasinya memunculkan inisiatif imbangan. Baru pada jam-jam pertama gerakan. Para jenderal non komunis sudah mengambil kendali inisiatif melakukan perlawanan.

Berbeda ketika tidak ada peristiwa pembunuhan. Para Jenderal non komunis hanya akan bertanya-tanya berkepanjangan. Di mana para jenderal pimpinannya itu kini berada. Di mana tempat para jenderal dihadapkan presiden?

Kedua, kegagalan G30S-PKI “menyandera” Presiden Soekarno. Brigjen Soepardjo ditugasi menjemput Presiden Soekarno dari Istana. Menggunakan helikopter untuk diterbangkan ke Bandara Halim tanpa pengawalan. Di kawasan Bandara Halim itu sudah bertebaran para pendukung G30S-PKI.

Presiden Soekarno pagi 1 Oktober 1965 itu tidak dijumpai Soepardjo di Istana. Ternyata menginap di kediaman Ibu Dewi. Apakah Presiden Soekarno sudah mengetahui rencana penjemputan itu?. Tidak tersedia info dari beragam data yang ada. Hal pasti para pimpinan PKI menganggap Presiden Soekarno berada di Istana. Untuk itu dijemput di Istana.

Pada detik ini, inisiatif gerakan telah bertambah menjadi tiga pihak. PKI, elite tentara non komunis (Mayjen Soeharto, cs), dan Presiden Soekarno. Khususnya semenjak rombongan presiden mendengar komunike Untung di radio. Dinyatakan bahwa Presiden berada dalam pengamanan G30S. Ternyata presiden bersama rombongannya sendiri.

Presiden Soekarno kemudian menuju Kawasan Halim dengan iringan-iringan pengawal. Alasannya untuk dekat dengan pesawat ketika diperlukan. Presiden Soekarno leluasa memanggil sejumlah menteri kabinetnya. Tidak dalam kendali mutlak para penggerak G30S-PKI.

Pada pukul 9.50 Soepardjo kemudian melapor kepada Presiden Soekarno di Halim. Bahwa gerakannya telah mengamankan dewan jenderal yang hendak mengudeta. Presiden Soekarno menanyakan bukti-bukti. Tidak bisa dijawab oleh Soepardjo. Presiden kemudian menginstruksikan penghentian tembak-menembak.

Ketiga, kurang detailnya persiapan teknis militer G30S-PKI. Diasumsikan ketika para jenderal elite TNI sudah diamankan, TNI ibarat naga tanpa kepala. Tinggal diganti pimpinan yang pro PKI. Disiapkanlah Pranoto Rekso Samudro.

Ternyata sekenario itu berantakan. Pimpinan TNI diambil alih Mayjen Soeharto. Sesuai standing order. TNI melakukan serangan balasan kepada G30S-PKI. Pasukan G30S tidak siap menghadapi serangan balik itu. Salah satunya tidak disiapkan logistik secara memadai.

Pasukan-pasukan G30S-PKI banyak yang berhasil disadarkan Kostrad. Untuk berpihak melawan PKI.

Mayjen Soeharto memang kurang diperhitungkan secara politik kala itu. Akan tetapi urusan tembak-menembak, dia jagonya. Ia didikan KNIL dan PETA. Ia perencana teknis dan komandan Serangan 1 Maret 1949. Ia juga perencana dan komando Mandala perebutan Irian Barat. Jenderal pimpinan perang atas tiga matra pasukan sekaligus.

Walau tidak tersedia banyak pasukan, karena ditugaskan di Kalimantan. Mayjen Soeharto bukan imbangan para pimpinan PKI. Dalam urusan perang.

Ketiga hal itulah kenapa gerakan itu mati muda. Belum genap 12 jam, G30S-PKI berantakan. Menjadi kudeta yang paling singkat dalam sejarah modern.

Jakarta, 25 September 2024

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.