Minggu, 8 September 24

RUU TNI: Jalan Mundur Reformasi Militer

RUU TNI: Jalan Mundur Reformasi Militer
* Pembahasan RUU TNI dianggap membawa mundur semangat mereformasi militer. Prajurit dibolehkan berbisnis dan bisa menduduki jabatan sipil. (Ilustrasi/Anadolu/Antara)

Obsessionnews.com – Revisi Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 2004 tentang TNI membawa reformasi militer berjalan mundur. Terlebih adanya usulan menghapus norma militer dilarang berbisnis dan membuka peluang prajurit TNI menduduki jabatan sipil.

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie mengatakan, pembahasan RUU TNI mulai mengkhawatirkan ketika adanya perluasan pasal perubahan. Mulanya terfokus pada Pasal 47 mengenai jabatan sipil dan Pasal 53 terkait batas usia dinas, kini merambah pada pasal-pasal lain.

Baca juga: Bahas RUU TNI-Polri, Pemerintah-DPR Jangan Tutup Telinga

“Sorotan utama terdapat dalam usulan perubahan pada dua Pasal, yakni Pasal 39 melalui penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit TNI dan Pasal 47 yang membuka ruang perluasan bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini,” kata Ikhsan di Jakarta, Senin (15/7).

“Usulan perubahan pada dua Pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat,” tambahnya.

Dia menganggap perubahan dua pasal tersebut kontradiktif dan tidak relevan dengan upaya penguatan TNI dalam menghadapi perkembangan spektrum ancaman yang semakin luas. Usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI misalnya, potensi menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara.

Baca juga: DPR Jangan Lanjutkan Pembahasan RUU Krusial

“Jika sebelumnya hanya pada bidang sosial-politik, melalui usulan ini bertambah pada bidang ekonomi,” kata dia.

Komisi I DPR telah menyatakan usulan tersebut di luar dari draf RUU TNI. Pencabutan norma larangan anggota TNI berbisnis berasal dari argumentasi yang lemah, dengan menyontohkan prajurit yang berasal dari keluarga berbisnis.

“Argumentasi keniscayaan keterlibatan prajurit TNI berbisnis apabila anggota keluarganya berbisnis, seperti membuka warung, memperlihatkan ketidaksesuaian antara norma yang ingin dihapus dengan konteks yang diberikan. Keterlibatan prajurit dalam membantu anggota keluarga dalam konteks demikian tentu tidak berdampak terhadap penggunaan atribut atau aspek keprajuritan lainnya, seperti kewenangan komando,” ujarnya.

Argumentasi tersebut, kata Ikhsan, berbeda konteks dengan norma Pasal 39. Mencabut norma larangan berbisnis bagi anggota TNI sebagai dalam Pasal 39 justru dapat berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar, menjauhkan TNI dari profesionalitas, dan potensial menjerumuskan TNI ke dalam praktik-praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi beking sebuah entitas bisnis.

Baca juga: Soal Revisi UU TNI, Imparsial Tuntut Audiensi

“Oleh karena itu, yang dibutuhkan pada perubahan Pasal 39 adalah memberikan ketentuan lebih rinci mengenai definisi dan batasan bisnis yang dimaksud, misalnya dalam penjelasan pasal tersebut, bukan dengan menghapus larangan terlibat dalam kegiatan bisnis bagi TNI,” tuturnya.

Dirinya juga menyoroti penambahan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (2) RUU TNI yang meruntuhkan pembatasan kementerian/lembaga (K/L) yang sebelumnya disebutkan secara spesifik. Perubahan yang diusulkan berupa penambahan ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada K/L lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.

“Tidak terdapat jaminan bahwa ketentuan ini hanya untuk K/L lainnya yang berkaitan dengan pertahanan negara,” keluhnya.

Perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dikhawatirkan membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer. Dampak jangka panjangnya menimbulkan hutang budi politik karena semua ruang-ruang K/L tersebut dibuka berdasarkan kebijakan presiden, yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi pemilu.

Dia meminta pembahasan RUU TNI untuk ditunda. Tidak dipaksakan apalagi disahkan pada akhir periode pemerintahan dan DPR sekarang ini. Kalaupun dianggap penting, revisi seharusnya fokus pada penguatan pertahanan dan membangun tentara yang profesional.

“Kepercayaan publik dan citra institusi TNI yang tinggi di mata publik harus terus dijaga dengan merawat dan melakukan penguatan agenda-agenda reformasi TNI, sehingga TNI menjadi tentara yang kuat dan profesional di bidang pertahanan negara,” ujarnya. (Erwin)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.