Kamis, 19 September 24

Pilpres Satu Putaran Hemat Biaya, Tapi MK Langgar Kewenangan?

Pilpres Satu Putaran Hemat Biaya, Tapi MK Langgar Kewenangan?

Jakarta – Nampaknya, terdapat korelasi antara keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan Pilpres 2014 digelar satu putaran dengan dampak ekonomi khususnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan kurs rupiah. MK memutuskan Pilpres digelar satu putaran dalam sidang putusan pengujian konstitusional Pasal 159 ayat (1) UU No.42/ tentang Pilpres, Kamis (3/7) siang.

“Pasal 159 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai dan tidak berlaku hanya terdiri dua pasangan calon,” kata Ketua MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusannya bersama hakim konstitusi lainnya.

Begitu keluar putusan MK tersebut, sehari kemudian IHSG mengalami kenaikan. Pada Jumat (4/7) pukul 16.00 WIB, IHSG ditutup pada level 4.905,83 atau naik 0,35%. Sementara itu, kurs Rupiah terhadap dolar AS menguat 0,38% ke Rp11.873/US$.

Artinya, putusan MK ini secara signifikan berdampak positif bagi ekonomi Indonesia. Apalagi, menurut Menko Perekonomian Chairul Tanjung, Pilpres yang berlangsung satu putaran akan menghemat anggaran negara untuk pemilu. Selain itu, pilpres satu putaran juga berdampak besar bagi perekonomian Indonesia. “Dampaknya tentu sangat besar bagi Indonesia, tentu dampaknya positif,” kata Chairul, Jumat (4/7).

Menurutnya, pilpres satu putaran akan membuat kepastian bagi dunia usaha termasuk investor asing. “Tentunya ada kepastian, baik bagi swasta maupun investor asing, ekonomi akan tumbuh, investasi akan lebih banyak masuk ke Indonesia,” tandas Chairul.

Sementara ditinjau dari efisiensi anggaran negara, biaya juga akan lebih rendah kalau pilpres digelar satu putaran. Ketua KPU Husni Kamil Malik mengatakan, KPU telah mengalokasikan dana sebesar Rp7,9 triliun untuk pelaksanaan Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014.

Husni menyebutkan dana sebesar Rp7,9 triliun itu dibagi atas dua bagian. “Rp4,01 triliun akan digunakan untuk pengadaan barang dan jasa keperluan logistik pemilu, bimbingan teknis pemungutan suara dan perhitungan suara, fasilitas kampanye, pelaksanaan pemungutan dan perhitungan suara, serta rekapitulasi perhitungan suara dan penetapan hasil pemilu pilpres tahap pertama,” jelasnya.

Jika ada tahapan pilpres putaran kedua, lanjut dia, telah dialokasikan sebesar Rp3,929 triliun. “Angka ini untuk pengadaan barang dan jasa untuk pengadaan barang dan jasa keperluan logistik pemilu, pelaksanaan pemungutan dan pengitungan suara, rekapitulasi penghitungan suara dan penetapan hasil pemilu,” terangnya.

MK Langgar Kewenangan
Namun, dari segi tinjauan hukum, Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai, MK menyalahi prosedur memutuskan Pilpres satu putaran. Ia menilai, uji materi Pasal 159 ayat 1 UU Pilpres melampaui kewe¬nangan MK. “Keputusan MK mengabulkan permohonan uji materi dan me¬nyatakan pasal tersebut inkons¬titusional bersyarat telah menga¬caukan sistem ketatanegaraan Indonesia,’’ tegasnya.

“Pasal 159 ayat 1 UU Pilpres yang diuji materi Forum Pengacara Konstitusi, bunyinya sama dengan Pasal 6A ayat 3 UUD 1945. Bagaimana bi¬sa dibilang bertentangan. Bagai¬mana pasal itu dinyatakan condi¬tionally constitutional atau konstitusional bersyarat,” tambah Yusril.

Untuk itu, lanjut Yusril, putu¬san MK mengenai pilpres satu pu¬taran bisa disebut sebagai mem-buat norma baru dalam UU bahkan UUD dalam putusan uji materil. “Kewenangan merumuskan norma dalam undang-undang kan hanya dimiliki Presiden dan DPR. Sementara kewenangan me¬rumuskan norma UUD di¬miliki MPR. Mereka (MK) ber¬tin¬dak melampaui batas ke¬wenangannya,” paparnya.

Padahal, tegas Yusril,  kewenangan merumuskan norma UU adalah kewenangan Presiden dan DPR. “Merumuskan norma UUD adalah kewenangan MPR. MK seringkali bertindak melampaui batas kewenangannya, dan ini bikin kacau sistem ketatanegaraan kita,” tegasnya.

Harusnya, lanjut Yusril, biar saja kevakuman hukum tentang Pilpres yang hanya diikuti dua pasangan berjalan, dan lihat sikap KPU. Kalau KPU menyatakan salah satu pasangan telah memeroleh suara terbanyak, walau dukungan sebaran provinsi belum terpenuhi sebagai pemenang dan tidak perlu dilakukan putaran kedua, maka yang kalah tentu akan menggugat keputusan KPU itu ke MK.

Sebaliknya, kata Yusril, kalau KPU memutuskan bahwa walaupun satu pasangan sudah dapat suara terbanyak, dan belum memenuhi dukungan sebaran povinsi dinyatakan belum menang dan harus dilakukan putaran kedua, pihak ini dapat menggugat putusan KPU itu ke MK. “Di situlah MK akan memutuskan mana yang harus dilakukan KPU kalau peserta Pilpres hanya dua pasangan,” tandasnya.

Menurut Yusril, MK seharusnya melakukan penemuan hukum ketika memutus perkara perhitungan suara Pilpres. Itulah yang tepat, bukan membuat tafsir sendiri, atau merumuskan norma hukum baru melalui perkara pengujian UU. “Saya berpendapat cara MK mengatasi kevakuman hukum Pilpres dua pasang ini keliru prosedur,” paparnya sembari menilai, keputusan MK tersebut berpotensi memecah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Senada pula, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid menyayangkan putusan MK terkait UU Pilpres yang mengabaikan suara daerah dengan menghilangkan keterwakilan suara rakyat di daerah seperti dijelaskan dalam ayat 3 dan 4 UU Pilpres. Di mana 20 % suara di setidaknya di 50 % wilayah Indonesia itu sebagai langkah untuk mengawal NKRI. Karena itu, suara sekecil apapun meski di daerah terpencil di luar Jawa itu sangat penting.

Namun, Direktur Eksekutif Lembaga Survey Nasional (LSN) Dr Umar S Bakry meyakini Pilpres 9 Juli 2014 nanti, hanya berlangsung satu putaran. Pasalnya, peserta yang mengikuti Pilpres hanya dua pasang Capres-Cawapres. Ia berani menjamin kalau Pilpres tidak mungkin terjadi dua putaran.

Misalnya begini, jelas Umar, Prabowo unggul di pulau Jawa, namun seburuk-buruknya perolehan suara Prabowo-Hatta itu tetap lebih dari 20 persen keterwakilan di setiap provinsi. “Seburuk-buruknya tetap lebih dari 20 persen,” katanya kepada Obsessionnews.
Jadi, lanjut Umar, yang membuat peraturan tentang dua putaran, dia yang mengasumsikan Capres itu ada 5 pasangan seperti Capres tahun 2004. “Tapi kalau Capres hanya 2 pasang pasti dapat 20 persen,” ungkapnya.

Bagaimanapun  juga, KPU tetap akan mematuhi putusan MK tentang penyelenggaraan Pilpres satu putaran. “Yang bisa saya sampaikan adalah bahwa kami akan menindaklanjuti hasil putusan MK, apapun isinya,” tegas Ketua KPU Husni Kamil Manik usai putusan MK, Kamis (3/7).

Bagaimanapun  juga, KPU tetap akan mematuhi putusan MK tentang penyelenggaraan Pilpres satu putaran. “Yang bisa saya sampaikan adalah bahwa kami akan menindaklanjuti hasil putusan MK, apapun isinya,” tegas Ketua KPU Husni Kamil Manik usai putusan MK, Kamis (3/7).

Diketahui, MK mengabulkan gugatan permohonan yang diajukan Forum Pengacara Konstitusi. MK memutuskan bahwa pasal 159 ayat 1 UU No.42 tahun 2008 tentang Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai untuk dua pasangan calon. Pasal tersebut berbunyi; Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pilpres, dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Sehingga, Pilpres 2014 ini akan dimenangkan oleh pasangan calon presiden yang meraih suara terbanyak.

Putusan MK Abaikan Suara Daerah dalam Pilpres
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid menyayangkan putusan MK terkait UU Pilpres yang mengabaikan suara daerah dengan menghilangkan keterwakilan suara rakyat di daerah seperti dijelaskan dalam ayat 3 dan 4 UU Pilpres. Di mana 20 % suara di setidaknya di 50 % wilayah Indonesia itu sebagai langkah untuk mengawal NKRI. Karena itu, suara sekecil apapun meski di daerah terpencil di luar Jawa itu sangat penting.

“Saya prihatin dengan putusan MK yang membatalkan 20 % suara di minimal 50 % wilayah seluruh Indoensia. Padahal, itu untuk konsolidasi kebhinnekaan, di mana demokrasi itu tak saja menghitung satu kepala satu suara. Orang-orang MK jangan merasa paling benar,” tegas Farhan Hamid dalam diskusi ‘Mencari Pemimpin Bangsa’ bersama pengamat politik UI Maswadi Rauf, dan Anwar Arifin dari Unhas Makassar di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (7/7/2014).

Di internal MPR RI sendiri kata Farhan Hamid, merasa kecewa dengan cara pandang putusan MK tersebut, namun karena menjelang hari pencoblosan, maka MPR RI tidak mau memperkeruh keadaan. “Semoga nanti ada jalan lain dari presiden terpilih untuk memperhatikan kebhinnekaan yang dimaksud dalam UU Pilpres itu,” paparnya.

Oleh karena itu, MPR RI mengundang tujuh lembaga tinggi negara (Presiden, DPR RI, MPR RI, DPD RI, BPK, MK, dan KY) untuk mewujudkan Pilpres yang damai pada Senin (7/7/2014) sore ini. “Kita harapkan masyarakat tidak terpengaruh dan terprovokasi kondisi politik yang memanas, dan semua harus bertekad mulai sekarang untuk ‘Selamatkan Indonesia’,” jelasnya.

Hal yang sama diungkapkan Maswadi Rauf, jika putusan MK itu tidak sensitif suara di luar Jawa. “Putusan MK terlalu maju, padahal untuk demokrasi di Indonesia, suara daerah itu harus dipertahankan karena samapai kapanpun tak akan pernah berakhir, dan itu bisa diperbaiki oleh presiden terpilih nanti,” tuturnya.

Dengan begitu kata Anwar Arifin, tak ada lagi harapan bagi suara dari luar Jawa. Padahal, suara dari luar Jawa itu mencapai 30 %, dan ini mengabaikan ancaman NKRI. “Waktu menyusun UU Pilpres pun butuh waktu lama dan sangat berhati-hati karena mempertimbangkan NKRI, maka ke depan itu perlu dikaji lagi,” pungkasnya.

Wacana Pilpres 2014 berpeluang dua putaran sudah terlontar pada awal Juni lalu. Sebab, dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 disebutkan, pemenang pilpres bukan hanya wajib meraih 50 persen plus 1 suara nasional, tapi juga harus meraih minimal 20 persen suara di setengah lebih jumlah provinsi di Indonesia.

Lengkapnya, pasal ini berbunyi: Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Pakar hukum tata negara Dr Irman Putrasidin menyebut, presiden terpilih nanti wajib memenuhi dua syarat itu. Jika tidak, maka harus dilakukan pemilu putaran kedua. “Ini dua acuan yang harus dipenuhi. Walaupun salah satu calon mendapat 50 persen lebih suara, kalau dia syarat minimal 20 persen suara di setengah jumlah provinsi tak terpenuhi, tetap tidak bisa dilantik. Harus dilakukan putaran dua,” terangnya pada Rabu (11/6).

Tujuan dari pasal itu, kata Irman, adalah untuk menghindari presiden dari suku atau pulau tertentu. Sebab, kalau cuma syarat 50 persen plus 1, salah satu capres cukup mengoptimalkan dukungan di pulau-pulau dengan penduduk padat. Presiden terpilih nanti harus memiliki dukungan dari semua wilayah di Indonesia. Makanya, kalau tidak ada yang memenuhi syarat itu, harus dilakukan putaran kedua. (Ars)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.