Jumat, 18 Oktober 24

Pemilu Wajib Jujur!

Pemilu Wajib Jujur!
* Warga memasukan surat suara ke dalam kotak suara pada simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di Desa Alue Tampak, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Minggu, (24/12/2023). (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/YU)

Obsessionnews.com – Berdiri bangsa di atas kejujuran hati nurani yang melandasi pendiri bangsa oleh generasi Soekarno-Hatta dan pendiri bangsa lainnya kepada penjajah saat itu yang penuh risiko dihadapi oleh mereka, sebagai warisan ke anak negeri ini untuk demokrasinya.

 

“Perbuatan tidak jujur di pemilu adalah mengkhianati mereka sekaligus sebagai pengkhianat bangsa dan negara dan rakyat,” tutur Guru besar Universitas Ibn Khaldun Bogor, Prof. Dr. Hasbi Indra, Senin (12/2/2024).

 

Prof Hasbi menegaskan, berbuat jujur di pemilu tanggung jawab mulia terutama dari sila pertama dan  sila 4, melakukan hal sebaliknya adalah bentuk pengkihanatan. Penyelenggara pemilu disumpah untuk lahir- bathin menjunjung konstitusi dan melaksanakan tugas negara bukan tugas partai apalagi tugas sekelompok orang demi kepentingannya. Itulah yang menjadi kesadaran anak bangsa apalagi yang berpendidikan tinggi di negeri yang mengaku beragama dan pemegang Pancasila.

 

“Bila ada yang di tahta negara, tahta instrumen pemilu, tahta tentara dan polisi malu menjadi pengkhianat  bila pemilu ditandai oleh ketakjujuran. Tak layak bila berbuat tak jujur yang mungkin merupakan bentuk terima kasihnya kepada siapa yang memberikan tahta padanya, atau ada rasa takut pada yang memberi tahta itu, sekalipun ia adalah tentara, polisi takut pada siapa, atau demi tahta dan harta. Bila itu yang terjadi menghinakan dirinya dan keluarganya, jangan mengorbankan kehormatan bangsa dan ratusan juta rakyat,” tegasnya.

 

Menurutnya, rakyat tidak bodoh masih ada mata dan telinga ke siapa mereka minta tanggung jawab bila itu terjadi. Sudahi menghina bangsa dan rakyat banyak bila karena hal yang materialistik itu. Malu pada manusia yang ideologinya materialistik di sana tapi tak terjadi seperti negara yang beragama dan Pancasilais ini. Takut rakyat bangun dari tidurnya dan mengejar Anda ke mana pun tempatnya.

 

Ia mengingatkan pemilu jujur wajib hukumnya ini panggilan jihad konstitusi tidak main-main di negara sekuler bisa menggerakkan rakyat apalagi di negara berketuhanan ini, itu juga karena ini tuntutan ketentuannya atau konstitusinya dan juga karena pemilu ini memakan dana rakyat puluhan triliun yang tujuannya untuk kemaslahatan seluruh rakyat bukan untuk partai atau ormas atau orang perorangan. Juga pemilu yang saat ini di tengah bangsa yang bergantung pada hutang, dana pemilu potensials atau bahkan dari hutang yang rakyat pula harus membayarnya nanti.

 

“Demokrasi atau pemilu jangan menjadi jembatan memperburuk wajah bangsa dan mengekerangkeng penderitaan rakyat. Demokrasi dan pemilu ada etika dan ketentuan yang sangat jelas dalam prespektif kebanyakan manusia yang berakal  wajib jujur itu. Kejujuran yang baiknya masih harus ada di negeri ini,” tuturnya.

 

Bila tidak bisa benar, lanjut dia, akan membuktikan suatu hal sehingga  ada yang menyatakan ini memang negeri yang diwarnai para maling, maling harta rakyat dan maling suara rakyat. Apalagi akan membuka Kotak Pandora ketakjujuran itu, itu telah ada fenomena yang mengetahuinya di masa lalu yang  di pemilu diiringi oleh korban 800 lebih nyawa  di tahun 2019. Siapa pun dia apakah pemegang senjata atau siapapun dia pemilik nama yang suci atau pemilik nama yang baik dan mulia bila berbuat tak jujur harus menjadi lawan rakyat.

 

“Bila perbuatan itu yang terjadi bangsa ini rugi berlipat ganda, rugi uang puluhan trilyun uang rakyat, rugi mentalitas rakyat yang bertambah hancur dengan money politiknya dan rugi negeri yang tak berkah karena diawali oleh ketakjujuran. Negeri potensial muncul pemimpin yang bercita rasa seperti itu dan lebih merugikan lagi bila terus dikenai prediket  negeri para maling di negeri yang beragama dan negeri berpancasila ini,” tandasnya.

 

Prof Hasbi memaparkan, bangsa yang merdeka atas Rahmat Tuhan atau Allah dinyatakan di konstitusi yang dirumuskan the founding fathers yang bisa dikatakan dalam kata demi terwujudnya keadilan, kesetaraan manusia dan kemakmuran yang terus diganggu oleh para maling entah orang asing atau oleh anak negeri sendiri.

 

“Bangsa yang terus merasakan aura maling  bergentayangan sejak lama, maling untuk SDA nya dan juga kini untuk SDM nya di pemilu dan diberbagai tempat, mereka dibentuk menjadi maling di bangsanya. Pemilu akan meneruskan citarasa maling di negeri ini? Pemilu sayogyanya dan sebaiknya  jangan  sampai ada tontonan maling suara rakyat dan maling keringat rakyat yang harganya mahal dalam angka puluhan trilyun dari uang rakyat,” ungkapnya.

 

“Menikmati maling sepanjang usia bangsa ini. Maling SDA bangsa yang kaya raya yang tak berarti bagi rakyat untuk membangun dirinya. Bangsa yang masih memiliki kekayaan nikel, emas, batubara, energi lain dan lainnya hanya untuk para maling dari orang asing atau anak negeri ini yang menjadi kaki tangannya. Para maling mengancam SDM nya di tahta negara, tahta partai, tahta ormas, tahta media massa, tahta lembaga survei, tahta buzzer dan tahta pemilu seperti KPU dan koleganya siap menjadi maling atau kaki tangan maling sebenarnya?” ujarnya mempertanyakan.

 

Dikemukakan pula bangsa yang terus membangun bahkan dari hasil utang yang dijaga melalui demokrasi atau Pemilu hanya untuk disebut bangsa yang bermartabat jangan dijadikan  itu hanya sebagai kamuflase saja. “Ternyata hasilnya bukan untuk rakyat yang menikmati hanya para maling. Jangan meneruskan negeri yang diurus oleh yang di tahta bertahun yang digaji oleh rakyat kemana hasilnya hanya menghasilkan wajah bangsa dan nasib rakyatnya yang puluhan juta  masih  nestapa. Bangsa yang dirasakan tak surplus ekonomi dan juga tak surplus keadilan, kemanusiaan dan kemakmuran rakyat dan tak surplus kejujuran,” sindirnya.

 

Bangsa Maling

Prof Hasbi menegaskan, negeri yang dinikmati para maling ingin terus melanjutkan penjarahannya melalui pemilu yang berlangsung hanya pesta percuma. Pemilu membesarkan  para maling dan mereka membentuk generasinya melalui money politik  ke  jutaan manusia dalam bentuk recehan dan dalam bentuk jumbo yang bisa miliaran dalam hitungan jari bisa ke partai dan ormas dan bisa ke manusia yang tampak suci ikut menebar uang dan menerima uang.

 

“Masa di mana mereka menikmatinya dan sebagai  bagian dari yang menghancurkan bangsa. Jiwa bangsa terus hancur dan semakin jauh meraih apa yang disebut keadilan, kesetaraan manusia dan juga mustahil meraih kemakmuran seluruh rakyat. Ini akan terus terjadi bila mereka dan lain hanya menjadi pelayan untuk menjadi bagian dari menghancurkan bangsa dari penguasa ekonomi dan juga menjadi politik atau penguasa tahta. Potensials melalui kaki tangan yang telah digerakkan yang juga bisa melalui media massa, lembaga survei, buzzer dan instrumen pemilu untuk menghadirkan yang di tahta dalam citarasanya,” bebernya.

 

Ia pun menyoroti, kini terasa memprihatinkan anak bangsa tak lagi banyak memiliki rasa nasionalistik dan patriotistik tengah menikmati kondisi di bangsa yang beragama dan berpancasila seperti yang dirasakan. Kini tergambar bangsa yang benar benar pengamal liberalisme dan kapitalisme. Mencari bangsa yang penganut ideologi dalam wujud radikal itu di negeri ini seperti tak ada konstitusi yang mengaturnya.

 

Prof Hasbi menuturkan, di tengah bangsa yang berutang di angka 8000 triliun lebih bunga setiap tahun 600 trilyun lebih yang membayar bukan pedagang di tahta saat ini tapi rakyat yang membayarnya, membiarkan manusia asing atau sedikit manusia anak negeri menikmati hasil alam yang kaya. Bangsa yang liberal membesarkan harta benda yang dibiarkan negara ada satu orang pemilik harta berbanding dengan 100 juta manusia di negeri, manusia dalam hitungan jari menguasai asset ekonomi di angka 70 persen lebih.

 

“Bangsa liberal menghukum ringan koruptor dalam angka puluhan trilyun di Asabri dan Jiwasraya dan ada angka 349 trilyun yang masih berkeliaran pelakunya. Bangsa yang liberal membuatkan manusia miskin dan menganggur  di angka puluhan  juta  ironi bangsa ini,” ungkapnya.

 

“Rasa liberalistik dan kapitalistik dinikmati mereka yakni sekelompok kecil orang dan mendesain pelayannya untuk terus menikmati itu baik yang di tahta, di media massa, lembaga survey, buzzer, beberapa partai dan juga mungkin di ormas untuk legalisasi itu melalui pemilu yang diselenggarakan,” lanjutnya.

 

Diingatkan pula, kondisi anak bangsa yang di instrumen negara dan bangsa  instrumen pemilu seperti  banyak partai yang tak memprihatinkan bila kondisi yang ada terus dinikmati. Bangsa yang diisi oleh manusia yang bernyawa yang tak nasionalistik dan patriotistik di berbagai instrumen itu telah diisi oleh manusia yang sepertinya terancam kemiskinan dan kesulitan menghidupi keluarganya sehingga terkerangkeng dan hanya melihat dirinya dan tak melihat wajah bangsa dan nasib rakyat.

 

“Instrumen negara melalui cawe-cawe dan bangsa yang menyedihkan  yang mengambil jalan dan menyiapkan diri dalam citarasa mereka. Mungkinkah pemilu tak lagi menjadi tontonan para maling suara rakyat?” tanyanya.

 

Ia menilai, hasil pendidikan di bangsa berpuluh tahun ini dan juga mendengar pesan mulia dari tempat ibadah dan tempat lainnya tak layak menghasilkan manusia yang menjadi kaki tangan maling SDA dan SDM nya tak layak pula menjadi kaki tangannya di pemilu tak jujur hanya untuk sekedar tahta dan harta hitam yang mengaliri diri dan keluarganya.

 

Diungkapkan, bangsa yang kini pemimpinnya menggambarkan diri bangsa tak beretika dan bermorals. Rasanya tak perlu diingatkan terus bahwa bangsa ini perlu meraih martabat dan seluruh rakyatnya perlu merasakan arti kemerdekaan. Jangan terus dibiarkan bangsa yang terus menikmati citarasa para maling di negeri ini maling SDA dan maling SDM dan melalui SDM ini mereka terus menanamkan jiwa itu yang ingin terus dibentuknya. SDM bangsa ada yang menjadi kaki tangan mereka penikmat SDA dan asset ekonomi yang menggunakan uang rakyat puluhan trilyun biaya pemilu  untuk meneruskan cita rasa malingnya melalui pemilu yang menghasilkan kaki tangannya untuk di tahta.

 

“Pemilu ini bukan untuk terus menggambarkan bangsa ini bangsa tak jujur atau bangsa para maling. Semoga tidak terjadi karena akan berdiri  bersama rakyat ulama, kyai, ustadz, pendeta, pastur, biksu, dan kaum professor dan tentara dan polisi yang berjiwa patriotik serta mahasiswa guna menjaga harga diri bangsa, negara dan harga diri mereka!” harapnya. (Red)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.