Jumat, 19 April 24

MK Dan MA Harus Berikan Kepastian Hukum Yang Atur Sengketa Pilkada

MK Dan MA Harus Berikan Kepastian Hukum Yang Atur Sengketa Pilkada

Jakarta – Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) hari ini menggelar diskusi yang bertajuk Eksaminasi Publik “Amar Putusan 97/PUU – XI/2013 Point Kedua – Keabsahan Mahkamah Konstitusi Dalam Menangani Sengketa Pilkada”.

Anggota Komisi Yudisial RI, Taufiqurrohman Syahuri mengatakan Dasar Konstitusional Pilkada terdapat pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan : ‘Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara Demokratis’.

Taufiqurrohman menjelaskan dengan catatannya bahwa rumusan dipilih secara Demokratis mempunyai dua arti yaitu Pertama, bisa dipilih secara langsung oleh rakyat. “Yang kedua, bisa dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),” ujar Taufiqurrohman saat diskusi FKHK di Restoran bilangan Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/2014).

Dia juga mengatakan, Sistem Pilkada diatur oleh Undang-undang dengan melalui beberapa revisi. Pertama,Sistem Pemilihan Kepala Daerah Oleh DPRD (UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah Daerah), kedua Sistem Pemilihan Kepala daerah secara langsung oleh rakyat (UU (revisi) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah).

“Ketiga, Kepala daerah dan wakil kepala daerah di pilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. (Pasal 24 ayat (5) UU 32/2004),”jelasnya.

Tidak hanya itu, dia juga menjelaskan, sistem campuran pilkada dalam Rancangan Undang – Undang (RUU) pilkada. Jadi, RUU  Pilkada ini merupakan bagian dari revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Adanya perubahan sistem pemilihan Gubernur, yaitu merubah sistem pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi sistem pemilihan Gubernur secara perwakilan oleh DPRD Provinsi (Pasal 2 RUU Pilkada).

“Untuk sistem pemilihan bupati/walikota, yaitu tetap menggunakan sistem pemilihan langsung oleh rakyat (pasal 41 RUU Pilkada),”katanya.

Yang lebih krusial, kata Taufiqurrohman, sistem pemilihan wakil kepala daerah (Wakil Gubernur dan Wakil Bupati/ Walikota) tidak lagi dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah, tetapi wakil kepala daerah diusulkan oleh kepala daerah terpilih yang berlatar belakang dari pegawai negeri sipil (PNS).

“Wakada tak perlu disyaratkan PNS, terlalu sempit pilihannya. PNS pensiun usia 60 tahun, padahal usia 60 tahun masih banyak yang produktif. Apalagi SDM yang non PNS yang lebih berkualitas dan berkualitas,” katanya.

Menurutnya, alternatif Pilkada ke depan harus diperhatikan seperti berikut: Pertama, dibentuk lembaga khusus pemilih kepala daerah, misalnya: MPRD (Majelis Permusyawaratan Rakyat Daerah) mirip MPR memilih Presiden. Kedua, Anggota MPRD terdiri atas: anggota DPRD dan utusan masyarakat seperti tokoh, pimpinan ormas, serta Profesi. Ketiga, MPRD bersifat ad hoc, insedental sesuai kebutuhan, bersidang minimal 1 kali dalam 5 tahun (1 periode).

“Keempat, bila perlu diberi kewenangan menyusun Garis Besar Program Pembangunan Daerah (GBP2D), agar konsep pembangunan daerah merupakan hasil pemikiran gotong royong rakyat daerah, bukan cuma oleh KDH terpilih,”terangnya.

Dari uraian diatas terlihat bahwa pelaksanaan Pilkada sangatlah rumit. Selain itu, ada juga yang lebih membingungkan soal penyelesaian sengketa Pilkada, apakah penyelesaiannya?. Sengketa pemilu tersebut di bawa ke MK atau diselesaikan di Mahkamah Agung (MA). Yang jadi permasalahannya mana  lembaga yang mempunyai wewenang untuk penyelesaian sengketa Pemilukada, MK kah atau MA.

Taufiqurrohman menyampaikan, menurut Amar putusan MK No. 97/PUU – XI/2013 , Pilkada tidak termasuk rezim pemilu dan penyelesaian sengketa bukan wewenang MK. Sebab, putusan MK No. 97/PUU – XI/2013 menyatakan, pemilihan kepala daerah masuk pada rezim pemerintahan daerah karena diatur secara khusus dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak termasuk bagian dari pemilihan umum sebagaimana diatur dalam pasal 22E UUD 1945. Selain itu, MK menyatakan bahwa penanganan sengketa hasil Pilkada oleh MK adalah inkonstitusional.

“Jika pilkada ditangani MK dianggap inkonstitusional, seharusnya sengketa pilkada dimasa peralihan ini dilaksanakan oleh MA, bukan oleh MK. Baca pasal 106 UU 32/2004,”katanya.

Namun, norma hukum putusan MK No. 97/PUU – XI/2013 ,ada juga yang menyatakan bahwa, MK berwenang mengadili perselisihan hasil Pemilukada selama belum ada UU yang mengatur tentang hal tersebut. Akan tetapi, norma hukum pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda mengatur penyelesaian sengketa hasil penghitungan suara Pemilukada diselesaikan di MA. Jadi sengketa Pilkada dapat dibawa ke MK dan juga dapat dibawa ke MA. Tentu dengan adanya kedua norma tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, perlu adanya uji materi ke MK tentang dua norma hukum yang bertentangan tersebut.

“Sengketa pilkada bisa dibawa ke MK dan ke MA dua-duanya benar, tapi kedua norma tersebut perlu diajukan pengujian ke MK agar diperoleh kepastian hukum,”pungkas Taufiqurrohman. (Pur)

 

Related posts