Jumat, 26 April 24

Mengembalikan Kejayaan Golkar

Mengembalikan Kejayaan Golkar

What’s is a name? Apalah arti sebuah nama? Itu ucapan William Shakespeare yang terkenal. Sastrawan Inggris ini menganggap nama tak penting.

Boleh saja William berpendapat demikian. Tapi tidak demikian halnya dengan Golongan Karya (Golkar). Bagi Golkar nama itu sangat penting. Bayangkan, andaikata Golkar berganti nama menjadi Partai Beringin, partai ini tentu akan kehilangan banyak pendukungnya.

Golkar pendukung utama pemerintahan Orde Baru (Orba) yang dinakhodai Presiden Soeharto. Golkar didirikan oleh Soeharto dan para petinggi TNI AD lainnya pada 20 Oktober 1964, dan bertujuan membendung pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Soeharto secara de facto menjadi Presiden RI pada 1966, dan secara de jure pada 1967. Soeharto dilantik oleh MPRS, menggantikan Sukarno yang diberhentikan oleh MPRS. Masa kekuasaan Sukarno disebut Orde Lama (Orla), sedangkan era Soeharto disebut Orba.

Di Golkar Soeharto menduduki posisi Ketua Dewan Pembina yang memiliki kekuasaan sangat besar. Di bawah kepemimpinan Soeharto Golkar unjuk gigi pada Pemilu 1971, yang merupakan pemilu pertama di era Orba. Secara mengejutkan Golkar tampil sebagai pemenang dalam pemilu yang diikuti 10 partai itu.

Pada tahun 1973 pemerintahan Orba menyederhanakan jumlah partai menjadi tiga, yakni Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia. Partai-partai bernafaskan agama Islam, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia (Perti), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) berfusi ke PPP.

Sedangkan partai-partai berbasis nasionalis dan non Islam, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dilebur ke PDI.

Pada Pemilu 1977 Golkar kembali meraih kemenangan. Kesuksesan Golkar berlanjut pada Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, Pemilu 1997.

Prestasi Golkar meraih enam kali pemilu tersebut karena menggunakan ‘senjata trisula’, yakni: ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar). Golkar mewajibkan ABRI (TNI dan Polri) mendukungnya. Demikian pula birokrasi atau pegawai negeri sipil (PNS) dan kader-kader yang tersebar di berbagai onderbouw atau anak organisasi Golkar wajib memenangkan Golkar.

Tanggal 21 Mei 1998 Soeharto terjungkal dari kursi kekuasaannya akibat gerakan reformasi. Jatuhnya Soeharto itu juga mengakhiri kekuasaan Orba selama 32 tahun.

Golkar yang identik dengan rezim Orba dituntut dibubarkan oleh para demonstran pro reformasi. Tapi, tuntutan itu sia-sia.

Wakil Presiden BJ Habibie yang naik kelas menjadi Presiden melakukan berbagai reformasi di bidang politik, antara lain ABRI dan PNS harus netral pada partai politik. Ini artinya ABRI dan PNS tidak lagi menjadi bagian dari Golkar.

Kebijakan penting lainnya yang diambil Habibie adalah memperbolehkan berdirinya partai-partai baru.

Sejumlah kalangan memprediksi berakhirnya bulan madu Golkar dengan ABRI dan PNS akan membuat Golkar hancur pada Pemilu 1999, yang merupakan pemilu pertama di era reformasi. Namun, ramalan itu meleset jauh. Dalam pemilu tersebut secara mengejutkan Golkar masih banyak yang memilih, dan menduduki peringkat kedua setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Pada Pemilu 2004 Golkar keluar sebagai pemenang. Pada Pemilu 2009 Golkar menjadi runner-up. Posisi peringkat kedua kembali diraih Golkar pada Pemilu 2014.

Dalam empat kali pemilu di era reformasi Golkar menunjukkan tetap partai besar, meski digembosi oleh kader-kadernya yang mendirikan partai-partai baru. Banyak orang bilang: Golkar nggak ada matinya! Ini untuk menggambarkan betapa hebatnya partai berlambang pohon beringin ini.

Memenangkan Pemilu dan Pilpres 2019

Golkar akan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Nusa Dua, Bali, 15-17 Mei 2016. Sebanyak delapan orang akan memperebutkan kursi ketua umum (ketum) untuk menggantikan Aburizal Bakrie atau Ical. Adapun kedelapan calon ketum tersebut adalah Setya Novanto, Ade Komarudin, Aziz Syamsuddin, Mahyudin, Priyo Budi Santoso, Airlangga Hartanto, Indra Bambang Utoyo, dan Syahrul Yasin Limpo.

Mereka memiliki misi yang seragam, yakni mengembalikan kejayaan Golkar. Siapapun nanti yang terpilih menjadi ketum bertekad memenangkan Pemilu 2019 dan Pilpres 2019.

Meski berada di papan atas dalam empat kali pemilu di era reformasi, Golkar tak memiliki tokoh yang kuat seperti Soeharto. Pasca Soeharto tak ada kader Golkar yang berhasil menjadi Presiden.

Sidang Umum MPR 1999 menggelar Pemilihan Presiden yang terpisah dengan Pemilihan Wakil Presiden (Wapres). Dalam Pemilihan Presiden Ketum Golkar Akbar Tandjung tak berkutik melawan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Akbar kembali bertekuk lutut dalam Pemilihan Wapres. Ia kalah melawan Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Pada Juli 2001 MPR memberhentikan Gus Dur. Megawati kemudian naik kelas menjadi Presiden. Kursi Wapres yang ditinggalkan Megawati menjadi rebutan Akbar dan tokoh-tokoh lainnya. Akbar kembali gagal. Ia kalah melawan Ketua Umum PPP Hamzah Haz.

Pada Pemilihan Presiden dan Wapres (Pilpres) 2004 yang pertama kali langsung dipilih oleh rakyat, Golkar harus menelan pil pahit. Dalam Pilpres tersebut Golkar mengusung mantan Panglima ABRI (kini TNI) Wiranto yang berpasangan dengan Salahuddin Wahid. Duet Wiranto – Salahudin Wahid tak tak berdaya menghadapi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK).

Golkar kembali gagal mengantarkan kadernya meraih kemenangan pada Pilpres 2009. Ketum Golkar JK yang berpasangan dengan Wiranto harus mengakui keunggulan SBY – Boediono.

Dan yang lebih parah lagi adalah Pilpres 2014. Golkar tak berhasil mengantarkan ketumnya, Ical, masuk bursa capres, karena perolehan suara Golkar pada Pemilu 2014 tak cukup mengusung calon sendiri. Ical lantas membawa gerbong Golkar bergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Gerindra, PAN, PKS, dan PPP yang mengusung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Namun, dukungan Golkar itu sia-sia, karena Prabowo Subianto – Hatta Rajasa ditaklukkan oleh pasangan Joko Widodo (Jokowi) – JK yang diusung oleh PDI-P, Nasdem, PKB, dan Hanura yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). (arh, @arif_rhakim)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.