Jumat, 26 April 24

LBH Jakarta: Maklumat Kapolda Metro Jaya Mengancam Demokrasi

LBH Jakarta: Maklumat Kapolda Metro Jaya Mengancam Demokrasi

Jakarta, Obsessionnews.com – Maklumat Kapolda Metro Jaya tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Senin (21/11/2016), menuai reaksi dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta).

Dalam keterangan tertulisnya, LBH Jakarta mendesak Kapolda Metro Jaya menarik mengeluarkan maklumat Mak/04/XI/2016 yang melarang aksi unjuk rasa 2 Desember. Sebaliknya, LBH Jakarta meminta Polda Metro Jaya mengawal dengan baik setiap aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat.

Menurut Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa, maklumat itu tidak hanya menandakan kemunduran dalam era reformasi, melainkan juga ancaman terhadap demokrasi.

“LBH Jakarta berpendapat Kepolisian mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan maklumat yang berisi ancaman kepada demonstran,” tulis Alghiffari.

Alghiffari memandang setidaknya ada 5 permasalahan dalam Maklumat Kapolda Metro Jaya tersebut. Pertama, pembatasan aksi mengancam kebebasan berpendapat dan demokrasi. Penyampaian pendapat bagian dari hak asasi manusia. Hal tersebut dalam Pasal 28 ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 25 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 Tahun 2015).

Pembatasan terhadap kebebasan berpendapat hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang. Dalam hal ini kita sudah semestinya mengacu kepada UU No. 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat Di Muka Umum yang mengatur mengenai pembatasan demonstrasi.

“Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan elemen penting dalam demokrasi. Ancaman terhadap demonstrasi tanggal 2 Desember 2016 juga merupakan ancaman terhadap kelompok masyarakat sipil lain yang menyuarakan ketidakadilan seperti petani yang dirampas lahannya, kelompok miskin kota yang digusur rumahnya, buruh yang dilanggar haknya atas upah yang layak, nelayan yang jadi korban reklamasi, dan kelompok marjinal lain yang dilanggar hak-haknya,” ungkap Alghiffari.

Kedua, penggunaan pasal makar yang merupakan pasal multitafsir atau pasal karet. Menurut Alghiffari, Pasal 104, 106, dan 107 KUHP yang dikemukakan Kapolda merupakan pasal yang multitafsir atau pasal karet dan sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis diera orde baru.

Ketiga, penegasan ancaman hukuman pidana mati dalam Maklumat Kapolda menunjukkan bahwa Kepolisian RI dan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak malu dengan hukuman mati yang merupakan hukuman yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.

“Sebagai sebuah negara demokrasi seharusnya hukuman mati ditinggalkan oleh Indonesia. Pidato Jokowi di Australia Oktober yang lalu, yang mengatakan bahwa Indonesia akan mengevaluasi hukuman mati terbukti hanya sekedar lip service semata,” tulisnya.

Keempat, peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2008 yang membatasi aksi hingga pukul 18.00 bertentangan dengan ketentuan UU No. 9 Tahun 1998. Hal tersebut terlihat dalam penjelasan Pasal 13 ayat 1 huruf (b) menjelaskan bahwa penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan pada malam hari dengan berkoordinasi terlebih dahulu dengan aparat keamanan.

Dan kelima, melarang atau membatasi aksi dengan alasan terganggungya fungsi jalan raya atau arus lalu lintas adalah alasan yang mengada-ada. LBH Jakarta menilai bahwa demonstrasi sedikit banyak akan mengganggu arus lalu lintas sudah diketahui umum.

Memperlancar arus lalu lintas, memberitahu kepada masyarakat arus alternatif ketika demonstrasi justru merupakan tugas kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 18 huruf b Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2008. Polisi dapat bertindak jika ada pemblokiran jalan oleh demonstran.

Selain lima permasalahan tersebut, LBH Jakarta mengapresiasi Kapolda Metro Jaya melarang provokasi yang mengarah kepada sentimen SARA. Adanya ujaran kebencian dan sentimen berbasis SARA yang berpotensi mengarah kepada serangan kepada etnis tertentu merupakan tindakan yang bertentangan dengan semangat demokrasi sehingga sudah sepatutnya kepolisian melakukan tindakan tegas terhadap hal tersebut.

“Surat Edaran Kapolri tentang Ujaran Kebencian (hate speech) sudah seharusnya diterapkan ketika demonstrasi, tetapi bukan melarang keseluruhan demonstrasi,” tegas Alghiffari.

LBH Jakarta juga mengingatkan bahwa dalam demonstrasi, justru aparat keamananlah yang sering melakukan tindakan pelanggaran hukum. Contoh nyata adalah tindakan pembubaran paksa demonstrasi buruh pada tanggal 30 Oktober 2015 serta menangkap 23 aktivis buruh, 1 mahasiswa, dan dua pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta.

Selain membubarkan paksa, kepolisian melakukan pemukulan kepada seluruh aktivis, termasuk 4 buruh perempuan, dan menghancurkan mobil sound serikat buruh. Padahal demonstrasi dilakukan dengan damai.

“LBH Jakarta juga menghimbau agar setiap demonstrasi dilakukan dengan damai dan tidak ada ujaran kebencian terhadap etnis tertentu,” pungkasnya.

Seperti diketahui, ada 4 poin dalam maklumat yang dikeluarkan Kapolda Metro Jaya, Senin (21/11/2016). Pertama, Kapolda menyampaikan agar masyarakat mematuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam UU RI No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Jika tidak sesuai dengan ketentuan dan melanggar hukum, akan dilakukan tindakan kepolisian secara tegas, dari mulai pembubaran kegiatan sampai dengan penegakkan hukum sesuai dengan UU yang berlaku.

Kedua, penyampaian pendapat di muka umum baik berupa unjuk rasa, demonstrasi dan mimbar bebas dilarang membawa senjata tajam, senjata pemukul atau benda-benda yang membahayakan. Unjuk rasa harus memberitahukan secara lebih dahulu secara tertulis Kepada Polda Metro Jaya.

Ketiga, pelaksanaan pendapat di muka umum dilarang mengganggu ketertiban, merusak fasilitas umum, melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan fungsi jalan raya/lalu lintas, melakukan provokasi yang bersifat anarkis, maupun yang mengarah kepada SARA. Adapun pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum di tempat terbuka dibatasi mulai pukul 06.00 WIB sampai maksimal pukul 18.00 WIB.

Terakhir, dalam melakukan penyampaian di muka umum dilarang melakukan kejahatan terhadap keamanan negara berupa makar terhadap presiden dan atau wakil presiden, makar hendak memisahkan diri dari NKRI dan makar dengan menggulingkan pemerintah. Terhadap perbuatan tersebut dapat dihukum mati atau seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun dan/melakukan tindak pidana lainnya sebagaimana dimaksud dalam KUHP dan UU tertentu yang berlaku. (Fath)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.