Kamis, 25 April 24

FAM Indonesia Sebarkan Semangat Cinta Menulis

FAM Indonesia Sebarkan Semangat Cinta Menulis
* Anak-anak muda yang tergabung dalam Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia

Jakarta, Obsessionnews – Di Indonesia banyak terdapat komunitas penulis, dan salah satu di antaranya yang cukup menonjol adalah Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Komunitas penulis ini berdiri pada 2 Maret 2012, berkantor pusat di Pare, Kediri, Jawa Timur (Jatim). FAM Indonesia didirikan oleh Muhammad Subhan, seorang motivator kepenulisan  dan sastrawan, yang berasal  dari Padangpanjang, Sumbar, bersama Aliya Nurlela, seorang novelis, asal Ciamis, Jawa Barat, yang bermukim di Malang, Jatim.

FAM Indonesia bertujuan menyebarkan semangat cinta (aishiteru) menulis di kalangan generasi muda, khususnya siswa sekolah dasar, SLTP, SLTA, mahasiswa, dan kalangan umum lainnya.

Organisasi ini Indonesia bertekad membina anak-anak bangsa untuk cinta menulis dan gemar membaca buku. Sebab, dua hal ini melatarbelakangi maju dan berkembangnya negara-negara di dunia lantaran rakyatnya suka membaca buku dan menulis karangan.

FAM Indonesia memiliki ribuan anggota yang tersebar di berbagai kota di Indonesia dan mancanegara, khususnya di sekolah-sekolah dan melebur di tengah masyarakat dalam berbagai kegiatan kepenulisan. Sejumlah kota di Tanah Air memiliki cabang kepengurusan, dan pengurus serta anggota sering mengadakan kegiatan-kegiatan literasi, baik seminar, pelatihan, bedah buku, maupun kegiatan-kegiatan sosial lainnya. (Baca: FAM Indonesia Adakan Literasi di Tiga Kota)

Untuk merangsang minat menulis generasi muda, FAM Indonesia rutin menggelar berbagai lomba menulis, baik tingkat lokal maupun nasional. FAM Indonesia juga bermitra dengan berbagai lembaga pendidikan dan mendapat dukungan dari sejumlah media massa untuk mengenal lebih jauh tentang gerakan literasi yang diusungnya. (Baca: SMAN 1 Agam Cendikia Juara 1 Lomba Baca Puisi)

Interaksi sesama anggota FAM Indonesia memanfaatkan grup Forum Aishiteru Menulis di facebook.

“FAM hanya memberi semangat dan motivasi berkarya. Mudah-mudahan menginspirasi,” kata Sekjen FAM Indonesia Aliya Nurlela.

Menerbitkan Buku
FAM telah menerbitkan sejumlah buku puisi, cerpen, novel, pendidikan, politik, dan lain sebagainya. Beberapa di antaranya yang dirilis tahun 2015 dan cukup  populer adalah kumpulan puisi Sajak-Sajak Dibuang Sayang karya Muhammad Subhan, Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh yang ditulis Sadri Ondang Jaya, dan kumpulan cerpen berjudul Sepucuk Surat Beku di Jendela buah pena Aliya Nurlela.

Buku Sajak-Sajak Dibuang Sayang karya Muhammad Subhan
Buku Sajak-Sajak Dibuang Sayang karya Muhammad Subhan

Sajak-Sajak Dibuang Sayang menghimpun 117 puisi yang ditulis Subhan selama kurun waktu 1998-2014. Buku kumpulan puisi yang diluncurkan Kamis (23/4/2015) ini berisi puisi-puisi yang telah terbit di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional. (Baca: Realitas Kekinian di Buku Puisi ‘Sajak-Sajak Dibuang Sayang’)

Muhammad Subhan (tengah), pendiri FAM Indonesia
Muhammad Subhan (tengah), pendiri FAM Indonesia

Salah seorang pendiri FAM Indonesia ini mengaku sebagian besar puisi-puisi itu sederhana, namun telah melalui kontemplasi yang panjang, sebab ditulis dari beragam peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Realitas kekinian yang sedang terjadi di Indonesia maupun di dunia dicatat dalam sejumlah puisi-puisi di buku ini, di antaranya soal Gaza, Palestina, yang belum merdeka dari penjajahan Yahudi Israel. Adalah tepat kiranya jika Konferensi Asia Afrika (KAA) mendesak kemerdekaan Palestina. //gaza, walau aku jauh kau jauh/ tetapi denyut nadimu menjadi nadiku/ di nadi itu darahmu darahku menyatu/. (Gaza, Lukamu Lukaku, hlm. 23).

Keprihatinannya terhadap Palestina adalah keprihatinan ketika menyaksikan anak-anak Gaza tidak berdosa harus menjadi korban kebiadaban tentara zionis Israel. Dia menulis: //rudal-rudal yang dikirim zionis itu/ akan kami telan dan menguburnya di jantung kami/ lalu kami muntahkan kembali ke jantung-jantung mereka…//. (Anak-Anak Gaza, hlm. 24).

Ia juga memotret sengkarutnya masalah hukum dan keadilan di Indonesia. Hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. /kami temukan patung dewi keadilan/ yang telah patah satu tangannya/ di tangannya yang lain tikus, kecoa, ular, dan kelabang lapar,/ membangun rumah kecantikan/. (Kota di Selembar Kuarto, hlm. 27).

Begitupun, dalam setiap kali Pemilu, rakyat dianggapnya selalu menjadi sasaran janji-janji palsu politisi yang menghalalkan berbagai cara untuk meraih kursi jabatan. /rakyat/ adalah kita/ yang menjadi kertas suara/ yang menjadi kantong janji pilitisi/ yang menjadi larangan bila sakit/ yang menjadi pungli bila masuk sekolah/ yang menjadi apa, entahlah!/. (Rakyat Adalah Kita, hlm. 34).

Harga bahan bakar minyak (BBM) yang naik dan diikuti kenaikan harga-harga kebutuhan barang pokok lainnya membuat rakyat menjerit. Hidup semakin susah. Orang susah di sana-sini. Lalu, dampaknya, unjuk rasa menuntut keadilan pemerintah terjadi di mana-mana. Mahasiswa turun ke jalan. Tak jarang terjadi bentrok antara mahasiswa dan aparat. /harga unjuk rasa ini/ terlalu mahal, kawan/ lebih mahal dari BBM/ yang harganya naik malam tadi/. (Demo BBM, hlm. 69).

Realitas lainnya yang direkam Muhammad Subhan lewat puisinya adalah tentang kebakaran hutan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, salah satunya Sumatera. Pembakaran hutan secara ilegal itu merusak udara sehingga menciptakan polusi yang menyesakkan dada. /Langit api menyala-nyala/ Langit senja membara/. (Kebakaran Hutan, hlm. 99).

Begitupun, soal banjir di Jakarta setiap kali hujan tiba, termasuk sejumlah daerah lainnya, membuat dirinya miris terhadap lemahnya sistem penanganan banjir di Indonesia. Namun, dari banjir, maupun musibah lainnya, ia memberi pesan lewat puisinya agar manusia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, sebab bencana adalah salah satu peringatan Tuhan agar manusia lebih mencintai alam. /aku turun menjadi air/ membanjir di tanah kotamu/ aku turun menjadi air/ agar kausapa Dia/ dalam suka dan duka/. (Gumam Banjir, hlm. 121).

Selain beragam realitas sosial, kemanusiaan, dan lingkungan itu, Subhan juga menulis puisi dengan tema-tema lokalitas. Di antaranya dapat dibaca pada puisi Batang Tongar (hlm. 19), Lubang Jepang (hlm. 25), Kuta Raja (hlm. 29), Serune Kalee (hlm. 31), Lemang Tapai (hlm. 36), Bukit Tui (hlm. 38), dan Pisang Sale (hlm. 41).

Subhan lahir di Medan, 3 Desember 1980. Ayahnya orang Sigli (Aceh) dan Ibu Minang (Pasaman Barat). Sejak tahun 2000 ia bekerja sebagai wartawan di sejumlah media massa di Padang. Ia alumni Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Imam Bonjol Padangpanjang.

Pada 2009-2012 ia menjadi Manajer Rumah Puisi Taufiq Ismail di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat, sekaligus menjadi Instruktur Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi. Setelah tidak bekerja di Rumah Puisi, ia fokus menulis dan berkegiatan di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia yang berpusat di Pare, Kediri, Jawa Timur.

Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh berisikan tentang sepak terjang putera-puteri Aceh yang heroik di masa lalu.
Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh berisikan tentang sepak terjang putera-puteri Aceh yang heroik di masa lalu.

Sementara itu Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh berisikan tentang sepak terjang putera-puteri Aceh yang heroik di masa lalu. Sang penulis, Sadri Ondang Jaya, adalah putera Aceh asal Singkil Utara. Buku setebal 304 ini mengisahkan perang antara pasukan Belanda dengan rakyat Singkil, sehingga memunculkan sejumlah pahlawan, termasuk sosok pahlawan wanita, Siti Ambia. Juga mengisahkan pernak-pernik dan dinamika, falsafah hidup orang Singkil dan sejarah Kerajaan Singkil serta hubungan dengan kerajaan Islam Aceh Darussalam. (Baca: Sejarah Singkil untuk Generasi Muda)

Sadri-Ondang-Jaya, penulis buku Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh
Sadri-Ondang Jaya, penulis buku Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh

Selain itu, buku ini mengungkapkan dengan gamblang kisah dua orang ulama yang tidak saja tersohor di Nusantara tetapi juga di mancanegara. Kedua ulama itu adalah Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf yang notabene keduanya putera Singkil. Mereka sangat berpengaruh di Kerajaan Islam Aceh Darussalam. Merekalah yang menata peradaban dan kehidupan sosial kemasyarakatan dan budaya di kerajaan yang pernah dipimpin oleh Iskandar Muda, sehingga menjadi kerajaan Islam terbesar di dunia.

Sadri mengungkapkan, buku ini untuk membentangkan fakta sejarah pada kita, terutama generasi muda, bagaimana benang merah hubungan Singkil dengan Aceh. Atau paling tidak untuk menjawab pertanyaan,“Singkil Acehkah?”

Dengan adanya bentangan sejarah Singkil ini, akan bisa menjadi bahan renungan bagi pembaca, terutama generasi muda, dalam rangka membangun Aceh Singkil lebih maju dan berjaya.Sebab, kehidupan yang dialami generasi muda sekarang dan ke depan merupakan hasil dari rangkaian masa lalu. Oleh sebab itu, pengungkapan masa lalu Singkil sesuatu hal yang sangat penting dan urgen.

Sadri mengatakan, Singkil dalam Konstelasi Sejarah Aceh digarapnya di tengah-tengah ‘krisis’ referensi tentang sejarah Singkil. Dia nyaris tidak berhasil menemukan tulisan tentang sejarah Singkil, baik yang ditulis secara utuh dalam bentuk buku maupun selipan-selipan.

“Karena itu, sangat disadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini. Apalagi tulisan ini bentuknya esai sejarah yang diuntai secara singkat. Jadi sudah tentu kupasannya tidak meluas. Ada hal yang dipotong, tercecer, dan diabaikan,” tuturnya.

Sadri  dilahirkan di Gosong Telaga Selatan, Singkil Utara, Aceh Singkil, 12 Agustus 1969. Ia bekerja sebagai  guru. Hobinya selain membaca juga menulis. Tulisannya berupa cerpen, opini dan esai acapkali tulisannya nongol di berbagai media. Sadri pernah menjadi wartawan di Koran Kampus Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Tabloid Gema Baiturrahman, Harian Serambi Indonesia, dan Harian Rakyat Aceh, serta penulis lepas di beberapa media online.

Ia pernah mengenyam pendidikan di FKIP Unsyiah. Di bidang organisasi ia duduk sebagai Ketua Majelis Pemuda Indonesia (MPI) DPD II KNPI Aceh Singkil. Ia suami Eva Rinawati, serta ayah Muhammad Hadi Akbar dan Muhammad Faiz Nabilla.

Aliya Nurlela, Sekjen FAM Indonesia, dan penulis buku kumpulan cerpen Sepucuk Surat Beku
Aliya Nurlela, Sekjen FAM Indonesia, dan penulis buku kumpulan cerpen Sepucuk Surat Beku

Buku lain yang menarik adalah Sepucuk Surat Beku di Jendela yang berisi 17 cerpen yang bertema kematian, karma, hukum adat, penipuan, konflik rumah tangga, persaingan bisnis, kehilangan, pengkhianatan, persoalan cinta, dan lain sebagainya. (Baca: Aliya Nurlela Rilis Buku Cerpen ‘Sepucuk Surat Beku di Jendela’)

Aliya Nurlela mengungkapkan, cerpen-cerpen di buku itu ditulisnya sepanjang kurun waktu 2013-2014 dan sebagian telah dipublikasikan di sejumlah media massa lokal dan nasional. Melalui buku cerpen ini dia berharap pembacanya semakin luas dan beragam.

Terkait judul Sepucuk Surat Beku di Jendela, kata Sekjen FAM Indonesia ini, dilatarbelakangi atas kecintaannya pada bahasa surat yang sekarang jarang dipakai lagi. Tak heran pula bahasa surat ikut mewarnai sebagian cerpen di buku ini, meskipun disampaikan penulis secara singkat dan dibumbui bahasa puitis.

“Bahasa surat itu indah. Langsung menyentuh ke hati pembaca. Saya mencoba bernostalgia dengan bahasa surat, untuk mengingatkan generasi sebelumnya bahwa bersurat-suratan itu pernah menjadi hobi yang asyik dan menyenangkan,” tuturnya.

Di Sepucuk Surat Beku di Jendela, selain surat-surat untuk sahabat, ide cerpen yang ia kembangkan salah satunya terinspirasi dari kisah nyata dirinya ketika terkena penyakit bell’s palsy. Akibat sakit itu, ia pernah sedih dan terpuruk bahkan kehilangan rasa percaya diri yang membuatnya mengurung diri beberapa lama.

“Mungkin ini hikmahnya, bahwa dari peristiwa itu melahirkan ide buat saya menulis cerpen berjudul Bell’s Palsy di buku ini,” ujarnya.

Cerpen-cerpen yang ditulisnya bukan sekadar permainan kata dan estetika, tetapi lebih dari itu. Dia berupaya memberikan pesan-pesan bermakna, bukan semata imajinasi, khayalan atau kekosongan belaka.

“Ada prinsip yang saya pegang ketika menulis, yaitu bagaimana karya-karya saya itu memiliki pesan-pesan yang mengandung hikmah agar dapat diambil pembaca setelah membaca buku ini,” ujarnya.

Sebelumnya tahun 2014 lalu Aliyah menerbitkan buku cerpen Flamboyan Senja dan novel Lukisan Cahaya di Batas Kota Galuh yang berlatar Kota Galuh (Ciamis). Flamboyan Senja masuk ke dalam buku ajar Bahasa Indonesia tingkat SLTP kelas VIII yang diterbitkan salah satu penerbit nasional.

Sejumlah karya Aliya Nurlela lainnya yang telah terbit di antaranya Sedekah Kunci Pembuka Pintu Rezeki (2010), 100 % Insya Allah Sembuh (2011), Fesbuk (2012), Jembatan Merah (2013), Semangkuk Kata Cinta (2013),  Love My Heart (2013), Ensiklopedi Penulis Indonesia Jilid 1 (2014), dan Aku Bahagia Jadi Muslimah (2014).

Kecintaannya pada fiksi sudah berkembang sejak kecil. Dongeng dan cerpen anak adalah tulisan yang digemarinya di masa kanak-kanak. Namun, ia mulai mempublikasikan karyanya di media massa menjelang usia 14 tahun, dan diterbitkan dalam bentuk buku setelah aktif di FAM Indonesia sejak 2012. (Arif RH)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.