Jumat, 3 Mei 24

Ekonom: Penyakit Akademis Melanda Kampus

Ekonom: Penyakit Akademis Melanda Kampus

Purwokerto – Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) Prof Dr Sri Edi Swasono mempertanyakan, masihkah kita kompeten sebagai insan akademik-ilmiah di dalam tan¬tangan dan perkembangan ilmu-ilmu sosial, khususnya di dalam pancaroba globalisme saat ini, dan mampukah kita melakukan ko¬rek¬si dan dekonstruksi; merombak ataupun melakukan timbal-balik transformasi inovatif terhadap pemikiran-pemikiran kon-ser¬vatif-konven¬sional yang menje¬rumuskan (misleading) saat ini?

“Khusus di bidang pemikiran ekonomi, masihkah kita sebagai insan akademik-ilmiah terjerat dan terkooptasi oleh pemikiran-pemikiran ekonomi mainstream yang parsial dan makin compang-camping ini? Masihkah kita, atau makinkah kita, memberhalakan teori pasar-bebas yang bersubstansi neoklasikal dan neoliberalisme?” papar Sri Edi Swasono dalam acara Sidang Senat Terbuka Dies Nataslis ke-51 Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, Selasa (23/9/2014).

Dari berbagai pengamatan pribadi Sri Edi, sangatlah memprihatinkan adanya dua penyakit akademis yang melanda kampus-kampus kita, yaitu: hegemoni akademis (academic hehemony) dan kemiskinan akademis (academic poverty). Hagemoni atau keterjajahan akademis yang paling menyolok adalah tertelannya mentah-mentah kurikulum dan silabus dari luar habitat institusional dan kultural kita, khususnya dari Barat, ke dalam kampus-kampus di Indonesia.

“Ini berarti bahwa kita mengabaikan tuntutan kecanggihan, lengah akan academic scrutiny tentang perbedaan-perbedaan antara nalar Barat dengan nalar Timur, antara nilai-nilai Barat dengan nilai-nilai Timur. Ada nalar Barat yang indivi¬dualistik dan kapitalistik, ada pula pola-pikir Timur yang mutualistik. Tentu ada pola-pikir asing dan ada pula pola-pikir keindonesiaan dalam konteks paradigma Pancasila,” terangnya.

Sedangkan mengenai kemiskinan akademis, jelas dia, adalah tentang keengganan memahami pemikiran-pemikiran substantif secara njelimet, yang mengham¬bat pencerahan dan pemba¬haruan dalam pemikiran, kurang kemauan untuk menjelajahi mitos, logos dan proposisi metafisisnya dalam membangun pemikiran-pemikiran baru, dan sekaligus melepas pemikiran-pemikiran konser¬vatif-konvensional yang obsolit, suatu pasi-visme akademis dengan dalih kemapanan atau anti radikalisme olah-pikir.

“Tentu antara keterjajahan akademis dan kemiskinan akademis saling bertautan dan menguatkan. Dasar daripada itu adalah kurang dipangkunya the culture of excellence untuk mencapai kemampuan berpikir par excellence dalam kehidupan akademis-ilmiah di kampus-kampus kita,” tandas Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa ini.

Sri Edi mengemukakan, bila Amartya Sen (1987), penerima Hadiah Nobel Ilmu Ekonomi 1998, menegaskan bahwa “natur ilmu ekonomi modern telah secara subtansial dimiskinkan oleh jarak yang telah tumbuh antara ilmu ekonomi dan etika”3), maka dirinya ingin menambahkan lebih lanjut bahwa ilmu ekonomi akan kehilangan peran unggulnya bila men¬jauhkan diri dari mim¬pinya masyarakat, ideologi, budaya, dan tradisi yang hidup di pangkuan masyarakat.

“Dari apa yang saya kemukakan di atas, saya terinspirasi pula untuk mengungkap lebih lanjut tentang apa yang saya temukan di lingkungan universitas-uni¬versitas dalam bidang ilmu ekonomi, sangatlah me¬nyedihkan,” tutur menantu Bung Hatta ini.

Ditegaskan pula, pengajaran ilmu ekonomi masih terjerat pada konservatisme, buku-buku teks yang ada mengabaikan nilai-nilai etikal, bahkan nilai-nilai kultural dan ideologis. Lester Thurow (1983), seorang ekonom terkemuka dari MIT, bahkan me¬nyatakan bahwa “…ilmu ekonomi berada dalam kacau-balau … ilmu eko¬nomi memerlukan (lebih banyak) analisa-analisa empirik, termasuk dari ahli-ahli sejarah, psikologi, sosiologi, dan ilmuwan politik…”4).

“Demikian ini hampir tanpa kecuali juga terjadi di universitas-universitas di Indonesia. Oleh karena itu, ilmu ekonomi Barat yang sarat dengan budaya kompetitivisme (budaya bersaing), ketika diterapkan di Indonesia yang sarat dengan kooperativisme (budaya kerja¬sama bergotong-royong), menimbulkan kekacauan, ke¬tidak¬adilan sosial dan inefisiensi sosial. Dari sini para akademisi Indonesia lengah-budaya, banyak yang terjebak dalam hege¬moni akademis dan kemiskinan akademis,” ungkapnya. (Ars)

 

Related posts