Kamis, 25 April 24

Di Era Soeharto Penduduk yang Minta Keadilan Dicap PKI

Di Era Soeharto Penduduk yang Minta Keadilan Dicap PKI
* Giat Wahyudi, Ketua Dewan Pakar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

Jakarta, Obsessionnews – Kurang elok membandingkan periode rezim tertentu dengan situasi hari ini. Orang-orang tua tempo dulu ada yang berujar masih enak ‘zaman normal’. Anak-anak sekarang tentu buta sama sekali, binatang macam apa ‘zaman normal’ itu? Padahal yang dimaksud ‘zaman normal’ adalah periode kolonial. Tak pelak pendapat tersebut ditolak mentah-mentah oleh para pejuang.

Demikian diungkapkan Giat Wahyudi, Ketua Dewan Pakar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) kepada obsessionnews.com di Jakarta, Jumat (22/5/2015), menanggapi pernyataan puteri mantan Presiden Soeharto, Titiek Soeharto. Seperti diketahui, Titiek mengatakan kepada wartawan di Gedung DPR, Rabu (20/5)), 17 tahun reformasi tidak membawa kemajuan bagi bangsa ini. Menurutnya, era Orde Baru di saat ayahnya berkuasa jauh lebih baik dari kondisi sekarang.

Memasuki masa reformasi ada stiker bergambar Soeharto dengan tulisan ‘Piye kabare, enak zamanku to?‘ Maksudnya era sekarang ini semrawut, amburadul, maka lebih nyaman masa Soeharto. (Baca: Era BK dan Soeharto Jauh Lebih Baik Dari Sekarang)

“Masa itu memang stabil, berbeda dengan era pancaroba dewasa ini. Namun jangan lupa, kala itu mimbar kebebasan akademik diintervensi penguasa. Penduduk suatu tempat yang wilayahnya terkena gusur dan meminta keadilan agar mendapat tempat yang layak akibat gusuran, spontan dicap PKI. Aktivis mahasiswa yang menyimpan, membaca dan mendiskusikan buku-buku yang dianggap produk orang-orang kiri, seperti karya sastra Pamudya Ananta Toer, segera ditangkap dan masuk bui. Maka suasana nyaman, tentram dan enak hanya untuk golongan tertentu,” ujar Giat.

Dia mengemukakan, jika kita hendak membandingkan periode tertentu dengan zaman berikutnya, akan elok bila hal itu ditujukan untuk mengambil iktibar dari suatu perjalanan sejarah. Dengan demikian yang baik dapat dikembangkan dan yang buruk harus ditinggalkan, tanpa unsur dendam dan jumawah.

Memang suasana pasca reformasi penuh sesak dengan berbagai kepentingan yang membuat sistem tata negara kita kedodoran. Ambil contoh, hari ini kita tidak mengenal Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman pembangunan nasional. Pada masa pemerintahan Bung Karno dan Soeharto GBHN masih ada. Perbedaannya periode Bung Karno pendekatannya kesejahteraan dengan bertumpu pada kekuatan sendiri. Sedangkan pada periode Soeharto pendekatannya pertumbuhan ekonomi dengan bantuan modal asing. Kini GBHN ‘diubah’ menjadi Rencana Pembangunan Jangka Pendek, Jangka Menengah dan Jangka Panjang yang diformat dalam undang-undang.

“Jangan lupa, hal itu bukan barang baru! Pada masa liberalisme tahun 1956, Kabinet Ali Sastroamidjojo telah merancang Undang-Undang Pembangunan Lima Tahun 1956-1960. Pada masa Kabinet Djuanda peraturan itu dilaksanakan. Tetapi pasca Dekrit Presiden peraturan tersebut dihapus dan diganti GBHN. Selanjutnya pasca reformasi 1998 GBHN dihapus, diganti dengan undang-undang yang mengatur pembangunan nasional, dus kita kembali ke alam liberalisme,” tandasnya.

Menurutnya, alam liberalisme ini yang membuat negeri ini terperosok, semrawut, dan amburadul. Maka klaim ‘Enak zaman Soeharto’ tidak menyelesaikan persoalan bernegara. Sebaliknya bisa memicu konflik masa lalu. Haluan yang sempurna seyogianya kita melakukan rekonsiliasi nasional dan ‘ijtihad politik’ untuk menempatkan kembali GBHN sebagai pedoman pembangunan nasional. Meski MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, bukan berarti tidak bisa membuat GBHN. Pasalnya negeri ini masih mengenal tata urutan peraturan perundang-undangan yang menempatkan TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan di bawah UUD.

“Jika kita kembali menganut GBHN, dan hal itu dilaksanakan secara efektif, seluruh rakyat Indonesia akan enak dan nyaman. Bukan pada periode tertentu saja,” kata Giat.

Dia berharap semoga bani (keturunan) Soekarno (Megawati), bani Soeharto (Titiek Soeharto), BJ.Habibie, bani Hasyim (keluarga almarhum Gus Dur), SBY dan, Jokowi sepakat dengan hal ini. (Arif RH)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.