Jumat, 3 Mei 24

Alexis Tak Lagi Eksis, Karena Gubernur Anies

Alexis Tak Lagi Eksis, Karena Gubernur Anies
* Hotel Alexis di Ancol, Jakarta Utara. (Foto: Popi Rahim/Obsessionnews.com)

Oleh: Iramawati Oemar, Penulis dan Aktivis Media Sosial

 

Sejak Senin pagi, 30 Oktober 2017, beredar foto sebuah surat berkop Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) yang ditujukan kepada Direktur Grand Ancol Hotel tertanggal 27 Oktober 2017. Surat yang ditandatangani oleh Kepala Dinas PMPTSP DKI Jakarta, bapak Edy Junaedi itu isinya memutuskan bahwa Permohonan Tanda Daftar Usaha Usaha Pariwisata (TDUP) Hotel Alexis dan Griya Pijat Alexis belum dapat diproses. Dengan kata lain, IJIN beroperasi bagi kedua sarana itu TIDAK LAGI DIBERIKAN PERPANJANGAN.

Dampaknya adalah kedua usaha hiburan itu harus TUTUP. Adakah yang salah? Apalagi jika dikaitkan dengan janji kampanye Gubernur dan Wagub Anies dan Sandiaga, seperti yang mereka sampaikan ketika debat paslon Cagub-Cawagub yang diselenggarakan oleh KPUD DKI pada masa kampanye lalu. Ketika itu ada yang menanyakan apakah keduanya sanggup menutup tempat hiburan “kelas atas” yang diduga memiliki backing kuat sehingga ‘immun’ dari penertiban, dibanding lokalisasi ecek-ecek semacam Kalijodo. Ketika itu paslon Anies – Sandi menjawab tantangan itu dengan janji sanggup untuk menutupnya.

Kali ini mereka sudah merealisasikan janjinya. Lalu kenapa mereka (kelompok yang tidak pernah rela Anies – Sandi memimpin DKI dan tetap belum bisa menerima kenyataan bahwa jagoan mereka kalah dalam Pilgub) malah mencari-cari alasan untuk mendelegitimasi hal ini dengan berbagai alasan?

Seorang dieharder pendukung gubernur petahana yang kalah menulis seolah Anies hanya mendapat durian runtuh karena sebenarnya yang tidak memperpanjang adalah Gubernur Djarot Saiful Hidayat . Hahahaaa…, ini lucu sekaligus konyol karena justru menjatuhkan kredibilitas Djarot. Konon katanya ijin Alexis sudah habis sejak bulan September lalu bahkan ada yang mengatakan sejak Agustus lalu dan tidak diperpanjang. Lalu kenapa Alexis masih beroperasi sampai dengan tanggal 27 Oktober 2017?! Kenapa tidak ditindak jika memaksa terus beroperasi? Siapa yang tidak tegas?! Tidak tegas atau tidak berani?!

Dalam sebuah acara talk show di sebuah tv swasta, Moammar Emka yang hadir sebagai salah satu nara sumber, mengatakan ijin Alexis habis di bulan Agustus dan kabarnya Alexis sudah mengajukan permohonan pengajuan perpanjangan di bulan Juli, alias 1 bulan sebelum ijinnya habis.
Artinya, jika informasi ini benar, sesungguhnya ada cukup waktu bagi Gubernur Djarot untuk memutuskan sebelum bulan Agustus tiba.
Lalu kenapa tidak segera diproses atau diberi keputusan tegas dan jelas : bisa atau tidak diproses perpanjangannya?! Jika tidak bisa diperpanjang, segera jawab secara resmi dan tertulis. Sebaliknya, kalau sengaja dibiarkan tidak diproses sambil menunggu dilantiknya Gubernur baru, itu artinya pejabat lama tidak juga berani mengambil keputusan. Dengan kata lain memang sengaja mewariskan “masalah” itu kepada penggantinya.
Bukan Djarot yang bertelur dan Anies yang mengerami. Tetapi Djarot hendak meninggalkan telur busuk kepada Anies. Syukurlah Anies tegas, telur busuk itu ditangkisnya. Tidak perlu mengerahkan kekuatan fisik aparat, cukup dengan surat.

So…, it’s very simple, logikanya :
1. Jika benar ijin sudah tidak diperpanjang sejak September, mana bukti tertulisnya? Jawabnya : TIDAK ADA surat pernyataan penolakan perpanjangan ijin dari gubernur sebelumnya.
2. Jika benar Alexis tidak lagi punya ijin sejak September, kenapa dibiarkan tetap beroperasi? Jawabnya : TIDAK ADA KETEGASAN, pelanggaran ditolerir.

Nah, sementara fakta menunjukkan bahwa jelas surat dari Kadis PMPTSP itu tertanggal 27 Oktober 2017, artinya 11 hari kalender setelah Gubernur dan Wakil Gubernur Anies dan Sandi dilantik. Maka, suka tidak suka, anda senang atau tidak senang dengan Anies Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno, fakta bicara bahwa setelah era mereka berdua-lah ijin Alexis bisa dijawab dengan tegas dan officially (resmi).

*** *** ***

Lho kan yang menyatakan tidak bisa diproses Kadis PMPTSP, bukan Gubernur atau Wagub. Ya inilah hirarki dalam birokrasi. Permohonan yang diajukan oleh Hotel dan Griya Pijat Alexis ditujukan kepada Dinas PMPTSP, sebagai Instansi yang berwenang menerbitkan TDUP tersebut. Jadi tentu saja yang wajib menjawab adalah Kadis PMPTSP. Namun demikian, seorang Kadis tidak akan berani mengambil keputusan yang kontroversial apabila tidak disetujui, atau minimal diketahui oleh atasannya, sang Kepala Daerah.

Selasa petang di TV One, Bapk Edy diwawancarai secara live by phone dan di ujung yang lain ada staf Corporate Legal Alexis, beliau tegas sekali jawabannya. Artinya seorang Kadis tidak dibiarkan sendiri mengambil keputusan. Kepala Daerah di atas dia ikut bertanggungjawab, tidak hanya mengomeli anak buahnya.

Seorang pemimpin juga harus bisa memastikan bahwa instruksinya dipatuhi dan dijalankan oleh bawahannya. Gubernur harus bisa memastikan para Kadis menjalankan policy yang sudah digariskannya. Jadi bukan membiarkan Kadis membantah, lalu hanya diomeli dan kemarahannya itu diumbar ke media massa hanya untuk menunjukkan bahwa dia bisa memarahi anak buah, tapi tidak bisa memastikan kebijakannya dijalankan oleh anak buah.

Penutupan Alexis smooth, tidak perlu pengerahan satpol PP, polisi, dll. Tidak perlu ada bentrok fisik. Cukup ijinnya tidak diperpanjang, sehingga Alexis tak bisa beroperasi. Alexis memilih mematuhi, sebab jika Alexis memaksa beroperasi tanpa ijin, maka justru aparat penegak hukum lah yang harus bertindak.

Jadi sekali lagi, cara penutupan Alexis sudah tepat dan benar. Tidak perlu berdarah-darah tapi ada kepastian bahwa pelarangan itu dipatuhi.

*** *** ***

Gagal mendelegitimasi bahwa penghentian ijin itu hasil keputusan gubernur sebelumnya, kini mereka sibuk mempersoalkan BUKTI bahwa di Alexis ada aktivitas prostitusi. Ini lebih konyol lagi dan juga ironis. Sebab sama dengan mengatakan Ahok bohong besar. Bukankah Ahok yang pada awal tahun 2016 lalu mengatakan bahwa di Alexis lantai 7 adalah “SURGA DUNIA”?! Ungkapan itu sebagai perumpamaan bagi tempat pelayanan rekreasi seksual kelas kakap. Dalam rangkaian kalimatnya Ahok menyebut prostitusi ‘artis’ ada di hotel. Bahkan Ahok mengatakan dirinya MARAH ketika Kadis Pariwisata membantah bahwa di Alexis ada aktivitas prostitusi. Justru Ahok-lah yang menegaskan ada prostitusi disana. Bahkan kata Ahok pula, setelah kembali melakukan pengamatan, sang Kadis Pariwisata akhirnya mengakui bahwa disana (Alexis) ada aktivitas prostitusi. Nah, Ahok bisa ngomong begitu tentunya karena dia sudah tahu.

Alexis tempat apa, rasanya bukan hanya Ahok yang tahu. Sebab terkait dengan pernyataan Ahok, Tribunnews pernah menurunkan berita hasil wawancara dengan seorang pria yang pernah jadi pengunjung Alexis. Ahok pun bisa mengatakan surga dunia ada di lantai 7 Alexis tentunya bukan tanpa sebab. Kalau menuntut bukti adanya aktivitas seksual dua insan berlawanan jenis bukan pasutri sah, ya jelas tak akan ada. Bukankah Alexis sangat ketat melarang adanya ponsel dan kamera masuk ke ruang-ruang layanannya?

Moammar Emka, penulis buku “JAKARTA UNDERCOVER” yang pernah heboh dan best seller di tahun 2002-an, menuliskan berbagai macam fasilitas dan sarana rekreasi seksual dan prostitusi kelas atas, yang hanya dikhususkan bagi mereka yang berkantong sangat tebal. Yang jadi pelanggan bisa pejabat, pengusaha besar, yang tentu mereka dikenal publik. Maka, sudah barang tentu kalau layanan prostitusi kelas kakap ini beda jauh dengan prostitusi jalanan atau yang kelas menengah ke bawah macam gang Dolly di Surabaya atau Kalijodo di Jakarta. Bagi pelanggan kelas atas yang sangat menjaga citra dirinya, prestige-nya, maka KERAHASIAAN sangat penting. Untuk itulah mereka rela merogoh kocek jutaan rupiah hanya untuk menikmati layanan beberapa jam. Bahkan kendati sudah best seller pun buku Moammar Emka TIDAK DILENGKAPI DENGAN ILUSTRASI FOTO. Bahkan lokasi dan nama tempat hiburan pun disamarkan. Meski untuk bisa menuliskannya Moammar Emka tak segan-segan menyamar dan blusukan ke tempat-tempat tersebut. Sekali lagi : BUKTI fisik sulit didapatkan. Cerita dari yang pernah kesana, sudah cukup. Meski sejumlah orang bahkan tokoh politik sok tidak tahu dan tidak yakin di Alexis ada prostitusi, tapi di sisi lain ada banyak lelaki hidung belang yang sebenarnya tertawa karena mereka tahu banyak tentang Alexis.

*** *** ***

Ada lagi politisi yang menyerang keputusan Anies dengan dalih Alexis menyumbang 30 milyar rupiah pada PAD DKI. Alexis dalam konpersnya juga mengungkit bahwa mereka “berkontribusi nyata” (hello…, bayar pajak itu KEWAJIBAN setiap pengusaha lho Mbak…, gak perlu merasa paling berjasa hanya karena bayar pajak).

Jika pajak yang dibayarkan besar, ya pastilah karena net profit before tax-nya juga besar. Bukankah ada rumus bakunya bagaimana PPH Badan dihitung. Jika PPH Alexis mencapai 30M, bisa dibayangkan berapa keuntungan bersih mereka setahun. Bandingkan dengan bisnis hotel biasa. Bandingkan dengan hotel berbintang di pusat Jakarta yang tingkat huniannya relatif penuh sepanjang tahun karena jadi langganan para pelaku bisnis yang butuh menginap beberapa malam.

Sedangkan Alexis bukan hotel tempat menginap semacam itu. Bahkan mungkin tingkat huniannya tidak sampai beberapa malam, cukup beberapa jam saja, paling lama semalaman.
Nah, bagaimana bisa pendapatan sebesar itu didapat jika hanya mengandalkan tarif kamar hotel semata?! Masuk akalkah hitung-hitungannya?!
Berapa sih tarif kamar hotel terbaik di Alexis jika hanya untuk menginap saja selayaknya hotel lainnya?

Jika besarnya pajak yang dibayarkan Alexis jadi pertimbangan utama untuk mentolerir pelanggaran, inilah cermin pola pikir materialistik. Yang menjadikan materi sebagai tolok ukur untung rugi semata.
Bagaimana jika misalnya ada perdagangan miras dan narkoba yang menyumbang pajak besar, apakah kita juga akan mentolerir hanya karena sayang kalau ditutup usahanya, maka Pemda bisa kehilangan pendapatan?

Lucunya, dalam acara talk show yang berorientasi pro kontra di TV One tadi malam, sang politisi tersebut tak lagi mempersoalkan besarnya pajak dari Alexis, tetapi ganti topik dengan menyebut Anies terburu-buru. Padahal, rekannya dari partai politik koalisinya pernah menantang Anies : “apa susahnya menutup Alexis, bahkan dari 23 janji Anies Sandi, seharusnya menutup Alexis yang paling cepat bisa dilakukan.
Nah lho! Jika tak segera ditutup katanya kok gak segera. Begitu ditutup, katanya terburu-buru.

Apakah Anies harus menerbitkan ijin perpanjangan dulu setahun untuk meminta waktu mengevaluasi?! Hahahaa…, kalau itu yang dilakukan, sudah pasti akan dihujat “Anies mengingkari janji kampanyenya!”

Lucunya lagi, tadi malam yang dikutip politisi tersebut adalah pernyataan Kadis Pariwisata yang mengatakan di Alexis tak ada prostitusi. Padahal, Ahok justru mengatakan dirinya marah kepada Kadis Pariwisata, “bilang saja ada!”, sanggah Ahok.
Nah lho lagi, dulu Ahok yang dibenarkan, sekarang justru orang yang dimarahi Ahok yang dibenarkan.
Jadi kalau begitu Ahok salah dong?!

*** *** ***

Masih kurang banyak peluru yang dipakai menembak Anies? Jangan khawatir, masih ada celah lain untuk mempersoalkan kebijakan tidak memperpanjang ijin Alexis. Kali ini berkedok (sok) kemanusiaan. Dalihnya : bagaimana nasib para pekerja Alexis, kemana mereka akan cari rejeki?

Begini ya bro, jika benar anda punya nurani kemanusiaan, justru seharusnya berpikir sebaliknya : kasihan jika ada orang yang harus berkubang dalam dunia malam, yang sangat berpotensi berkelindan dengan prostitusi. Memangnya ada orang yang mau sepanjang hidupnya “berkarir” sebagai penghibur?!

Ibu Erlinda yang selama ini dikenal pegiat dari Komnas Perlindungan Anak, di acara talk show di tv swasta juga menyampaikan keprihatinannya soal ini. Pekerjaan semacam itu sangat terbatas usianya. Sedikit tua saja tak mungkin terus disitu. Padahal jika mereka terus hidup dalam dunia gemerlap semacam itu, gaya hidupnya sudah terlanjur tinggi, mau apa saja bisa, bagaimana kelak jika tidak dipersiapkan untuk beralih dari profesi semacam itu?

Seharusnya hal semacam itu yang dipikirkan. Jika suatu tempat yang terindikasi tempat maksiat ditutup, semestinya disyukuri karena bisa jadi langkah awal untuk mengentaskan mereka yang berkubang dalam dunia gemerlap yang menyesatkan.

Lucunya, ketika Kalijodo digusur dengan semena-mena bahkan dengan pengerahan kekuatan fisik aparat dan alat berat oleh Pemda DKI di era Ahok, kok mereka yang (sok) “peduli” pada nasib pekerja, saat itu tidak sedikit pun ada rasa empati kepada para pekerja di Kalijodo?!

Bukankah dampaknya sama? : bahkan jumlah rakyat kecil yang kehilangan mata pencaharian di kalijodo sangat jauh lebih banyak, pekerja kalijodo kehilangan tempat bekerja jumlahnya bisa puluhan kali lipat?! dan rakyat pedagang pedagang kecil di sekitarnya yang kehilangan mata pencahariannya karena jadi sepi dagangnya, Bahkan Kalijodo itu kelas menengah bawah, artinya secara ekonomi lebih memprihatinkan, jauh lebih miskin, lebih tidak punya kesiapan dana cadangan. Beda dengan Alexis yang kelas atas, serba mewah, hampir pasti punya kesiapan dana cukup banyak.

Bahkan lebih ironis lagi, ketika Kampung Akuarium, Luar Batang, digusur dengan semena-mena, nelayan dipisahkan paksa dari laut dan pasar ikan, bahkan sampai harus tinggal di atas perahu, malam hari tidur beratapkan langit, kepanasan dan kehujanan, tak sedikitpun terucap rasa iba. Tak ada celotehan di media sosial menghujat Gubernur Ahok, bahkan sekedar mempertanyakan bagaimana kelanjutan usaha dan mata pencaharian para nelayan, pun tidak pernah mereka lakukan.

Bukankah sebenarnya penutupan Alexis jauh lebih manusiawi dan tanpa kekerasan? Tak ada pengrusakan, semua asset utuh, pihak manajemen Alexis sendiri yang menutup logo dan nama usahanya.
Bandingkan dengan cara-cara Ahok menggusur Kalijodo. Beda banget bukan? Seharusnya jika yang waras dan normal, bisa membandingkan mana yang lebih manusiawi dan mana yang tidak.

Soal kelanjutan nasib para pekerja hotel Alexis, Wakil Gubernur Sandiaga Uno sudah berjanji akan ikut bantu memikirkan dengan menyalurkan pada Oke Oce. Tentu butuh kemauan dari mereka juga.
Namun ini masih lebih baik, ketimbang Ahok menggusur Kalijodo, Kampung Akuarium, Luar Batang, tanpa memikirkan penyaluran mereka selanjutnya agar tetap bisa mencari nafkah. Akibatnya, mereka yang direlokasi ke rusunawa pun akhirnya banyak yang tak mampu lagi membayar sewanya karena tak lagi berpenghasilan seperti sebelum digusur.

Alhasil, Apa yang dilakukan Gubernur Anies sudah benar dan juga didukung oleh masyarakat. Coba, siapa yang tidak mendukung penutupan tempat yang terindikasi jadi sarana prostitusi? Nah, pasti malu mengakui, bukan?!

Lalu apa lagi yang membuat harus dicari-cari dalih untuk menyalahkan Anies karena tidak memperpanjang ijin Alexis?!

Semua itu tak lain karena rasa benci, tidak suka Gubernur dan Wagub Anies – Sandi. Jadi apapun langkah yang mereka ambil, meski sebenarnya baik, tetap wajib dicari salahnya.

So…, Pak Anies Baswedan dan Bang Sandiaga Salahudin Uno, biarkan anjing menggonggong, tetaplah khafilah berlalu. Karena apa yang anda lakukan sudah om the right track.Mereka yang bela Alexis sebenarnya sedang menunjukkan dimana mereka berdiri dan kepada siapa keberpihakannya. Berpihak kepada konglomerat. Atau berpihak kepada rakyat. Go… Go… Go… Anies – Sandi!

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.