Jumat, 18 Oktober 24

Ada Apa (Apanya) Draf UU Penyiaran?

Ada Apa (Apanya) Draf UU Penyiaran?
* Roy Suryo. (Tangkapan layar TV OMG News)

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB; Mantan Anggota Komisi I DPR RI (2009-2019); Mantan Anggota Badan Legislasi DPR RI (2016-2017)

 

Masyarakat pers terusik, selama ini kebebasan pers di Indonesia sudah dirasakan nyaman dan on the track dengan UU Pers No. 40/1999 yang ditetapkan semenjak 23/09/1999 lalu dan dirasakan sudah sesuai dengan jiwa dan semangat reformasi, mendadak ada usulan dalam draf RUU Penyiaran Baru yang sedang digodok di Komisi I dan Badan Legislasi DPR RI. Ini terjadi karena beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran itu dinilai berpotensi memberangus kebebasan pers, misalnya ada larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi sebagaimana yang dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) huruf (c) RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu.

Kenapa hal di atas dipertanyakan? Karena hal tersebut tidak sesuai dengan aturan sebelumnya yang sudah berjalan 25 tahun, UU No. 40/1999 dan telah dengan sangat baik mengatur ihwal kerja dan etika pers, termasuk soal kegiatan jurnalisme investigasi. Kalau sekarang mendadak muncul usulan untuk mengatur soal khusus ini dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) bisa diprediksikan akan ada pasal-pasal titipan (baca: colongan) yang akan menghambat kebebasan pers selama ini. Termasuk juga penyelesaian sengketa pers yang selama ini ditangani baik oleh Dewan Pers, dalam RUU ini di Pasal 42 akan dilakukan oleh KPI.

Memang anehnya pada konsideran draf RUU Penyiaran tersebut sama sekali tidak mencantumkan Undang-Undang Pers yang sudah ada sebelumnya, sehingga hal ini dalam sistematika penulisan draf RUU akan berpotensi tumpang tindih sekaligus ketidakpastian hukum yang diaturnya. Sebagai mantan Anggota DPR RI di Komisi I yang menangani juga soal pers dan kominfo, bahkan sempat juga menjadi Anggota Badan Legislasi DPR RI selama sekitar setahun, mulai 2016-2017, saya sangat bisa memahami kejanggalan yang dirasakan oleh insan pers hari-hari ini.

Meski asumsi tersebut dibantah oleh beberapa Anggota Komisi I DPR sekarang dan mereka kompak mengatakan, bahwa DPR tidak memiliki maksud/tujuan untuk melemahkan keberadaan pers dan masih membuka ruang kepada insan pers, masyarakat sipil dan para pegiat untuk membantu menyempurnakan revisi RUU Penyiaran tersebut, namun sekali lagi wajar bilamana masyarakat sekarang memang harus mewaspadai ketidaksinkronan antara statemen yang disampaikan sebelumnya dengan hasil akhir yang terjadi. Sebab contohnya sudah sering, misalnya dalam RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) yang akhirnya menjadi UU Ciptaker (Cipta Kerja) sekarang, banyak sekali terjadi ketidaksesuaiannya dalam pelaksanaan dan sangat merugikan masyarakat.

Mengapa jurnalisme investigasi ini menarik? Karena selain yang ada di media cetak dan online, visualisasi tayangan jenis ini di media elektronik memang menempati posisi tersendiri bagi masyarakat. Pasca Indonesia memberi kebebasan untuk stasiun TV swasta menayangkan berita, maka sejak 1989 saat RCTI dan SCTV menyusul di tahun 1990 memiliki program jenis ini langsung diminati masyarakat. Sejarah mencatat, banyak nama acara unggulan stasiun-stasiun TV tersebut telah akrab disanubari masyarakat, mulai dari SiGi (SCTV), BuSer (SCTV), Metro Realitas (MetroTV), Telusur (TVone), Kupas Tuntas (TV7), Berkas Kompas (KompasTV) sampai kepada Program-program yang menggunakan nama Anchornya sendiri : Aiman (KompasTV), AFD Now / Alfito Deanova (CNN), Rosi (KompasTV), Ni Luh (KompasTV), Rully Files (CNN) dan sebagainya.

Tidak jarang bahkan pembuatan liputan jurnalisme investigatif di atas berisiko kepada jurnalis/reporternya, misalnya yang barusan dialami oleh salah satu jurnalis senior dari sebuah TV Swasta saat Pemilu 2024 kemarin. Meski sempat diproses dan berjalan kasusnya, alhamdulillah dalam perkembangannya pelapor kemudian mencabut pengaduannya dan kasus tersebut dihentikan penyidikannya, meski sudah sempat dilakukan beberapa kali pemanggilan kepada sang jurnalis bahkan penyitaan barang bukti dari yang bersangkutan meski statusnya masih sebagai saksi. Dalam kasus tersebut sebenarnya UU Pers sekali lagi sudah cukup bisa digunakan untuk menjembatani bilamana terjadi ketidaksesuaian pendapat antara satu pihak dengan pihak lain.

Oleh karenanya bilamana mendatang dalam RUU Penyiaran justru akan diberikan tambahan kepada KPI untuk “cawe-cawe” dalam urusan materi jurnalistik ini, dikhawatirkan malah bisa terjadi saling sengkarut alias tumpang tindih kepentingan dari dua lembaga yang sebenarnya sudah punya tupoksi masing-masing, yakni Dewan Pers dan KPI. Bisa jadi justru masalahnya tidak cepat selesai sebagaimana penyelesaian sistem mediasi seperti yang dilakukan Dewan Pers selama ini, namun berbuntut panjang karena melibatkan banyak pihak dan metode penyelesaian yang berbelit karena perbedaan mekanisme penyelesaiannya.

Memang revisi atau pergantian UU adalah suatu hal yang diperlukan bilamana UU eksisting dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakatnya, misalnya revisi UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) No. 11/2008 menjadi UU No. 19/2016 dan terakhir sekarang UU No. 01/2024. Sementara ada juga UU lain yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman karena teknologinya banyak yang sudah berkembang, yakni UU Telekomunikasi No. 3/1989 yang revisi terakhirnya adalah UU No. 36/1999 alias sudah berusia 25 tahun dari sekarang padahal dunia telekomunikasi sudah sangat berkembang dibandingkan tahun awal millenium tahun 2000 lalu.

Kesimpulannya, kalau UU memang sudah saatnya direvisi karena sudah tidak sesuai zamannya lagi adalah hal yang wajar dan tidak akan menimbulkan pertanyaan. Namun jika UU yang masih berjalan baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat mendadak ada (kepentingan?) untuk diganti atau ditambahkan hal-hal yang justru menarik mundur alias mengekang demokrasi, tentu hal ini pantas menjadi pertanyaan besar: Ada apa (apanya?) di balik itu semua? Mengapa justru terkesan akhir-akhir ini reformasi makin jauh dari harapan, demokrasi dikebiri dan malah korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) makin menjadi-jadi (marak)? Siapa lagi yang bisa mengkritisi kalau pers yang sehat dan bertanggung jawab malah dibungkam? Miris, benar-benar Indonesia Emas 2045 akan menjadi Indonesia Cemas kalau demikian. []

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.