Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

Waspadai Skenario Antasari Azhar Jilid II : Bila Kebenaran Menjadi Tak Penting!

Waspadai Skenario Antasari Azhar Jilid II : Bila Kebenaran Menjadi Tak Penting!
* Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar. (Foto: Edwin B/Obsessionnews.com)

Oleh : Hersubeno Arief, Konsultan Media dan Politik

 

Skenario “Antasari Azhar” jilid II tampaknya sudah mulai dijalankan dalam putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017. Munculnya laporan ke Bareskrim Polri bahwa  Sandiaga Uno melakukan  penipuan, makin memperkuat bukti  bagaimana  skenario besar itu sedang dimainkan. Laporan ini mengingatkan kita pada aksi Antasari  dalam pilkada DKI putaran pertama. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pernah menjadi terpidana kasus pembunuhan itu, melaporkan mantan Presiden SBY ke Bareskrim. Tuduhannya tidak main-main. SBY terlibat dalam rekayasa menjebloskan dirinya ke penjara.

Apakah kasus itu murni hukum? Tentu tidak. Nuansa politiknya jauh lebih kental. Targetnya jelas menghancurkan elektabilitas Agus-Sylvi yang sedang menanjak, dengan mendiskreditkan SBY. Caranya bermacam-macam. Dilakukan sangat terencana, terstruktur, sistematis dan didukung berbagai kekuatan dahsyat di belakangnya. Mulai dari tudingan SBY membiayai berbagai Aksi Bela Islam (ABI), sampai tuduhan bahwa SBY mengorder fatwa penistaan agama melalui Ketua MUI KH Maruf Amin. Puncaknya adalah laporan Antasari ke Bareskrim. Sebagai senjata pamungkas,  ia diluncurkan pada momen yang sangat krusial, sehari menjelang pencoblosan.

Hasilnya cukup efektif. Elektabilitas Agus-Sylvi yang sampai bulan Januari masih terus memuncaki sejumlah survei dan diperkirakan   bakal memenangkan Pilkada, suaranya terus melorot. Dan akhirnya tersingkir di putaran kedua. Bagaimana kelanjutan kasusnya? Tak jelas. Yang penting bagi mereka adalah pembentukan publik opini melalui media. Jangan lupa bahwa dalam kontestasi semacam pilkada, persepsi publik sangat menentukan seorang pemilih dalam memilih kandidat.

Hal itu menjelaskan mengapa ketika ada kabar pendukung Ahok-Djarot dikeroyok, beritanya langsung diekspos dan di-broadcast secara masif. Begitu juga ketika muncul isu jenazah seorang nenek tidak disalati.  Dalam kedua kasus tersebut Ahok secara pribadi bahkan langsung menemui  korban dan keluarga korban. Soal faktanya benar atau tidak? Tidak penting. Adagium bahwa kebohongan yang dilakukan secara berulang, apalagi secara masif, terorganisasi dan terencana, akan menjadi kebenaran, adalah kredo mereka.

Nah pola yang sukses dimainkan dalam putaran pertama,  kembali dimainkan  Ahok-Djarot dan para pendukungnya. Apalagi  sejumlah lembaga  sudah melansir hasil survei. Hasilnya Anies-Sandi akan memenangkan persaingan melawan Ahok-Djarot. Lembaga survei Median misalnya menyebut Anies-Sandi akan menang dengan selisih margin  6,6 persen. Anies-Sandi memperoleh  46,3 persen dan Ahok-Djarot  39,7 persen. LSI Denny JA malah menyebut Anies-Sandi unggul 9,2 persen. Anies-Sandi memperoleh 49,7 persen dan Ahok-Djarot 40,5 persen.

Prediksi bahwa Ahok-Djarot akan kalah ini sebenarnya tidaklah mengagetkan. Menjelang Pilkada putaran pertama 15 Februari lalu hampir semua lembaga survei menyebut, bila sampai memasuki putaran kedua, maka siapapun lawannya , maka  Ahok-Djarot, akan kalah. Saat ini kekalahan itu sudah di depan mata. Jalan yang paling efektif untuk men-dowgrade Anies-Sandi ya melalui bongkar-bongkar berbagai kasus. Syukur kalau mendapatkan fakta yang kuat. Kalau tidak juga tidak apa-apa, yang penting muncul di media dan sampai ke publik.

Ada sebuah tim yang memang khusus ditugaskan untuk menginventarisasi berbagai kasus yang bisa menjadi serangan yang mematikan dan menghancurkan kredibilitas Anies-Sandi. Pencarian fakta di lapangan oleh beberapa media yang masih waras dan tidak terkooptasi oleh Ahoker menunjukkan hal itu. Meledaknya isu bahwa jenazah nenek Hindun  tidak disalati ternyata melibatkan media dari Rumah Lembang  yang menjadi markas komando Ahoker.

Pengeroyokan pendukung Ahok, ternyata tidak sedramatis yang dilaporkan. Faktanya hanya  perkelahian satu lawan satu dan pendukung Ahok kalah. Banyak kasus-kasus lain yang mereka rekayasa dan berhasil membodohi pemilih Jakarta.

Serangan kepada Anies pada putaran kedua dimulai dengan tuduhan korupsi dalam kasus pameran buku di sejumlah kota di Eropa pada 2014-2015.

Sayangnya si perekayasa hukum tidak cukup cermat —untuk tidak mengatakan terlalu bodoh- memilih senjata. Sebab ketua komite pameran buku itu ternyata Goenawan Mohamad yang dikenal sebagai pendukung Ahok. Goenawan Mohamad bahkan harus  memberi klarifikasi bahwa Anies Baswedan sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Kegiatan tersebut diinisiasi oleh Mendikbud sebelumnya. Jadilah senjata itu berbalik memakan tuannya.

Tapi sekali lagi, soal benar tidaknya sebuah tudingan, tidak terlalu penting. Yang penting lapor dahulu ke KPK atau ke Bareskrim, di-blow up di media dan kemudian di-broadcast secara masif sebagai sebuah kebohongan yang terorganisasi. Banyak sekali kasus-kasus lucu-lucuan yang dimunculkan.

Ingatkan bagaimana Polsek Tanah Abang memanggil Sandi dalam kasus pencemaran nama baik yang terjadi pada tahun 2013? Pemanggilan dilakukan saat Pilkada DKI memasuki putaran kedua dan status Sandi pun hanya sebagai saksi. Secara sarkastis Sandi menyatakan salut atas kinerja Polsek Tanah Abang. “Saya menyampaikan apresiasi kepada teman-teman di Polsek Tanah Abang, karena dengan teliti sekali mereka bisa menemukan kasus empat tahun yang lalu,” ujarnya.

Pelaporan ‘pengacara’ Edward Suryajaya — kalau benar itu pengacara Edward—harus diakui bobotnya lumayan serius. Tapi kasus itu sebenarnya merupakan kasus perdata yang masing-masing pihak punya legal standing cukup kuat. Tapi sekali lagi mengapa kasus itu dilaporkan saat Pilkada memasuki putaran kedua, padahal sengketanya sebenarnya sudah berlangsung sejak 2012?

Selain itu kasus pelaporan ‘Edward Suryajaya’ ini juga mengandung sejumlah kejanggalan. Sebab sejumlah media sebelumnya menyebut bahwa pengacara Edward bernama Rr Fransiska Kumalawati Susilo. Namun, ada media lain yang menyebut bahwa pelapor adalah seorang ibu rumah tangga bernama Rr Fransiska Kumalawati Susilo. Sandi yang menyebut Edward sebagai mentornya, mengenali Fransiska sebagai mantan istri Edward.

Mana yang benar? Tidaklah terlalu penting. Targetnya memang bukan hukum, tapi pembentukan publik  opini. Jadi janganlah kaget, bila badai pelaporan atas Anies-Sandi dalam beberapa pekan ke depan akan bermunculan. Mari kita nikmati dan rayakan semua kelucu-lucuan itu. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.