Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

UU ITE Rentan Disalahgunakan Pemerintah Indonesia

UU ITE Rentan Disalahgunakan Pemerintah Indonesia

Oleh: Fran Fardariko (Independent Analyst lulusan Victoria University, New Zealand)

Aksi 411 dan 212 menjadi sejarah penting bagi Indonesia. Saya menilai aksi damai tersebut menghabiskan energi yang tidak sedikit tapi mampu didengar dunia. Semua mata dan telinga dunia juga ikut melihat, menyaksikan, dan mendengar, mengambil bagian, menyaksikan peristiwa aksi damai terbesar sepanjang sejarah.

Adapun tuntutan aksi damai tersebut yaitu menuntaskan kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Serta meminta penegak hukum agar adil dan tanpa pandang bulu menuntaskannya, sehingga tidak ada lagi kasus-kasus penistaan agama lainnya.

Seiring dengan aksi 212, juga muncul isu pendongkelan atau makar terhadap Presiden Joko Widodo yang menurut saya, sebagai independent analyst menarik untuk dicermati.

Namun belakangan pemerintah sudah mulai terlalu paranoid, terkesan menuduh dan mengambil kesimpulan melompat pagar.

Selain itu juga, ada dugaan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) rawan disalahgunakan untuk membungkam dan menghabisi lawan politik dan mematikan ruang kritik yang menjadi bagian yang sangat penting dari demokrasi. Belakangan banyak teman yang mengingati saya secara langsung, agar lebih berhati-hati dengan tulisan dan puisi saya tentang kritik terhadap pemerintah.

Namun saya melihat larangan atau peringatan kepada saya atas kritik saya kepada pemerintah—tidak lebih, karena saya mencintai negeri ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Namun kekurangan negeri ini banyak terjadi pada pihak pemerintah dan sistimnya—dari zaman Suharto hingga Jokowi.

Saya tidak akan diam menyaksikan kekurangan dan ketimpangan di pihak pemerintahan Republik Indonesia. Sekalipun resikonya mati, teracuni, terusir dari NKRI, atau yang paling enteng penjara. Hanya dikarenakan oleh kritik saya terhadap pemerintah. Saya sudah paham dengan segala resiko dan konsekuensinya.

Sudah banyak yang ditangkap dan dituduhkan pasal transaksi elektronik tersebut, serta dipolisikan atas dasar penghinaan dan pencemaran nama baik presiden, wakil presiden dan aparaturnya.

Jangan sampai rakyat mulai takut berbicara dan berpendapat. Kebebasan berbicara, menulis, meneliti, investigasi dalam konteks akademis dan non-akademis adalah hak dasar manusia. Kalaupun salah dalam hal data dan investigasi, itu suatu hal biasa, dan presiden/pemerintah cukup klarifikasi melalui jalur media audiensi, jangan sedikit-sedikit penjara.

Tak perlu dan tidaklah penting untuk dipolisikan melalui jalur hukum. Kalau ini terus diberlakukan terus-menerus oleh pemerintahan RI, maka lama kelamaan penjara akan dipenuhi oleh para pidana yang dikenakan UU makar, UU ITE, pasal pencemaran nama baik, atau pasal penghinaan. Dengan undang-undang di atas, saya berkeyakinan demokrasi pasti hancur lebur di masa yang akan datang.

Masyarakat Indonesia banyak yang belum paham alias “ignorance” tentang hukum yang bisa berubah menjadi alat pemukul demokrasi. Hak keterbatasan di rancang dengan piranti hukum. Hukum di jadikan alat bertangan besi, yang anytime soon akan berubah menjadi sebuah tirani.

Dan saya Fran Fardariko siap mati mempertahankan sistem ilahi yang dinamakan demokrasi ini. Bersama di tahun 1998, mayoritas Indonesia menyetujui sistem ini, sistem keterbukaan dan transparansi. Kenapa kita harus kembali dengan pasal-pasal tirani?

Kalau memang hanya rakyat biasa dipenjarakan karena kritik dan salah, atau menyelewengkan data valid lalu dihukum pidana dengan pasal-pasal tersebut di atas, saya rasa Presiden yang menyengsarakan ekonomi rakyat, dimana ekonomi menjadi hak dasar untuk rakyat bertahan hidup, maka ia lebih pantas di hukum pidana, dan dipenjarakan ketimbang penulis dan pengkritik yang “salah” tulis atau menulis serampangan.

Para pengkritik tugasnya mengkritik, entah itu pedas, kasar atau terkesan menghina, ya itu lah kritik. Agar pemerintah dapat mendengar lebih jelas lagi, sekalipun itu menghina pemerintah. Toh, pemerintah punya hak jawab, dan pemerintah dapat menggunakan akses yang lebih luas dibandingkan akses rakyat biasa.

Mudah-mudahan pemerintah dapat menyikapi makna dari kebebasan berbicara, agar tidak membentuk sebuah tirani hukum yang dapat menjadi pelatuk pemberontakan rakyat, radikalisme, separatisme, sessionist, prejudisme, bahkan terrorisme. Dan akibat undang-undang di atas, jika tidak segera di-reform, maka rakyat akan terus tertantang. Ingatlah, mati bukan sebuah ukuran untuk pegiat sosial politik.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.