Kamis, 25 April 24

Sutan Sjahrir Menjual Mesin Jahit

Sutan Sjahrir Menjual Mesin Jahit

Oleh: Lukman Hakiem, mantan Anggota DPR

Kebersahajaan hidup, ketulusan mengabdi kepada nusa dan bangsa tanpa terlintas sedikit pun untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan keturunannya; melekat menjadi ciri para pemimpin dan pejuang pendahulu kita.

Demikianlah kita mencatat betapa di hari-hari senjanya, Proklamator dan Pemimpin Besar Revolusi Ir. Sukarno tidak mampu untuk sekadar membeli buah duku kesukaannya sehingga harus dibayari oleh ajudannya.

Kita mengenang  Proklamator dan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang sampai akhir hayatnya tidak mampu membeli sepatu bermerk yang dia impikan.

Kita juga mencatat kesederhanaan hidup diplomat ulung H. Agus Salim yang berpindah-pindah rumah kontrakan dari satu gang becek ke gang becek lainnya.

Atau tentang Perdana Menteri (PM) Mohammad Natsir yang di hari dia menyerahkan mandatnya sebagai PM kepada Presiden Sukarno, pulang ke rumah dinasnya menumpang sepeda sopirnya karena Natsir merasa tidak berhak lagi menggunakan mobil dinas PM. Tanpa menunggu tempo, yang sejatinya dibenarkan, hari itu juga Natsir dan keluarganya keluar dari rumah dinasnya.

Kebersahajaan hidup, ketulusan pengabdian, dan kejujuran tidak menjadi monopoli pemimpin sesuatu golongan, termasuk pemimpin dari golongan yang kerap dicitrakan oleh lawan-lawan politiknya sebagai golongan borjuis.

Membaca kembali memoar tokoh Partai Arab Indonesia (PAI) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Mr. Hamid Algadri, “Suka-Duka Masa Revolusi” (Jakarta, UI Press, 1991), mata saya terpaku pada penuturan Algadri di paragraf akhir halaman 89 dan seterusnya.

Saya kutip: “…. Pada suatu hari saya (Hamid Algadri – Pen.) berkunjung ke rumah Sjahrir di Jalan Jawa, dan duduk bercakap-cakap di ruang depan. Tetapi hari itu ia kelihatan gelisah, sebentar-sebentar berdiri dan pergi ke ruang belakang. Ada apa ini, pikir saya. Saya pun akhirnya ikut pergi ke belakang. Ternyata di situ saya lihat seorang lelaki yang sedang menunjuk-nunjuk mesin jahit yang ada di ruangan itu.

“‘Ada apa?’ tanya saya kepada orang itu.

“‘Mesin jahit ini mau dijual,’ jawabnya.

“Saya terkejut, dan menatap wajah Sjahrir. Segera saja ia menjelaskan dengan suara tenang, ‘Ndak ada uang buat belanja.’

“Saya tinggalkan rumah Sjahrir, lalu pergi ke rumah teman-teman memberitahukan.”

“Sejak itu secara teratur setiap bulan kawan-kawan mengumpulkan uang untuk disampaikan kepada mantan Perdana Menteri itu.”

Sutan Sjahrir (1909-1966) adalah Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dan Perdana Menteri Republik Indonesia di awal kemerdekaan. Dialah tokoh yang membawa bayi negara RI ke forum internasional melalui politik perundingannya.

Bung Kecil yang besar jasanya terhadap RI, ternyata harus menjual mesin jahitnya karena “Ndak ada uang untuk belanja.”

Tiba-tiba melintas di kepala saya, potongan puisi saduran Chairul Anwar, “Krawang-Bekasi”:

…………………………………………….

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

……………………………………………..                       

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.