Kamis, 18 April 24

Soekiman Wirjosandjojo: Mengapa Saya Dikecualikan?

Soekiman Wirjosandjojo: Mengapa Saya Dikecualikan?
* Soekiman Wirjosandjojo.

Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah

SETELAH melalui proses politik yang cukup panjang,  pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit yang berisi tiga hal:

Pertama,  menetapkan pembubaran Konstituante.

Kedua,  menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Ketiga,  pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Melihat isi Dekrit Presiden, segera muncul pertanyaan mengapa Dekrit sama sekali tidak mencantumkan rencana pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) sebagai upaya demokratis membentuk pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945. Jika tanpa pemilu,  lalu dengan cara apa pemerintahan baru yang akan bekerja berdasarkan konstitusi baru itu akan diproses pembentukannya?

Mengenai hal ini,  Ahmad Syafii Maarif dalam disertasinya antara lain menulis: “Hal ini dapat berarti bahwa ia (Presiden Sukarno) tidak ingin mendapat legitimasi politik melalui pemilihan umum.”

Landasan Bersama

Dengan kekurangannya yang segera terlihat itu,  Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menurut Ketua Umum Partai Masyumi, Prawoto Mangkusasmito (1910-1970): “kemudian didukung secara aklamasi oleh DPR dan dengan demikian menjadi landasan bersama (common platform) bagi semua aliran dan golongan warga negara Republik Indonesia, yang harus ditegakkan bersama-sama dengan saling menghormati identitas masing-masing.”

Pada 28 Juli 1959, dalam nota kepada Presiden Sukarno,  Masyumi menegaskan pendiriannya: “Mulai saat itu (Dekrit), sesuai dengan pembawaan Masyumi,  maka Masyumi tunduk kepada UUD yang berlaku dan oleh karenanya merasa berhak pula untuk meminta,  bilamana perlu untuk menuntut, kepada siapapun, juga sampai kepada Pemerintah dan Presiden untuk tunduk pula kepada UUD sebagai landasan bersama hidup bernegara.”

Dengan disepakati secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955, maka berlakulah sistem pemerintahan di bawah UUD 1945 yang antara lain menegaskan bahwa meskipun Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR,  tetapi kekuasaan Presiden tidak tak terbatas. Dalam sistem UUD 1945, Presiden bukanlah seorang diktator.

Negara adalah Aku

Yang terjadi hanya beberapa saat setelah berlakunya UUD 1945, justru pelanggaran terhadap UUD 1945 itu sendiri.

Pada akhir 1959, Pemerintah mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Semua fraksi di DPR ternyata menolak RAPBN itu.

Dalam kasus seperti di atas,  menurut UUD 1945, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu. Akan tetapi,  yang dilakukan oleh Presiden Sukarno tidak sebagaimana yang dengan tegas diatur oleh UUD 1945.

Menghadapi penolakan oleh DPR,  Presiden Sukarno justru membubarkan DPR. Bung Karno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 3/1960 tentang Pembubaran DPR. Pembubaran DPR itu diikuti oleh rencana pembentukan DPR Gotong Royong yang seluruh anggotanya diangkat oleh Presiden, dan tidak boleh ada stem-steman (pemungutan suara) –jika ada perbedaan pendapat,  serahkan masalahnya kepada Presiden,  nanti Presiden yang akan memutuskan. Belakangan pimpinan MPRS dan DPRGR malah dimasukkan ke dalam kabinet sebagai menteri ex-officio.

Menanggapi pembentukan DPRGR yang seluruh anggotanya diangkat oleh Presiden Sukarno,  Prawoto Mangkusasmito berkata: “Maafkanlah kalau yang demikian itu mengingatkan kita kepada kata-kata bersejarah Lodewijk XIV,  L ‘etat C ‘est moi (Negara adalah Aku).”

Liga Demokrasi dan Demokrasi Kita

Reaksi menolak pembubaran DPR dan pembentukan DPRGR muncul dari berbagai golongan,  antara lain dari PWNU Kalimantan Selatan,  Ketum Partai Katolik I. J. Kasimo,  Ketum Partai Kristen Indonesia A. M. Tambunan,  Ketum Partai Rakyat Indonesia Bung Tomo,  HMI,  GPII,  PII, IPPI, dan lain-lain.

Penolakan yang lebih sistematis dilakukan oleh Liga Demokrasi yang dibentuk di Jakarta pada 24 Maret 1960 oleh 15 tokoh dari berbagai partai dan ormas: I. J. Kasimo (Katolik),  Faqih Usman (Masyumi),  A. M. Tambunan (Parkindo), Sugirman (IPKI), Hamara Effendy (IPKI),  Soebadio Sastrosatomo (PSI), K. H. M. Dachlan (Liga Muslimin), Hamid Algadrie (PSI), Imron Rosjadi (Ketum GP Anshor), Dachlan Ibrahim (IPKI), Anwar Harjono (Masyumi), J. R. Koot (Parkindo), Mohamad Roem (Masyumi), Haji J. C. Princen (IPKI), dan Abdul Kadir (IPKI).

Untuk memasyarakatkan sikap penolakan terhadap pembubaran DPR dan pembentukan DPRGR,  Liga Demokrasi mengutus Anwar Harjono dan Imron Rosjadi menghadiri rapat umum di Surabaya.  Rapat umum itu gagal dilaksanakan karena dihalangi oleh massa pendukung Demokrasi Terpimpin.  Harjono dan Rosjadi terpaksa dilarikan dari tempat acara,  menghindari serbuan para pengacau yang tampaknya sengaja didatangkan.

Reaksi yang paling berwibawa,  tidak syak lagi,  datang dari Proklamator Mohammad Hatta.  Dalam tulisannya berjudul “Demokrasi Kita” yang dimuat di majalah Pandji Masyarakat pimpinan HAMKA –majalah itu kemudian diberangus,  tulisan Hatta tidak boleh diedarkan,  HAMKA dijebloskan ke penjara tanpa diadili– Hatta antara lain mengatakan: “Tetapi dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi sekarang, di mana semua anggota ditunjuk oleh Presiden,  lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi terpimpin Sukarno menjadi suatu diktator yang didukung oleh golongan-golongan yang tertentu.”

Presiden Sukarno tidak peduli dengan rupa-rupa kritik berbagai kalangan.

Pada 27 Februari 1961, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia selaku Penguasa Perang Tertinggi mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 8/1961 tentang “Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi.”

Liga Demokrasi terkena tuduhan bahwa asas dan tujuannya tidak sesuai dengan Manifesto Politik (Manipol) yang telah menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Soekiman Menolak

Bagai anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, rencana pembentukan DPRGR terus berjalan. Pada saatnya,  Presiden Sukarno melantik anggota DPRGR berjumlah 283 dengan komposisi sebagai berikut: PNI 44, NU 36, PKI 30, PSII 5, Perti 2, Parkindo 6, Partai Katolik 5, Murba 1, Partindo 1, Golongan Fungsional 31, dan wakil lain-lain 23.

Dalam daftar calon anggota DPRGR, terdapat nama Dr.  Soekiman Wirjosandjojo (1898-1974) mewakili golongan cendekiawan.  Konon Presiden Sukarno akan menjadikan Soekiman sebagai Ketua DPRGR.

Secara politis, Soekiman bagi Sukarno, sangatlah penting.

Soekiman adalah Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1924), yang kemudian menjadi aktivis partai politik Islam. Ketika Partai Masyumi didirikan,  Soekiman dipilih oleh Kongres Umat Islam menjadi Ketua Pengurus Besar (1945-1949) mendampingi Hadratus Syaikh K. H.  Hasjim Asj’ari yang dipilih menjadi Ketua Majelis Syuro. Soekiman juga tercatat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI, 1945).

Meskipun sama-sama Masyumi,  Soekiman dikenal sering tidak sejalan dengan Mohammad Natsir (1908-1993), tokoh yang menggantikannya sebagai Ketua Masyumi. Bahkan di awal kemerdekaan,  ketika Natsir lebih sejalan dengan Sutan Sjahrir (1909-1966) dalam politik perundingan,  Soekiman justru berkoalisi dengan Tan Malaka (1897-1949) mengoposisi Sjahrir dengan membentuk Persatuan Perjuangan.

Dengan latar belakang seperti itu,  jika Soekiman bersedia diangkat menjadi anggota DPRGR,  apalagi menjadi Ketua,  wibawa politik lembaga besutan Bung Karno itu tentulah akan terangkat.

Di luar dugaan,  Soekiman menolak penunjukan Presiden Sukarno.

Soekiman yang di kalangan Masyumi akrab disapa “Pak Dokter” merasa sukar untuk waktu yang begitu pendek bergeser tanpa konsultasi dengan partai-partai sehaluan lainnya yang baru saja bersama mengadakan kebulatan tekad di belakang Ketua Parlemen Mr.  Sartono,  dari tempat dan pendirian yang menurut rasio dan semangat pada waktu itu disadari kebenarannya,  ke tempat lain,  apalagi ke posisi yang bayangan kemungkinan terwujudnya telah membangkitkan serentak semangat menantang.

Soekiman merasa heran dirinya dimasukkan ke dalam kelompok cendekiawan,  sebab dalam sejarah perjuangan kemerdekaan nasional,  nama Soekiman selalu tercatat sebagai salah satu dari tokoh-tokoh (top figure)  Masyumi.

Soekiman juga tidak mengerti mengapa dirinya dikecualikan dari tindakan Presiden Sukarno untuk mengeluarkan Masyumi dalam usahanya meretool DPR pilihan rakyat menjadi DPRGR.

“Saya telah ditetapkan di luar tahu dan persetujuan saya sebagai anggota mewakili golongan cendekiwan dalam lembaga Demokrasi Terpimpin,  hingga merasa didudukkan dalam posisi yang sangat sulit,” tutur Soekiman.

Kesimpulan dari sikap Soekiman ialah: “Sukarlah kiranya diharapkan daripada saya suatu sikap yang mengandung unsur ketidakperwiraan bahkan yang bersifat kerendahan budi,  jika umpamanya sampai terjadi Masyumi dieksitkan dari,  dan saya sedia dimasukkan dalam DPRGR.”

Hanya seorang berintegritas tinggi yang dapat bersikap seperti Soekiman.[]

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.