Rabu, 24 April 24

Soal Presidential Threshold 20%, Indonesia Menuju Negara Inkonstitusional?

Soal Presidential Threshold 20%, Indonesia Menuju Negara Inkonstitusional?

Oleh: Renanda Bachtar, Komunikator Partai Demokrat

 

Masyarakat Indonesia yang selama ini selalu mengangung-agungkan konstitusi kali ini mendapat ujian. Ujian konsistensi untuk mendukung tegaknya konstitusi di tanah air bersoal kepada Presidential Threshold atau ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam Pemilihan Umum untuk mengajukan Calon Presidennya pada pemilu 2019.

Konsistensi kerap menjadi tolok ukur kualitas dari level integritas yang berlaku secara personal, kelompok, bahkan menjadi lebih strategis pada institusi pemerintah sebagai organisasi terbesar negara. Konsistensi atas kepatuhan terhadap konstitusi adalah syarat paling dasar dan sekaligus menjadi syarat utama tegaknya sebuah negara.

Anda bisa bayangkan bagaimana suatu negara dijalankan tanpa adanya aturan dan kepatuhan terhadap konstitusi? Atau negara memperkenankan konstitusi diterjemahkan secara bebas, baik oleh rakyat, partai politik atau pemerintah itu sendiri? Jika konstitusi boleh bebas diterjemahkan, maka akan ada sekian banyak aturan yang dibuat berdasarkan kepentingan diri institusi masing-masing, tanpa merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakat sesuai tujuan dasar keberadaan konstitusi itu sendiri. Mengerikan, bukan?

Lantas apa hubungan penjelasan ini dengan judul di atas? Ya, ada apa dengan Presidential Threshold?

Sebagaimana kita ketahui bersama saat ini pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi, didukung PDIP, Golkar dan Nasdem (ada dugaan kuat PPP, Hanura dan PKB juga belakangan akan mendukung) berkeras untuk meminta partai politik lain menyetujui usulannya yang ingin memberlakukan Presidential Threshold sebesar 20%. Padahal, sesuai amanat putusan MK yang mesti dijadikan rujukan Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa pada Pemilu 2019, pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) dilaksanakan serentak. Dengan demikian ambang batas pencalonan presiden secara otomatis hilang atau 0% karena keserentakan tersebut.

Mengapa Presidential Threshold harus 0%?

Jawabnya: Karena jika ambang batas tetap diberlakukan, maka Pemilu 2019 tidak dilakukan secara serentak, di mana ini konsekuensinya akan mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi yang secara final dan binding telah memutuskan bahwa pemilu serentak harus dilaksanakan 2019, sesuai dengan semangat UUD 1945 dan makna pemilihan umum yang dimaksud Pasal 22E ayat (1), (2) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Karena keserentakannya, maka hitungan suara partai yang diperoleh atas hasil Pileg sebelum Pilpres otomatis gugur, karena hasil Pileg baru akan didapatkan setelah Pilpres berlangsung. Dengan demikian maka Presidential Threshold yang didapat dari hasil Pemilu 2014 sangat tidak relevan digunakan sebagai “tiket bertanding” di Pemilu 2019.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang merujuk pada Pasal 22 E UUD 1945 dan Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang sifatnya final dan binding tersebut, jika ada pihak yang tidak setuju dengan hal ini, apakah masih bisa kita katakan pihak tersebut masih memiliki konsistensi untuk mendukung tegaknya konstitusi Indonesia? Anda tahu jawabannya.

Rujukan berdasarkan tinjauan konstitusi yang diputuskan Mahkamah Konstitusi tadi tentu bukan tanpa dasar pertimbangan yang tidak kuat. Mahkamah Konstitusi menyatakan penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg ditemukan fakta calon presiden terpaksa harus bernegosiasi (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang pada akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan. Faktanya, tawar-menawar politik itu lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.

Saya memandang bahwa penjelasan ini sekaligus mematahkan logika pihak yang berpendapat bahwa pemberlakuan Presidential Threshold 20% dimaksudkan agar pemerintahan lebih kuat. Fakta di atas membuat logika pihak yang setuju Presidential Threshold 20% kehilangan pijakan empiris.

Penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya tawar -menawar politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Hal ini akan lebih memungkinkan penggabungan partai politik secara alamiah dan strategis, sehingga jangka panjang lebih menjamin penyederhanaan partai politik.

“Dalam kerangka itulah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus dimaknai,” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Menurut Mahkamah Konstitusi, hingga saat ini praktik ketatanegaraan Pilpres setelah Pileg ternyata tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki dan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan presiden tidak berjalan dengan baik.

Norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pileg telah nyata tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan makna pemilihan umum yang dimaksud Pasal 22E ayat (1), (2) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

Adanya Presidential Threshold akan menguntungkan partai-partai besar dan dari mereka saja calon pemimpinnya dan itu-itu saja. Jika Presidential Threshold dinaikkan, maka kemungkinan besar hanya ada 2 capres dan bahkan capres tunggal. Sementara partai kecil atau menengah hanya mengikuti partai-partai tersebut.

Saat ini kita semua mengetahui bahwa PDI-P, Golkar, Hanura, PKPI dan Nasdem adalah “Party Team” atau dalam satu liga partai, sementara yang sering sehaluan dengan arah politik “Party Team” tersebut adalah PPP dan PKB.

Mari berilustrasi sedikit, anggaplah akhirnya Presidential Threshold ditentukan 20% maka dengan menggunakan hasil suara Pemilu 2014 kemarin gabungan partai ini (termasuk jika bisa membujuk PAN untuk bergabung) bisa mencapai 70%. Sisa 30% suara yang dimiliki oleh Gerindra, Partai Demokrat, PKS dan PBB jika digabungkan baru bisa menghasilkan satu pasang capres dan cawapres. Ini jika mereka bersepakat dengan paket capres-cawapres. Jika tidak? The “Party Team” akan melenggang dengan calon tunggalnya melawan kotak kosong. Inikah yang sebenarnya tengah diperjuangkan mati-matian oleh Jokowi dengan partai partai pengusungnya? Sehingga mereka begitu ngototnya memaksakan Presidential Threshold 20%?

Lupakah mereka bahwa adanya Presidential Threshold dalam konteks pemilu serentak justru tidak menjawab tantangan regenerasi kepemimpinan yang mandek?

Terkait Presidential Threshold ingin dipaksakan untuk menolak putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memutuskan bahwa pada Pemilu 2019 Presidential Threshold adalah 0%, saya sangat sependapat dengan pernyataan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra yang mengingatkan kita semua: “Undang-undang yang inkonstitusional, jika dijadikan dasar pelaksanaan Pilpres, akan melahirkan Presiden yang inkonstitusional juga (MK telah memutuskan Pemilu serentak dan tidak ada ambang batas sebagaimana substansi Pasal 22 E UUD 1945).”

Pernyataan ini menantang pemikiran pihak-pihak yang berpendapat bahwa pemberlakuan Presidential Threshold 20% dapat mengurangi biaya Pemilu. Siapa yang mau mengorbankan konstitusi dan demokrasi Indonesia dengan alasan penghematan biaya Pemilu? Ayolah…kalian tidak senaif ini kan? Ke mana tepukan dada anda yang kerap berteriak,“Saya Pancasila!” jika pada praktiknya anda ternyata adalah peminat pelanggaran konstitusi itu sendiri! Ingat, rakyat tidak sebodoh yang kalian yakini.

Sampai saat ini Partai Demokrat dan sedikit partai lainnya masih memperjuangkan Presidential Threshold 0% sesuai amanat konstitusi. Bagaimanapun suara terbanyak di parlemen bisa saja mengalahkan akal sehat dan sikap sedikit pihak yang masih konsisten berjuang menjalankan amanat konstitusi serta demokrasi yang berkeadilan.

Jika masih ada pihak yang bersikeras dan menjalankan segala upaya untuk mengaburkan, membelokkan serta menelikung aturan hukum demi menghilangkan penjaminan hak kepada warga masyarakat sesuai tujuan dasar keberadaan konstitusi itu sendiri, biarlah rakyat mencatat partai partai mana saja yang konsisten dan tegas membela konstitusi dan mana yang hanya konsisten membela kepentingannya sendiri.(*)

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.