Kamis, 25 April 24

Soal Garam, Indonesia Harus Belajar dari Korea

Soal Garam, Indonesia Harus Belajar dari Korea
* Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri.

Jakarta, Obsessionnews.com – Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri dan Dirut PT Garam (Persero) berkunjung ke Madura,  Jawa Timur,  beberapa waktu lalu. Faisal  diperlihatkan contoh garam produksi PT Garam yang berwarna putih dan garam rakyat yang berwarna kecoklatan. Faisal sempat mengambil sendiri garam yang sudah menggumpal dari onggokan di udara terbuka di lahan PT Garam. Lebih dari satu tahun, garam yang dia letakkan di piring masih dengan mudah diurai dengan tangan.

Tak heran garam rakyat dihargai murah. Tak kuasa rakyat bersaing dengan hasil produksi PT Garam peninggalan zaman Belanda dengan segala kelengkapan fasilitas penunjangnya. Dua tahun terakhir Kementerian Kelautan dan Perikanan meluncurkan berbagai program untuk membantu garam rakyat. Hasilnya sudah mulai dirasakan petambak rakyat,” tulis Faisal di blognya, Rabu (16/8/2017).

Ia bercerita minggu lalu ia mendapat kiriman foto beragam jenis garam dengan kemasan yang sangat apik dari  rekannya, Guru Besar FMIPA, Prof Misri Gozan. Misri mengambil foto di salah satu hypermart Seoul, Korea Selatan. Hypermart yang dikunjunginya tergolong megah, milik koperasi petani dan nelayan. Koperasi juga memiliki bank. Gerakan petani dan nelayan Korea itu praktis telah memiliki tiga pilar utama koperasi: peningkatan produksi, sarikat dagang, dan lembaga keuangan. Nilai tambah hasil keringat petani/nelayan/petambak sebagian besar dinikmati sendiri, bukan dicekik oleh kapitalis pedagang dari kota.

Korea telah membuktikan mampu menghimpun kekuatan petani yang berserakan menghadapi kaum kapitalis kota. Begitulah kira-kira gerakan koperasi yang digagas Bung Hatta,” tulis Faisal.

Panjang garis pantai Korea hanya 4,4 persen dari garis pantai Indonesia. Korea hanya menghasilkan sekitar 300 ribu ton garam setahun, berada di urutan ke-46 produsen garam dunia. Produksi mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, namun tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan garam domestik, terutama untuk kebutuhan industri. Untuk itu, Korea mengimpor garam.

Korea merupakan pengimpor garam terbesar kelima di dunia. Empat negara pengimpor terbesar di atasnya, yakni Amerika Serikat, Jepang, China, dan Jerman, juga merupakan negara industri utama dunia. Tiga di antaranya merupakan 10 besar produsen garam dunia: Amerika Serikat di urutan kedua, Jerman kelima, dan China kesembilan.

PT Garam telah mampu menghasilkan beberapa produk garam berkualitas. Sayangnya masih dalam jumlah relatif kecil. Produsen garam milik negara ini masih berkutat menghasilkan produk garam dalam kemasan kecil, praktis tanpa sentuhan teknologi,” tulis Faisal.

Satu-satunya teknologi sangat sederhana yang digunakan adalah alat penutup kemasan berupa besi yang dipanaskan dengan sambungan listrik. Berat setiap kemasan hanya dikira-kira, tanpa menggunakan timbangan. Menurut Faisal, kegiatan itu sangat layak dilakukan usaha rumah tangga. Seyogyanya PT Garam membina masyarakat sekitar, setidaknya dalam melakukan proses pengemasan.

Hampir seluruh garam Indonesia dihasilkan dari air laut. Garam dari air laut hampir mustahil bisa bersaing dengan garam tambang. Tidak heran jika garam tambang bisa diolah menjadi berbagai macam produk, termasuk sebagai wadah untuk lampu duduk. Warna garam kristal padat berwarna oranye amaliah menyerupai batu. Harga lampu garam berukuran kecil yang dijajakan di kaki lima di kota Edinburgh ini dibanderol 25 poundsterling.

Faisal mengungkapkan, sentuhan teknologi masih memungkinkan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas garam kita. Swasembada garam untuk kebutuhan rumah tangga dan industri makanan, serta minuman sudah dalam genggaman. Produksi garam nasional dengan kondisi cuaca normal mencapai sekitar 2 juta ton. Dalam jangka menengah bisa ditingkatkan menjadi 3 juta sampai 3,5 juta ton.

Untuk swasembada total, hitung-hitungannya harus lebih cermat. Jika kita memacu pertumbuhan industri lebih cepat, kita butuh garam sangat banyak. Industri CAP dan farmasi saja butuh sekitar 2 juta ton setahun,” tulisnya.

Masalahnya, tulisnya lagi, bukan sekadar bisa atau mampu. Pesawat terbang sekalipun kita sanggup hasilkan, apalagi sekadar garam. Yang harus dipikirkan adalah keunggulan relatif (comparative advantage) kita, oportunity cost (lahan untuk produksi garam bisa digunakan untuk berbagai kegiatan bernilai tambah jauh lebih tinggi seperti pariwisata)dan kesejahteraan petambak garam. Agar petambak garam sejahtera seperti di Korea, tiga pilar utama koperasi rakyat harus kokoh. Buatlah peta jalan yang apik untuk itu. (arh)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.