Jumat, 19 April 24

Rizieq Diduga Jadi Sasaran Tembak Kriminalisasi

Rizieq Diduga Jadi Sasaran Tembak Kriminalisasi
* Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab (kanan) dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Jakarta, Obsessionnews.com – Kepolisian Polda Metro Jaya masih mendalami kasus dugaan konten pornografi yang mengaitkan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab. Polisi pun masih mengecek keaslian chatting, polisi juga mencari siapa orang yang mengunggah konten pornografi tersebut. Hal itu diutarakan oleh  Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar di Mabes Polri di Jakarta Selatan, pada Senin (6/2/2017).

Selain mencari pengunggah, polisi juga melakukan penelusuran. Hal itu berangkat dari laporan masyarakat terhadap konten pornografi tersebut. Sehingga polisi juga melibatkan para ahli untuk menelusuri keaslian konten. Yakni ahli antropometri, fotometri, IT dan ahli digital forensik. Ahli-ahli ini dimintai keterangnya untuk proses saintifik investigasi.

Namun, belakangan ini banyak masyarakat yang menyatakan bahwa kasus tersebut adalah sebuah fitnah terhadap para ulama yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, yang tidak suka terhadap ulama dan agama Islam.

Berawal dari pasca Aksi 212, Rizieq menjadi sasaran tembak oleh pihak-pihak tertentu yang merasa terganggu dengan unjuk rasa umat Islam itu. Rizieq menjadi bulan-bulanan berita hoax dan fitnah. Yang terbaru Rizieq difitnah dengan beredarnya video rekaman percakapan atau chatting mesum antara pria yang diduga Rizieq dengan wanita bernama Firza Husein.

Beredarnya video chatting mesum tersebut membuat geram tim pengacara Rizieq, Salah seorang pengacara Rizieq yakni Kapitra Ampera, berencana melaporkan orang-orang yang menyebarkan video tersebut ke Bareskrim Polri.

“Kita sudah menginvestigasi orang ini, lalu kita juga tidak terpancing. Kita hanya mencari orang yang menyebarkan. Kami akan laporkan. Kan ada orang yang melanggar UU ITE. Mau kita laporkan,” kata Kapitra pada Senin (30 /1/ 2017).

Kapitra mengungkapkan, tidak mungkin Rizieq menggunakan kata-kata kasar seperti yang terekam dalam video yang beredar. Diyakini suara dalam video bukanlah suara Rizieq. Menurutnya, cara seperti itu adalah kampungan. Itu cara-cara yang tidak elegan untuk memenangkan suatu pertempuran.

“Coba bayangkan, Firza dimasukin ke Youtube ada perbincangan dengan Rizieq, masa dia rekam terus dimasukin ke Youtube?. Kenapa dia rekam perbicaraannya?. Itu kan bodoh. Terus dimasukin ke Youtube. Kalau benar dia bicara dengan Rizieq, tentu pembicaraan dengan Rizieq yang dia rekam, orang bisa dengar itu suara Rizieq atau bukan?. Itu kan, testimoni monolog diri. Ini kan enggak logis. Hikmahnya sangat kasar,” kata Kapitra.

Dari runutan kejadian tersebut seperti muncul semacam fenomena kriminalisasi tokoh politik Islam, ulama, ustad atau habib. Hal tersebut dikatakan oleh Muchtar Effendi Harahap, Ketua Dewan Pendiri Network for South East Asian Studies (NSEAS) dalam rubrik Sorot di www.obsessionnews.com pada Rabu, 25 Januari 2017.

Menurut Muchtar, fenomena ini sesungguhnya acap kali muncul dalam sejarah politik Indonesia, termasuk era reformasi. Mengapa mereka lakukan?

“Karena kekuatan anti Islam politik sesungguhnya tidak rela dan takut kalau kekuatan Islam politik memegang tampuk kekuasaan negara,” tuturnya.

Beragam alasan mengapa mereka tidak mau kekuatan Islam politik berkuasa. Pada era Orde Baru kekuatan Islam politik direkayasa menjadi melemah melalui fusi parpol-parpol Islam ke dalam satu parpol, yakni PPP. Rezim Orde Baru tidak memberi izin bagi terbentuknya parpol Islam berbasis Masyumi yang sesungguhnya di bawah pengaruh M.Natsir. PPP pun selalu mengalami konflik elite buatan rezim penguasa Orde Baru, yang dua tahun terakhir ini mengalami lagi.

Pada era reformasi parpol Islam diberi izin terbentuk dan ikut pemilu. Tetapi, secara individual tokoh-tokoh politik potensial yang memegang kekuasaan negara di-KPK-an sehingga masuk penjara dan bagi kelompok anti Islam kemudian menggunakan politisi Islam sebagai koruptor.

Sekarang ini masa kekuasaan rezim Jokowi, tokoh-tokoh Islam formal sudah ditinggal umat Islam sebagai panutan dan beralih pada tokoh Islam nonformal, disebut sebagai ulama, ustad dan habib. Aksi Bela Islam I, II dan III sebagai bukti pemimpin panutan Islam ke arah pemimpin Islam nonformal. Kekuatan anti Islam politik tidak mau dan takut kepentingan kekuasaan mereka menghilang karena menguatkan kekuatan umat Islam pimpinan nonformal ini, terutama umat Islam kelas menengah perkotaan.

Sebagai kelas menengah baru, mereka lebih mandiri dan cenderung tidak bergantung pada negara dalam perolehan sumber pencaharian atau pendapatan, bahkan tidak suka masuk ke dalam dunia kepartaian juga sebagai anggota legislatif. Agar kekuatan Islam ini melemah dan tidak menjadi ancaman pada Pileg dan Pilpres 2019 mendatang, maka kelompok anti Islam politik yang sedang berkuasa kini menggunakan “lembaga negara” dan media massa seperti majalah berita nasional dan TV tertentu pendukung rezim kekuasaan untuk mengkriminalisasi tokoh-tokoh Islam nonformal ini. Sedangkan tokoh-tokoh Islam formal tidak perlu lagi di-KPK-an atau diperlemah karena sudah lemah dan “tersandera” secara politik. Itulah sebabnya permasalahan rakyat dan umat menjadi tidak sebagai bahan kritis dan oposisional parpol berbasis Islam di legislatif, khususnya DPR RI.

“Kriminalisasi ulama atau pemimpin Islam politik non formal adalah salah satu kegiatan strategis rezim kekuasaan dapat memperlemah kekuatan Islam dalam perebutan kekuasaan negara khususnya pada Pilpres 2019. Para pemimpin Islam nonformal ini tidak bisa di-KPK-an karena memang bukan sebagai penyelenggara negara atau juga korporat penyogok penyelenggara negara,” katanya.

Apa yang harus dilakukan umat Islam menghadapi kriminalisasi ulama ini ?

Muchtar mengungkapkan, umat Islam kelas menengah perkotaan harus terus-menerus mengkritisi dan mengecam tentang kriminalisasi ulama oleh rezim kekuasaan ini. Harus melakukan penekanan publik (public pressures) terhadap penguasa negara agar tidak melakukan kriminalisasi, bukan saja terhadap ulama, ustad dan habib, juga siapa saja aktor kritis dan oposisional terhadap penguasa negara.

Sementara itu, perlu ada kampanye publik agar lembaga negara seperti Polri dan TNI tidak menjadi alat bagi penguasa negara untuk menekan rakyat yang tidak mendukung penguasa negara. Polri dan TNI harus didorong untuk kembali pada posisi sebenarnya, yakni alat negara bukan alat penguasa negara. Target aksi kelas menengah perkotaan yakni terbentuknya opini publik penolakan kriminalisasi dengan  berbagai argumentasi dan rasionalisasi berbasis hukum maupun non hukum.

Tentu sebelumnya terbentuk opini publik bahwa rezim kekuasaan sedang melakukan kriminalisasi ulama dan pemimpin politik Islam dalam rangka mempertahankan kekuasaan mereka pada pilpres 2019 mendatang. Tekanan publik adalah satu cara demokratis dan legal untuk mempengaruhi kebijakan penguasa sehingga tidak melakukan kriminalisasi.

“Kita ketahui, umat Islam kelas menengah perkotaan dominan tidak mendukung politik rezim berkuasa, termasuk Ahok sebagai Gubernur DKI karena menista Islam. Umat Islam tidak perlu mencemaskan kondisi pribadi dan keluarga ulama yang didiskriminalisasi karena sesungguhnya mereka memiliki kemampuan ideologis dan aluturistik,” ucap Muchtar.

Kekuatan anti Islam politik ini, lanjutnya,  sesungguhnya tidak takut pada Habib Rizieq. Mereka hanya takut dengan kebangkitan kekuatan Islam politik yang terbukti pada aksi bela Islam I, II dan III yang anti komunisme, sekularisme dan neo Nasakom. Fenomena kebangkitan Islam politik ini sangat potensial meminggirkan mereka dari struktur kekuasaan negara ke depan.

“Habib Rizieq hanya salah satu tokoh yang mereka rekayasa untuk melumpuhkan atau memperlemah kekuatan Islam,” tandasnya.

Menurutnya, kekuatan anti Islam politik tidak ada pilihan lain kecuali melakukan kriminalisasi politik ulama untuk memperlemah. Tetapi, pilihan strategis mereka tidak akan berhasil. Salah satu sebabnya, umat Islam politik dalam perjalanan sejarah, semakin ditekan paksa semakin menguat dan membesar.

Kedua, peta politik nasional dan internasional kini membuat kekuatan Islam politik berkoalisi dengan perwira militer seperti SBY group, Prabowo Group atau Cendana Group dukungan AS untuk metuntuhkan rezim kekuasaan kini via pilpres 2019. (Purnomo)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.