Sabtu, 20 April 24

Ricky: Kemapanan Politik Akibatkan Keteledoran HMI

Ricky: Kemapanan Politik Akibatkan Keteledoran HMI

Pontianak, Obsessionnews – Jika pada masa lalu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengupayakan agenda strategis memperkuat negara dengan memenuhi sektor kecendikiawanan, birokrat, teknokrat dan politisi, maka kini sektor baru menuntut HMI untuk turut pula menyediakan kader-kader berkualitas pada sektor kelompok pelaku ekonomi.

“Sebetulnya tanda-tanda zaman itu sudah mulai muncul seiring dengan arus reformasi yang menumbangkan rezim orde baru,” tegas kandidat ketua umum PB HMI Ricky Valentino kepada obsessionnews.com, Selasa (10/11).

“Kemapanan politik turut menyebabkan ketelodaran HMI dalam menangkap tanda-tanda zaman tersebut. Akibatnya dalam sistem perkaderan HMI masih dikonstruksikan dalam rencana strategis perjuangan pembentukan masyarakat cita di masa lalu,” tandas Ketua bidang HAM dan Lingkungan Hidup PB HMI ini.

Dalam kondisi seperti ini, lanjut Ricky, hampir bisa dipastikan bahwa HMI belum tuntas dalam mengartikulasikan visi masa depan yang kemudian teragregasikan dalam instrumen perkaderan sebagai perencanaan strategis perjuangan pembentukan masyarakat cita.

“Jika itu yang terjadi maka HMI akan tertinggal jauh dibelakang kereta zaman yang semakin cepat bergerak maju ke depan,” tutur salah satu dari 23 kandidat ketua umum HMI yang dinyatakan lolos verifikasi tahap pertama oleh sterring commite Panitia Nasional (Panasko) Kongres ke-29 HMI ini.

Adapun ketiga agenda strategis dalam mereformasi HMI untuk melakukan penyehatan dan reorientasi sistem perkaderan agar rekonstruksi perkaderan HMI dapat berjalan normal, jelas Ricky, adalah: (1) penyehatan kondisi infrastruktur perkaderan, (2) penertiban kinerja perkaderan nasional, dan (3) up-grade paradigma pedoman perkaderan.

HMI akan menggelar kongres ke-29 pada 22-26 November 2015 di Pekanbaru, Riau. HMI organisasi kemahasiswaan tertua sejak berdiri pada 5 Februari 1947 yang didirikan untuk menyatukan mahasiswa Islam Indonesia dalam mendukung perjuangan kemerdekaan.

HMI yang didirikan Prof Lafran Pane melahirkan para tokoh seperti Deliar Noor sebagai orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar PhD dalam ilmu politik, Mansyur Faqih yang dikenal sebagai penulis berbakat Indonesia yang tenar dengan buku ‘Jalan Ketiga; Manifesto Intelektual Organik’ serta Nurcholis Madjid yang dikemudian hari dikenal sebagai tokoh Islam modern Indonesia.

Ricky Valentino

Usung 3 Agenda Strategis
Ricky Valentino maju menjadi kandidat ketua umum PB HMI dengan mengusung tiga agenda strategis. Pria asal Parepare ini menegaskan, setiap kader HMI dibebankan tanggung jawab untuk ikut berpartisipasi dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa dan tidak acuh terhadap problematika kebangsaan.

Ricky maju sebagai kandidat ketua umum HMI dengan mengusung tema penting dalam mereformasi cita-cita HMI yakni dengan “Reotentikasi HMI, upaya membangun konsolidasi perjuangan mahasiswa Islam”, dengan visi “Mengembalikan Eksistensi dan Marwah HMI Sebagai Garda Perjuangan Umat dan Bangsa”.

Visi tersebut dituangkan dalam sebuah misi dalam rangka memurnikan gerak langkah HMI sebagai organisasi perkaderan dan pergerakan tentang keummatan, keislaman dan ke-indonesiaan, yakni sebagai berikut:

1. Konsolidasi antar elemen mahasiswa Islam
Menurutnya, rivalitas gerakan yang ditunjukkan oleh organisasi mahsiswa yang berjargon islam dewasa ini seringkali muncul dalam langgam pergerakan mahasiwa di indonesia. Fenomena ini menjadi sebuah fenomena yang sangat mudah dijumpai di kampus-kampus yang organisasi ekstra kampusnya dominan. Dalam momen kontestasi di level jurusan hingga universitas sangat mudah kita melihat konfigurasi kandidat dari latar belakang kelompok mahasiswa yang berbeda. Efek yang ditimbulkan justru terpecahnya konsenstrasi gerakan mahasiswa akibat kontestasi politik dilevel  kampus.

Bagaimanapun juga kampus merupakan dasar lahirnya kader-kader HMI, di kampus juga lah kader HMI menuangkan kemampuannya dalam berorganisasi dan menciptakan kader-kader baru yang kelak menjaga keberlanjutan organisasi ini.

“Sporadisnya gerakan mahasiswa di Indonesia tak lepas dari solidnya konsolidasi antar berbagai elemen mahasiswa dalam membangun gerakan di lingkup kampus,” ungkap Ricky.

“Berangkat dari hal itu, langkah baru dengan mengintenskan komunikasi antar lembaga mahasiswa menjadi salah satu jalan keluar dalam mencairkan ketegangan rivalitas pertarungan politik antar organisasi ekstra di ruang lingkup kampus,” jelasnya.

Ricky mengatakan, salah satu jalan dengan memperjelas kembali arah persatuan lewat kelompok cipayung yang telah terbangun sejak dulu. “HMI perlu memprakarsai jalinan silaturahmi yang lebih terarah dari sekedar paguyuban gerakan di internal cipayung,” terangnya.

Kongres ke-29 HMI

2. Rekonstruksi arah gerak perjuangan HMI
Pada perayaan ulang tahunnya yang ke-81 di tahun 2006, Pramoedya Ananta Toer mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup menarik: mengapa pemuda yang dengan gemilang menyingkirkan rezim Soeharto, tidak menghasilkan tokoh politik nasional? Padahal, pemudalah yang memberikan kepemimpinan dan energi dalam setiap perubahan penting disepanjang sejarah Indonesia serta tampil menjadi tokoh politik nasional. Mengapa sekarang tidak?.

Pertanyaan tersebut mencoba mencari apa yang terjadi sebenarnya dalam gerakan mahasiswa atau pemuda ini di era reformasi. Para mahasiswa bersama rakyat yang telah berhasil melengserkan Soeharto setelah 32 tahun memimpin pada mei 1998, tidak mampu turut menyingkirkan orang-orang dalam lingkaran orba.

Mereka tidak menghasilkan tokoh populis yang menuntun agenda besar revolusi nasional bersama rakyat. Akibatnya gerakan mobilisasi massa yang begitu besar, yang telah dibangun lama dibajak oleh tokoh konservatif yang masih dalam enclave orba seperti Amien Rais, Gus Dur dan Megawati pada detik-detik terakhir. Sehingga agenda reformasi tak mampu mendorong perubahan besar, karena kroni-kroni orba masih tetap bergentayangan di pusat-pusat pengambilan keputusan.

HMI sebagai organisasi perjuangan harus mampu membangun citra dirinya sebagai organisasi gerakan. Mengartikulasikan cita-cita masa depan (memory of future) merupakan agenda utama gerakan mahasiswa hari ini. Penyegaran kembali terhadap aktifitas gerakannya dengan inovasi gerakan merupakan langkah sederhana guna mencapai visi besar gerakan.

HMI harus turut tergugah untuk membangun ide besar tentang mimpi yang setinggi-tingginya, karena jika HMI tanpa visi maka kadernya juga tidak akan jelas arah geraknya, visi tanpa aksi hanya mimpi-mimpi yang dapat terealisasi.

Dalam konteks gerakan HMI harus memiliki blue print gerakan perjuangan yang disusun dari aspek konsepsional hingga pada perangkat teknis. Dengan adanya blue print gerakan, HMI akan terhindar dari gerakan-gerakan perjuangan yang sporadis dan reaktif. Selama ini HMI terjebak pada model gerakan yang berbasis pada isu-isu politik insidental, sehingga hanya bersifat momentum dan rawan penunggangan.

Gerakan HMI seringkali insidental karena diburu oleh momen politik. Bahkan tidak jarang HMI hanya menari dalam isu yang dikreasikan kelompok lain karena pada dasarnya gerakan HMI selama ini tidak lahir dari gagasan genetis HMI yang berdimensi strategis.

3. Reformasi Kelembagaan
Pada abad 21 ditandai dengan globalisasi yang merambah hampir semua aspek kehidupan manusia. Revolusi dalam bidang teknologi informasi semakin mempercepat kecenderungan ini. Dunia kita menjadi begitu kecil. Manusia abad 21 telah terkoneksi secara global, melintasi batas ruang dan waktu. Namun globalisasi itu tidak berlangsung begitu saja, dia membawa perubahan besar dalam pola kehidupan manusia.

Tidak terkecuali dalam manajemen organisasi. Globalisasi tak lepas dari kompetisi dunia global yang makin keras, yang mensyaratkan peningkatan daya saing. Setiap negara dituntut untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada setiap warga negaranya. Efisiensi menjadi penting. Terminologi “Better, Cheaper, Faster, Easier” pun menjadi jargon utama.

Dalam konteks HMI, di masa lalu kita mewakili suatu cita organisasi kemahasiswaan yang dapat mendefinisikan posisinya sebagai organisasi modern. Visi konsepsional yang definitif melalui nilai –nilai dasar perjuangan (NDP) dan tujuannya dalam Anggaran Dasar, memposisikan HMI sebagai generasi awal organisasi kemahasiswaan yang mampu membangun visi dan cita masa depan secara baik. Struktur organisasi yang merepresentasikan kebutuhan kerja dengan pendekatan manajemen dan rentang kendali organisasi, merupakan prestasi penting bagi HMI untuk disebut sebagai organisasi modern.

Hal ini semakin sempurna dengan dibentuknya sistem perkaderan berjenjang dengan kurikulum yang lengkap menunjukkan bahwa HMI memiliki desain serius terkait dengan fungsinya sebagai organisasi perkaderan kepemimpinan umat dan bangsa. Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman di mana dinamika progresifitas sosial ditopang mobilitas fisik individu masyarakat pasca industri.

Setiap organisasi sosial dituntut untuk mampu melakukan diversifikasi fungsi organisasi secara spesifik dan akurat agar pergerakannya menjadi terukur. Demikian juga dengan HMI, dia harus mampu membangun perspektif dan proyeksi dirinya kini dan masa depan. Secara kelembagaan diperlukan beberapa instrumen penting agar HMI dapat dianggap sebagai organisasi modern di masa kini dan bukan organisasi modern di masa lalu lagi.

Ricky Valentino3

4. Reorientasi Perkaderan HMI
Perkaderan merupakan ruh dari kejayaan HMI beberapa dekade silam, runutnya system perkaderan HMI menjadi basis kuat dalam mencetak kader-kader yang memilik wawsan luas serta jiwa kepemimpinan nasional. HMI pada dasarnya telah memiliki basis sistem perkaderan yang rapi dan berkualitas. Namun setelah mengalami masa kemapanan politik dalam rentang waktu yang begitu lama, kepemimpinan HMI mengalami distorsi makna terhadap konsep dan filosofi perkaderan itu sendiri.

“Kejumudan organisasi dalam jangka waktu yang panjang telah melemparkan budaya perkaderan pada mitos-mitos dan nostalgia perkaderan berupa monumen figur-figur besar kader HMI yang tampil dalam pentas kepemimpinan aktif nasional. Sementara situasi dunia telah berubah sama sekali, kader HMI masih terjebak dalam sistem perkaderan yang sudah tidak sesuai dengan konteks perkembangan zaman,” tambahnya.

Patut diketahui dan menjadi renungan kita pada tingkat struktural HMI, Sebagian besar ‘anggota’ HMI tidak lagi menganggap proses perkaderan sebagai bagian penting dan linear dengan garis perjuangan. Hal ini dapat dilihat dari keseriusan ‘anggota’ HMI dalam memahami, menghayati dan mengikuti jenjang perkaderan formal dan informal HMI. Ucapnya,

Sementara itu, pemahaman tentang filosofi dan konsep-konsep perkaderan kini hanya menjadi wawasan eksklusif para pelaku perkaderan (baca: instruktur). Tidak sedikit juga kader yang mengikuti jenjang perkaderan formal hanya sekedar formalitas sehingga tidak jarang terjadi benturan dan konflik antara pelaku perkaderan dengan ‘anggota’ HMI yang terlalu ‘bersemangat’ mengikuti training formal.

Pemahaman yang minim tentang makna perkaderan HMI dan tuntutan linear jenjang perkaderan dan konteks perjuangan sehingga jenjang perkaderan formal masuk dalam kriteria administratif jenjang struktural kepemimpinan organisasi.

Mungkin karena itu seringkali banyak ‘anggota’ HMI yang ‘nekat’ untuk mengikuti jenjang perkaderan formal HMI meskipun dengan bekal kapasitas yang seringkali belum ‘mencukupi’. Sehingga yang terjadi banyak calon peserta training memaksa instruktur untuk ‘diperkenankan’ mengikuti training formal pada tingkat intermediate dan atau advance. Pungkas beliau

Situasi ini semakin diperparah dengan sikap kepemimpinan struktural HMI di hampir setiap tingkat yang kurang ‘lugas’ dalam membangun program-program perkaderan. Seringkali program perkaderan hanya menjadi formalitas pelaksanaan program kerja perkaderan atau bahkan dianggap sebagai gengsi dengan menambahkan kata ‘nasional’ atau ‘regional’ untuk menunjukkan kelas program kerja.

Namun demikian, lanjutnya, pedoman perkaderan meletakkan sistem perkaderan pada basis peningkatan kualitas personaliti menisbatkan bahwa kematangan kader adalah melalui training formal dan training informal. Sehingga seyogyanya jika kepemimpinan HMI di setiap tingkat menyadari bahwa formal training tidak cukup untuk membentuk kematangan kader, diperlukan juga informal training dengan porsi keseriusan yang sama dengan formal training.

“Kekacauan ini semakin serius dan sempurna karena banyak struktur kepemimpinan HMI yang juga tidak memahami perbedaan kurikulum formal training dan informal training sehingga seringkali disatukan dalam satu paket formal training,” ungkap dia.

“Berakibat rusaknya tatanan konseptual sistem perkaderan HMI, dengan masuknya materi-materi informal training dalam list perkaderan formal training. Kerusakan itu nyaris sempurna dengan pengelolaan training secara teknis yang seringkali keluar dari kaidah-kaidah standar training yang berkualitas,” bebernya. (Saufi)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.