Sabtu, 20 April 24

Potret Orang-orang Susah Dalam Novel ‘Rumah di Tengah Sawah’

Potret Orang-orang Susah Dalam Novel ‘Rumah di Tengah Sawah’
* Muhammad Subhan, pengarang novel 'Rumah di Tengah Sawah'.

Padangpanjang, Obsessionnews – Menjadi orang miskin sungguh tidak enak. Mereka hidup di bawah tekanan. Aturan atau undang-undang yang dibuat cenderung merugikan masyarakat kelas bawah.

Persoalan orang miskin atau orang susah itu diangkat dalam novel Rumah di Tengah Sawah karya Muhammad Subhan, pendiri Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Dalam novel ini diceritakan tentang sebuah pemukiman yang tergusur karena sikap egois oknum. Dengan alasan rumah orang-orang susah itu tidak ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan itu alasan yang dicari-cari.

Suasana acara bedah novel 'Rumah di Tengah Sawah' di aula SMP Negeri 2 Padangpanjang, Sumatera Barat, Minggu (6/9/2015)
Suasana acara bedah novel ‘Rumah di Tengah Sawah’ di aula SMP Negeri 2 Padangpanjang, Sumatera Barat, Minggu (6/9/2015)

 

“Yang sebenarnya mereka ingin mengusir si miskin untuk menambah kantong-kantong kekayaan si kaya, lalu mendirikan mal atau plaza,” kata Lili Asnita, salah seorang narasumber yang membedah Rumah di Tengah Sawah di aula SMP Negeri 2 Padangpanjang, Sumatera Barat (Sumbar), Minggu (6/9/2015).

Tampil pembicara lainnya adalah Irzen Hawer, novelis asal Kota Padangpanjang. Acara diikuti 200-an peserta yang terdiri dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan guru se-Sumbar.

Dalam siaran pers yang diterima obsessionnews.com Senin (7/9) siang, Lili Asnita mengungkapkan, penggusuran pemukiman di Rumah di Tengah Sawah mendapat perlawanan pemilik rumah, namun mereka tidak berdaya. Salah seorang tokoh, Bondan, bocah usia enam tahun yang bercita-cita menjadi dokter, memprotes penggusuran rumahnya. “Bondan berteriak dan mengatakan, ‘Tunggu nanti kalau saya sudah besar akan membalas perbuatan kalian!’ Sebuah intimidasi, ketamakan, keegoisan dan ketidakpedulian oknum-oknum aparat membuat seorang anak kecil mampu memberontak,” kata Lili yang juga penulis sejumlah buku.

Dia menyebutkan, selain mengandung nilai-nilai karakter, Rumah di Tengah Sawah adalah potret kekinian terhadap fenomena penggusuran rumah dan lahan orang-orang susah yang banyak terjadi di sudut-sudut kota.

“Walau latar cerita di tahun 1980-an, realitas sosial yang ditulis pengarang adalah realitas kekinian, dan peristiwa serupa hampir setiap hari kita baca di media massa,” kata Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 4 Bukittinggi itu.

Sementara itu Irzen Hawer menuturkan, studi ekstrinsik yang menonjol dalam Rumah di Tengah Sawah adalah unsur pendidikan dan unsur sosial.

“Kesulitan untuk meraih impian dalam jalur pendidikan sedang trend pada beberapa novel pengarang Indonesia di satu dekade akhir-akhir ini,” katanya.

Dia mengungkapkan, gesekan sosial dengan tetangga akibat tekanan ekonomi di dalam Rumah di Tengah Sawah, yang berlanjut keributan ayah Agam (tokoh utama) dengan ayah Anton tetangganya terpicu oleh hal sepele, lalu memunculkan tokoh Agam, Bondan dan Anton sebagai penyelamat dan pahlawan konflik orang tua mereka.

“Apa yang dilakukan Agam, Bondan, Anton, wajib ditiru dan diteladani anak-anak Indonesia sekarang, kalau kita tak ingin bangsa ini ke depannya mengalami ‘paceklik sosial’,” ujar Irzen yang juga guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Batipuh, Tanahdatar.

Meskipun demikian, baik Lili Asnita maupun Irzen Hawer sependapat, ending Rumah di Tengah Sawah menggantung, dan kemungkinan disengaja pengarang untuk mengundang rasa penasaran pembaca.

“Benar, sebab Rumah di Tengah Sawah adalah novel trilogi, dan semoga tahun depan bisa terbit novel berikutnya,” ujar sang pengarang novel, Muhammad Subhan.

Bedah novel Rumah di Tengah Sawah terselenggara berkat kerja sama FAM Indonesia dengan Majalah Pita Biru yang diterbitkan SMP Negeri 2 Padangpanjang dan Sanggar Seni Dunia Kita Padangpanjang.

Kepala SMP Negeri 2 Padangpanjang Zulkifli yang membuka acara itu memberikan apresiasi atas terbitnya Rumah di Tengah Sawah. Dia berharap, terbitnya novel tersebut dapat memicu anak-anak didik bahkan guru di sekolahnya untuk ikut berkarya.

“Bagi kami, Muhammad Subhan bukan orang asing, sebab sejak 2013 beliau membantu sekolah kami menerbitkan Majalah Pita Biru, dan ikut andil mengembangkan minat dan bakat siswa di bidang tulis menulis, khususnya sastra,” kata Zulkifli. (Arif RH)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.