Jumat, 19 April 24

Polri Kesulitan Tindak Penyebar Kebencian di Facebook

Polri Kesulitan Tindak Penyebar Kebencian di Facebook

Jakarta, Obsessionnews.com – Jajaran kepolisian mengaku kesulitan untuk menindak kasus ujaran kebencian yang tersebar di jejaring sosial Facebook. Pasalnya, perbedaan hukum yang berlaku antara Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi hambatan bagi penyidik Bareskrim untuk menyelidiki sejumlah kasus ujaran kebencian di jejaring sosial tersohor itu.

“Perbedaan regulasi jadi tantangan kami dengan pemilik Facebook di Amerika Serikat,” ungkap Kepala Subdit IT dan Cyber Crime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Kombes Pol Himawan Bayu Aji, di Jakarta, Ahad (26/3/2017).

Menurut Himawan, terdapat sejumlah ujaran kebencian yang dibagikan oleh para pemilik akun di Facebook. Kendati demikian, pihaknya kesulitan untuk meminta data pelaku ujaran kebencian tersebut kepada pihak Facebook.

“Mereka enggak akan berikan data karena di AS hate speech itu biasa saja,” ujarnya.

Ia menyebut, sejumlah kasus ujaran kebencian maupun kasus SARA di Facebook ditangani dengan restore justice. Restore justice merupakan pembinaan terhadap pelaku untuk menumbuhkan kesadaran etik dalam penggunaan teknologi informasi atau siber atau media sosial sehingga diharapkan nantinya pelaku dapat menjadi agen perubahan yang bisa mengedukasi komunitasnya.

“Kalau dia men-share, belum jadi viral, kami lakukan restore justice, meminta dia lakukan permintaan maaf, hapus konten, lalu minta dia sosialisasikan ke komunitasnya,” katanya.

Menurutnya, restore justice layak untuk dilakukan karena penegakkan hukum saja tidak akan efektif.

“Penegakkan hukum saja tidak efektif 100 persen. Kami tangkap satu, muncul tiga pelaku. Kami tangkap tiga, muncul 10 pelaku,” katanya.

Selain itu, restore justice juga dilakukan karena jumlah personel Bareskrim yang terbatas. Tak hanya pelaku yang dijadikan agen perubahan, pihaknya juga menggandeng sejumlah komunitas siber untuk meluruskan berbagai berita-berita bohong yang beredar di media sosial.

Sebelumnya, Himawan mengungkapkan bahwa konten berisi ujaran kebencian merupakan jenis tindak pidana yang paling banyak diadukan masyarakat ke polisi. Ujaran kebencian itu meliputi pencemaran nama baik, pelecehan, fitnah, provokasi, dan ancaman.

Pada tahun 2015, jumlah laporan yang masuk berkaitan dengan ujaran kebencian sebanyak 671 laporan. Demikian juga pada 2016 dimana jumlah laporan mengenai hal itu juga tinggi. Dari laporan itu, yang baru ditangani 199 kasus.

“Tertinggi 2016 itu hate speech, soal SARA,” ujar Himawan dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (25/3/2017).

Sementara itu, kejahatan dunia maya seperti penipuan online menempati urutan kedua terbanyak dengan jumlah laporan sebanyak 639. Dari jumlah itu, baru diselesaikan 185 kasus.

Untuk menindaklanjuti kasus-kasus tersebut, imbuh Himawan, salah satunya dengan menutup akun yang menyebarkan hoax di samping juga proaktif mencari berita positif untuk disebarkan ke masyarakat. (Fath)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.