Jumat, 19 April 24

Mengikis Korupsi dengan Behavioral Forensics

Oleh: Hendi Yogi Prabowo, Direktur Pusat Studi Akuntansi Forensik di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Doktor Akuntansi Forensik dari University of Wollongong Australia.

 

Korupsi di Indonesia telah menjadi permasalahan bangsa yang kompleks dan perlu pendekatan multidimensi dalam penanggulangannya. Berbagai metode telah dirumuskan dalam memberantas kejahatan korupsi di Indonesia. Namun masih banyak pula perkerjaan yang harus dituntaskan untuk dapat mencapai tujuan mewujudkan sebuah negara bebas korupsi.

Satu dari sekian banyak ilmu dan metode yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan korupsi adalah ilmu akuntansi forensik.  Secara akademis, akuntansi forensik didefinisikan sebagai aplikasi kemampuan dan pengetahuan tentang keuangan dan sikap mental yang kritis untuk memecahkan persoalan berdasarkan fakta dan bukti (Bologna dan Lindquist, 1987). Di luar aspek-aspek teknis dari ilmu akuntansi forensik, pendekatan yang digunakan dalam memecahkan berbagai persoalan memberikan bobot yang besar pada pemahaman perilaku manusia sebagai makhuk yang rasional dalam proses-proses pengambilan keputusannya.

Salah satu sub-bagian penting dari ilmu akuntansi forensik adalah terkait dengan analisis perilaku. Analisis bertujuan memahami terutama tentang mengapa orang melakukan tindak kecurangan. Bagian ini disebut sebagai forensik perilaku atau behavioral forensics. Dalam kaitannya tentang analisis perilaku, telah banyak teori dan metode yang dikembangkan untuk menggambarkan penyebab seseorang melakukan tindak kecurangan, termasuk korupsi.

Menurut kriminolog terkemuka Edwin Sutherland (1949) proses terjadinya kejahatan keuangan (financial crime) adalah melalui proses pembelajaran (learning), ketika interaksi yang terjadi dalam sebuah kelompok atau organisasi berpengaruh terhadap pola pikir individu-individu yang ada di dalamnya. Proses pembelajaran yang dimaksud mencakup teknik, motif, rasionalisasi, sikap, dsb.

Dari perspektif ilmu manajemen pengetahuan, dalam proses pembelajaran ini akan terjadi sebuah rangkaian proses yang disebut sebagai konversi pengetahuan yang melibatkan dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan tersirat (tacit knowledge) dan pengetahuan ekplisit (explicit knowledge).

Dalam proses konversi pengetahuan, yang berasal dari para individu di satu organisasi melalui berbagai proses interaksi akan menyebar ke individu-individu lain. Melalui proses interaksi lebih lanjut akan ditransformasi menjadi bentuk pengetahuan eksplisit seperti desain produk maupun proses produksi yang akan menghasilkan sebuah produk nyata. Pengetahuan eksplisit terkait dengan produk ini dalam jangka panjang dan secara bertahap akan diinternalisasikan ke dalam pola pikir individu-individu dan akan menjadi bagian dari pengetahuan tersirat organisasi. Proses ini akan terus berulang dan berlanjut di dalam organisasi sebagai bagian dari perkembangannya. Dalam organisasi atau institusi yang korup, korupsi menjadi bagian terintegrasi dari proses konversi pengetahuan mereka. Ini menjadikan korupsi mempunyai kemampuan untuk beregenerasi dari waktu ke waktu.

Meski demikian, diperlukan sensitivitas yang tinggi untuk bisa mengidentifikasi tacit knowledge yang ada dalam sebuah organisasi yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan munculnya tindakan korupsi. Apalagi mengarahkan orang-orang di sebuah organisasi untuk bersedia melakukan organizational unlearning bukan hal yang mudah. Mereka akan sulit untuk mengadopsi pengetahuan yang baru karena adanya pertimbangan persepsi untung-rugi finansial. Karena itu, para pemimpin yang ingin menjadikan organisasinya lebih transparan dan akuntabel perlu mengkaji secara mendalam tentang konstruksi persepsi untung-rugi dari anggota organisasinya dan melakukan pendekatan personal maupun organisasi untuk mengubah persepsi tersebut.

Hasil yang diharapkan dari perubahan tersebut adalah munculnya persepsi bahwa ‘manfaat bersih’ atau net benefits (benefits minus costs) dari knowledge baru (good governance, akuntabilitas dan integritas) akan melebihi knowledge yang terdahulu (korupsi, kolusi dan nepotisme). Sekali lagi yang perlu dicatat adalah bahwa manfaat dan pengorbanan tidak hanya meliputi yang terukur secara finansial namun juga termasuk yang bersifat non-finansial.

Kesimpulannya, ada banyak sisi dari permasalahan korupsi yang memerlukan pendekatan khusus untuk mengatasinya, termasuk di antaranya melalui pendekatan perilaku (behavioral). Strategi yang paling efektif dalam pemberantasan korupsi adalah strategi yang tidak hanya bersifat represif tapi juga bersifat preventif untuk kebermanfaatan jangka panjang dengan mempertimbangkan berbagai sisi permasalahan. Termasuk memandang manusia sebagai makhluk yang rasional dengan segala keunikan dan dinamikanya, bukan seperti mesin yang berjalan dengan mekanisme yang sama. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.