Sabtu, 20 April 24

Mengapa Ahok Harus Menang?

Mengapa Ahok Harus Menang?
* Gubernur non aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. (Foto: Edwin B/Obsessionnews.com)

Oleh: Edward Marthens, pekerja sosial, tinggal di Jakarta

Berkuasa itu enak dan nikmat. Dengan berkuasa, anda bisa memperoleh segala kemudahan. Kalau hadir dalam resepsi pernikahan, tidak perlu antri untuk bersalaman dengan mempelai dan orang tuanya. Bepergian dengan pesawat, pasti naik kelas bisnis atau first class. Urusan chek in dan check out hotel, sudah ditangani staf protokol. Makan-makan di restoran mewah sudah ada yang selesaikan tagihannya. Dan lainnya, dan seterusnya. Pendeknya, untuk berbagai perkara teknis seperti itu sudah ada yang atur.

Berkuasa juga menyenangkan. Anda akan dipatuhi anak buah. Pengusaha akan merapat dengan berbagai ‘buah tangan’ dan janji-janji. Singkat kata, dengan berkuasa uang seperti berebut menyesaki pundi-pundi anda.

Berkuasa itu sedap. Dengan berkuasa, anda nyaris boleh dan bisa melakukan apa pun. Termasuk, maaf, korupsi. Ada banyak macam korupsi. Mulai yang tradisional dan konvensional, sampai korupsi dengan bertameng peraturan. Yang lebih hebat lagi, korupsi dengan menggunakan diskresi. Nah, untuk yang disebut terakhir ini bisa dikatakan korupsi level advance.

Pendeknya, begitulah lezatnya berkuasa. Itulah sebabnya banyak orang yang bernafsu untuk berkuasa. Soal syahwat berkuasa bukan cuma ada pada para ‘pendatang baru’, tapi juga bahkan, mereka yang sedang berkuasa.

Bagi yang tengah berkuasa, mereka sangat berkepentingan untuk terus berkuasa (lagi). Bukan saja untuk menikmati segala privilege macam tadi. Tapi yang lebih penting, untuk mengamankan diri dari risiko dan konsekuensi hukum yang (pasti?) terjadi padanya setelah turun dari tampuk kekuasaan. Maklum, di negeri ini, hukum hanya bisa menjangkau rakyat kecil. Sedangkan buat yang berada di singgasana, hukum tiba-tiba jadi lunglai. Frase yang terkenal untuk ini adalah, hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

Sepanjang anda (masih) berkuasa, kecil kemungkinan bakal berurusan dengan hukum. Tidak peduli seberapa banyak dan besar korupsi dan pelanggaran hukum yang anda lakukan. Tapi, begitu lengser, nah, mulailah hukum dan aparat penegaknya mengulik rekam jejak anda.

Dengan alur logika seperti inilah, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok (juga banyak penguasa korup) berpikir dan bertindak. Dalam konteks Gubernur DKI Jakarta yang amat hobi menggusur rakyatnya dengan ‘brutal’ dan ‘sadis’ ini, Pilkada 2017 adalah pertarungan yang harus dimenangkan. Bukan saja untuk melanjutkan berbagai kenikmatan dan kemudahan tadi (tentu saja), tapi juga untuk mengamankan jejak hitam yang telah dia torehkan sepanjang dua tahun berkuasa.

Keputusan ini sudah mutlak, tidak bisa diganggu-gugat. Anda bisa bayangkan, tokoh yang mencitrakan diri sebagai paling bersih itu kelak harus meringkuk di bui karena berbagai korupsi. Jika ini terjadi, publik bakal ramai-ramai meneriakkan koor, ‘Ahok adalah koruptor teriak koruptor’ atau ‘Basuki adalah maling teriak maling!’

Jejak serampangan pria yang dijuluki bermulut ‘toilet’ karena suka menyemburkan kata-kata kotor itu dalam memimpin DKI satu persatu diblejeti oleh Plt Gubernur DKI Soni Sumarsono. Soni, misalnya, menghentikan sementara 14 proyek lelang dini yang dimulai pada era Ahok karena tidak menghargai peran legislatif. Sesuai aturan yang ada, lelang memang seharusnya baru bisa dilakukan atas persetujuan DPRD, tepatnya setelah pengesahan Kebijakan Umum Anggaran Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS).

Ahok juga merekayasa 12 proyek fiktif senilai ratusan miliar rupiah. Berdalih diskresi, gubernur yang tega memaki di depan publik seorang ibu dengan “maling” hanya karena bertanya soal Kartu Jakarta Pintar (KJP) itu, merekayasa proyek-proyek fiktif tanpa persetujuan DPRD. Tidak ada tender, melainkan penunjukan kontraktor secara langsung kepada keluarga dan relasi pribadinya.

Soni yang juga Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri itu menyetop pula aliran dana liar senilai puluhan miliar rupiah yang sebelumnya secara rutin digelontorkan Ahok sebagai Gubernur DKI kepada Kodam Jaya, Polda Metro Jaya, Koprs Brimob, KPK, Kejaksaan, dan KPUD. Dalihnya, kerja sama keamanan antara Pemprov DKI.

Padahal, bermacam institusi tersebut sudah memperoleh anggaran sendiri secara vertikal yang dikucurkan dari APBN. Dengan kata lain, perkara pendanaan bagi seluruh instansi tersebut sama sekali bukan urusan pemerintah daerah.

Sangat patut diduga, bahwa gerojokan dana tersebut Ahok lakukan untuk mencari bodyguard buat dirinya. Hibah untuk Kodam dan Polda, misalnya, adalah uang jasa untuk melindungi keamanannya. Sedangkan dana hibah untuk KPK dan Kejaksaan, untuk segala kasus perdatanya. Sedangkan kucuran fulus buat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dia berikan untuk mengamankan kepentingan politiknya.

Mantan Bupati Belitung Timur yang dinilai minim prestasi itu juga disinyalir sering memalak dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan pengembang. Namun, dalam praktiknya, dia tidak transparan serta melanggar banyak aturan yang ada. Juga tidak ada mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.

Demi menjaga netralitas, Soni melarang semua Kepala Dinas menerima dana CSR dari pengembang tanpa persetujuan DPRD. Pasalnya, perilaku tersebut hanya beda casing dengan kebiasaan gratifisikasi alias suap.

Beberapa contoh di atas menggambarkan betapa serampangannya Ahok dalam berkuasa. Namun dengan dukungan media dan dana yang amat besar dari para taipan, dia memainkan citra sebagai pejabat bersih, anti korupsi, dan berani. Begitu beraninya dia, hingga bisa mengeluarkan kalimat, “Kalo Tuhan ngaco, gue lawan!” Bukan main…

Sayang, faktanya justru menunjukkan hal berbeda. Hasil audit BPK tahun anggaran 2015 membuahkan 50 temuan bermasalah senilai Rp30,15 triliun. Angka ini hampir setara dengan 50% APBD DKI Jakarta! Selain itu juga ditemukan empat kasus besar yang diduga melibatkan Ahok sebagai sang Gubernur, yakni kasus korupsi pembelian lahan Cengkareng, pembelian lahan RS Sumber Waras, Kasus Korupsi UPS, dan kasus skandal reklamasi.

Pada kasus lahan seluas 4,5 ha di Cengkareng, Jakbar, misalnya ternyata lahan yang dibeli oleh Dinas Perumahan Gedung Pemerintahan seharga Rp648 miliar itu milik Pemprov DKI sendiri, yakni milik Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan (DKPKP). Transaksi itu bisa terjadi lantaran ada memo disposisi Ahok.

Negara dirugikan Rp81,4 miliar pada kasus korupsi uniterruptible power supply (UPS). Kasus ini melibatkan Kasie Sarana dan Prasarana Sudin Pendidikan Menengah DKI Jakarta Alex Usman. Sebagai pejabat dia memasukkan anggaran UPS pada APBDP 2014 yang ternyata ditandatangani oleh Ahok sendiri. Selain itu, tanda tangan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) juga ternyata dilakukan oleh Ahok. Jadi, Ahok telah berbohong bahkan menebar fitnah dengan mengatakan penandatangan APBD 2014 adalah gubernur sebelumnya Joko Widodo atau sekda Saefullah. Setelah kebohongan Ahok terbongkar di persidangan, dia kembali beralibi. Katanya, dia kecolongan.

BPK menilai pembelian lahan RS Sumber Waras tidak sesuai dengan prosedur. Ada enam penyimpangan yang terjadi. Selain itu harganya lebih mahal dari seharusnya sehingga negara dirugikan sebesar Rp191 miliar.

Yang paling menghebohkan, kasus mega proyek reklamasi Teluk Jakarta. KPK pernah menyatakan bahwa kasus korupsi Reklamasi Teluk Jakarta adalah “grand corruption”. Adalah hal musykil, bila mega korupsi hanya melibatkan Muhammad Sanusi (mantan anggota DPRD, penerima suap); Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja (pemberi suap); dan Trinanda Prihantoro, karyawan PT Agung Podomoro Land. Sebagai gubernur yang menerbitkan izin reklamasi, Ahok diduga kuat terlibat. Apalagi dia begitu ngotot melanjutkan proyek reklamasi walau izin yang dikeluarkan pun sangat dan menyalahi banyak aturan yang berlaku.

Ahok terbukti sangat serampangan dalam hal keuangan. Di pengadilan, Ariesman mengaku telah mengelontorkan dana sebesar Rp1,6 triliun kepada Pemprov, yang menurut Ahok, sebagai kontribusi tambahan atau kebijakan diskresi. Semuanya tanpa dasar hukum yang benar dan jelas alias di masa Orba biasa disebut dana nonbujeter.

Di luar keempat kasus kakap tadi, masih ada sejumlah kasus lain yang diduga kuat melibatkan Ahok. Antara lain, pengadaan 150 bus Scania dan 150 bus Eropa oleh PT Transjakarta sebesar Rp2,2 triliun yang lagi-lagi tanpa tender. Juga ada kasus proyek Thamrin City dan Waduk Pluit, dan lainnya.

Dengan seabrek kasus hukum yang membelitnya tersebut, teramat wajar bila Ahok ngotot ingin berkuasa lagi. Alasannya, ya itu tadi, selain bisa kembali menikmati berbagai hak istimewa, dan korupsi lagi, juga untuk mengamankannya dari jerat hukum.

Untuk itu, dia dan timnya mati-matian berusaha membangun citra sebagai pejabat yang bersih, anti korupsi, dan galak terhadap koruptor. Dia bahkan dengan jumawa mengatakan hanya koruptor yang ingin memenjarakan dirinya.

Yang tidak kalah penting, dia dan timnya mengerahkan segenap daya dan upaya untuk bebas dari jerat hukum pada kasus penistaan agama yang kini disidangkan. Soalnya, begitu dia terpidana, maka segala rencana dan strategi tersebut baka buyar. Ini artinya, tamatlah dia.

Inilah yang menjelaskan, mengapa Ahok harus menang. Menang di pengadilan. Menang di Pilkada 2017. Anda mau diam dan membiarkan hal itu terjadi? (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.