Jumat, 19 April 24

Mempermalukan Koruptor

Mempermalukan Koruptor

(Siapa pemilik tanah dan air)

Oleh: Emha Ainun Nadjib, Koruptor

Aku ingin bercerita tentang kambing, air sungai, dan sumur, pengetahuan tentang apa yang disembunyikan oleh manusia, serta tentang mempelajari kepemimpinan dan belajar memimpin. Juga tentang rasa malu. Agak panjang kisah dari masa kanak-kanakku ini.

Berjalan kaki pulang sekolah di desa seberang yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari rumah di desaku, melintasi beberapa jembatan, pesawahan dan galengan-galengannya, sampailah aku di tepi sungai kecil sebelah utara desaku.

Siang sangat terik. Keringat mengucur. Haus di tenggorokanku luar biasa. Aku duduk sejenak di bawah deretan pohon Turi. Air bening bergemericik di bawah kaki, mengalir lembut tapi lincah. Lembah panjang di tanah, dialiri air, menjadi sungai.

Kebiasaanku setiap pulang sekolah adalah meminum air sungai, membungkukkan badan, menjulurkan kepala dan “ngokop” airnya selahap-lahapnya. Atau kalau sudah lewat sungai baru terasa haus, aku, tentu dengan beberapa teman, menengok-nengok kalau ada sumur entah di halaman atau samping rumah siapa. Kami akan menimba, dan meminum airnya bergiliran.

Tak pernah kami meminta izin kepada pemilik sumur itu. Kelak sesudah dewasa saya sering mencoba mengingat-ingat: bagaimana mungkin kami bisa menimba sumur siapapun, meminum airnya, tanpa mendapat risiko apa-apa. Tidak dimarahi, tidak dilaporkan ke Polisi, juga tidak disebut berdosa karena mencuri oleh Pak Kiai di Langgar dan Masjid.

Mungkin manusia sudah berkembang sangat jauh berbeda dibanding dulu. Pemahaman tentang “milik”, “mencuri”, “berdosa”, sudah berubah hampir total. Kalau ada di sumur di halaman rumah seseorang, apakah berarti tuan rumah itu adalah pemilik tanah dan air sumur itu? Manusia dulu berbeda dengan manusia sekarang dalam memahami subjek dan konsep kepemilikan atas suatu benda.

Orang yang sumur di halaman rumahnya kami minum airnya, mungkin tidak merasa bahwa sumur itu adalah miliknya. Mungkin orang-orang dulu sangat rasional dan berkesadaran historis sangat tinggi. Bagaimana mungkin manusia memiliki tanah, mempunyai air. Meskipun ia yang melubangi tanah sehingga menjadi sumur yang muncul airnya, toh alat-alat untuk menggali sumur itu: tangan, kaki, jari-jemari, pikiran untuk membuat linggis dan cangkul – bukanlah juga miliknya.

Sungguh berbeda dengan manusia zaman sekarang yang sangat kreatif dan inovatif. Mereka mampu menciptakan tanah dan air, udara dan pepohonan, batu dan tambang emas – sehingga semua itu menjadi dan adalah milik mereka. Dengan surat-surat kepemilikan yang mereka bikin sendiri, sehingga pemilikan itu menjadi sah. Manusia modern adalah kompetitor Tuhan yang sanggup menciptakan bumi, gunung-gunung, lautan dan hutan belantara.

Jadi apakah sumur di rumah semua orang adalah juga milik semua orang sehingga boleh diminum oleh semua orang? Ataukah karena kami adalah anak-anak kecil, maka tidak diperlakukan sebagaimana orang dewasa? Tidak sepenuhnya seperti itu. Sebab pada saat lain ketika melintas sawah pulang sekolah aku dan beberapa temanku mengambil buah “krai” atau mentimun hijau di sawah seseorang, kami diteriaki sebagai pencuri. Pemilik tanaman “krai” itu berlari menghampiri kami, sehingga spontan kami pun berlari.

Pemilik sawah “krai” tidak berhasil menangkap kami. Saya pulang ke rumah dengan merasa “selamat”. Tetapi ternyata entah bagaimana ceritanya, Ibu saya akhirnya tahu peristiwa itu. Saya dipanggil, dikonfirmasi semua hal yang terjadi. Dan dengan menunduk malu saya menceritakan semua yang terjadi.

Kemudian tiba-tiba Ibu beranjak menghampiri saya. Satu tangannya menjewer telinga saya. Ibu menyeret saya berjalan, sambil terus menjewer telinga saya : menuju rumah orang yang “krai”-nya saya curi. Letaknya hampir satu kilometer di desa sebelah. Semua tetangga yang kami lewati berlarian keluar rumah untuk menyaksikan betapa Ibu menjewer dan menyeret saya.

Dengan penuh rasa malu dan panas telinga oleh jeweran dan seretan Ibu, sampailah kami di rumah “Pak Krai”. Beliau sangat kaget didatangi oleh Ibu, dengan jeweran tangan di telinga saya tak dilepaskan entah sampai kapan. Kami dipersilakan masuk, tetapi Ibu menolak. Ia memerintahkan kepada saya untuk menyatakan kepada Pak Krai bahwa saya telah mencuri krai di sawahnya. Kemudian saya minta maaf sambil menyatakan siap menerima hukuman atas kesalahan saya.

Ibu sendiri juga menambahkan permintaan maaf kepada beliau atas kelakuan buruk anaknya. Pak Krai tampak kebingungan oleh adegan itu. Malah tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya. Agak cukup lama. Kemudian keluar lagi dengan membawa keranjang berisi berpuluh-puluh krai. Ia menyodorkannya ke tangan saya. Saya mendongak menatap wajah Ibu saya.

Ibu melepaskan jeweran tangannya dari telinga saya. Kemudian Ibu berjongkok dan menekan pundak saya agar juga berjongkok. Ibu menyuruh saya untuk mengulang permintaan maaf, kemudian menghaturkan terima kasih. Pak Krai tidak berkata sepatah kata pun. Ia hanya turut berjongkok. Wajahnya memancarkan campuran antara heran, bingung, bersyukur dan gembira. Ia mengulang menyodorkan keranjang itu agar tangan saya menentengnya.

Di usia udzur saya sekarang, pengalaman saya hari itu memberi pemahaman hidup melebihi apa yang saya peroleh di Sekolah dan Pesantren. Ketika itu saya duduk di kelas 3 SD. Beberapa tahun kemudian di Pesantren saya menyaksikan Santri yang mencuri menabuh genderang ke seputar Pesantren di depan pondok-pondok tempat tinggal para Santri. Di dadanya terpampang kardus yang ditalikan dari lehernya, bertuliskan “Saraqtul-libas”: saya telah mencuri pakaian.

Di dunia modern yang beradab, para raksasa pencuri alias koruptor dilindungi di bilik-bilik tertutup. Tidak dijewer telinganya dan diseret untuk menemui rakyat, meminta maaf sambil berjongkok. Juga tidak dikasih kardus di dadanya bertuliskan “Saya Koruptor” kemudian menabuh genderang jalan kaki di jalan-jalan protokol hingga ke kampung-kampung.

Negara dan Pemerintah tidak menerapkan formula hukuman yang mempermalukan para koruptor di depan rakyat. Bukan karena para koruptor dilindungi dan disembunyikan dari rakyat. Melainkan karena sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa tindakan mempermalukan hanya efektif untuk mereka yang punya rasa malu.

Yogya, 19 September 2017

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.