Kamis, 25 April 24

Memasadepankan Masa Silam

Memasadepankan Masa Silam

(Ketangguhan untuk Tak Tercapai)
Oleh: Emha Ainun Nadjib, Budayawan

 

Pada 27 Mei 2014 malam hari, 40.000 orang hadir di komplek Pendopo Kerajaan Majapahit untuk kesadaran “Banawa Sekar”. Pernikahan antara daratan dengan lautan. Koordinasi pembangunan sejarah antara potensi tanah dengan air. Itulah hakikat Negeri Kepulauan. Itulah prinsip utama dan etos kebangkitan bangsa Indonesia sejak proklamasi Kemerdekaan 1945. Sehingga di gerbang masuk Trowulan Mojokerto sejak beberapa minggu sebelumnya dipasang baliho raksasa bertuliskan “Majapahit Bukan Masa Silam, Majapahit adalah Masa Depan”.

Sejak pagi ribuan penari yang terbagi menjadi banyak kelompok, menghiasi Trowulan. Siang hari ada Sarasehan Masa Depan Nusantara. Malamnya saya naikkan panggung 1.027 Perodad “Ishari”, berpakaian Putih-putih berpeci Merah Putih, bekerja sama dengan KiaiKanjeng. Sangat mahal membiayai itu semua, dana saya mintakan kepada Capres ke-3 menjelang Pilpres 2014.

Para nelayan yang melaut, mengarungi “Banawa”, bercengkerama dengan gelombang, bertaruh nyawa, berhari-hari atau berminggu-minggu meninggalkan keluarga mereka yang melepas dengan doa – tidak sempat ingat bunga-bunga (“Sekar”). Dan orang di daratan yang bermesraan dengan bunga-bunga, tidak mendengar gemuruh ombak samudera. Tetapi para pemimpin peradaban, pembangunan dan kebun-kebun keindahan masa depan: merangkumnya menjadi desain “Banawa Sekar”. Itulah prinsip desain pembangunan Majapahit.

Acara massal “Banawa Sekar” itu memang dilangsungkan sesudah Prabu Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit – hadir beberapa kali di forum rakyat “Padhangmbulan” Menturo Sumobito Jombang, yang sudah memasuki tahun ke-24. Menturo, sekitar 10 km dari Trowulan, adalah tempat vila-vila tepian sungai untuk para tamu Kerajaan Majapahit. Bapak 117 anak yang di akhir Majapahit “mandito” di leher Gunung Lawu itu menyatakan di depan komunitas Padhangmbulan bahwa “sudah tiba waktunya Majapahit tegak kembali menyelamatkan Nusantara”.

Sebentar. Prabu Brawijaya V Raja terakhir Majapahit naik panggung Padhangmbulan? Mohon merdekakan pikiran. Spektrumkan fenomenologi. Redakan ketegangan politik kekuasaan yang pragmatis dan temporal. Di era Orde Baru, saya tanya kepada seorang penjual salak di Bangkalan : “Pak, siapa Gubernur Jawa Timur sekarang?”

Dia menjawab : “Pak Nur”.

“Lho? Bukannya Sunandar Priyosudarmo?”, saya bantah.

“Itu kan cuma penggantinya, Pak”

Baiklah.

“Kalau Presiden Indonesia?”

“O `dak tentu Pak. Kadang Moerdiono, kadang Harmoko. Pak Harmoko itu yang paling pintar. Harga lombok naik di pasar dia tahu, tarif listrik belum naik, dia sudah ngumumkan…”

“Lha kalau Suharto?”, saya kejar.

Si Madura menjawab : “O kalau Pak Harto itu Raja, Pak…”

Maka karena 5.000 hadirin Padhangmbulan itu kebanyakan bukan orang Madura, mereka bertanya-tanya apa benar yang naik podium itu Raja Majapahit Prabu Brawijaya V, dan kenapa saya tanpa keberatan apapun mempersilakannya naik podium. Bahkan sampai tiga kali dalam tiga bulan Padhangmbulan. Saya menjawab: “Kalau ada yang bisa menyerahkan kepada saya berapa jumlah bintang dan planet di Galaksi Bimasakti, atau sekurang-kurangnya jumlah seluruh rambut dan helai bulu-bulu di tubuhnya – akan saya katakan kepadanya siapakah Prabu Brawijaya V itu sebenarnya. Bahkan akan saya bukakan rahasia kebenaran tentang bumi ini bulat atau datar”

Karena tidak ada yang angkat tangan, saya meneruskan: “Yang saya lihat dan terima dengan penuh kegembiraan dari tamu kita yang Anda semua bertanya-tanya siapa beliau, adalah cintanya kepada Indonesia, kebanggaannya atas Nusantara dan cita-cita sucinya atas nasib rakyat Negeri Banawa Sekar ini. Beliau meyakini sudah saatnya Majapahit lahir dan tegak kembali, tidak perlu Anda tafsirkan sebagai pernyataan makar terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena beliau maupun kita semua ini hanyalah rakyat kecil yang tidak punya daya dan kuasa apapun untuk melakukan makar, menghentikan dan mengganti NKRI dengan Majapahit. Pemerintah Indonesia, TNI, Polri dan semua perangkat pemerintahan, tidak perlu menjadi paranoid terhadap bunyi mulut kita. Makar itu kerja besar dan dahsyat, bukan beberapa kalimat literasi”

Prabu Brawijaya V itu mengungkapkan kerinduannya kepada kejayaan Majapahit, sampai-sampai ia mengidentifikasi dirinya sebagai Brawijaya V. Kerinduan kepada “gemah ripah loh jinawi”-nya. Kepada “toto tentrem kerto raharjo”-nya. Kepada “deso mowo coro, negoro mowo toto”-nya. Atau kepada kerukunan, persatuan kesatuan “Selapanan Kendi Emas”-nya.

Atau kepada manajemen pemilahan antara Negara dengan Pemerintahnya, yang NKRI merancukannya, dengan menyatukan fungsi Hayam Wuruk Kepala Negaranya dengan Gadjah Mada Perdana Menterinya. Sehingga tidak mengindahkan anatomi fungsi antara Keluarga dengan Rumah Tangga, antara Bendahara dengan Kasir, atau antara pemegang kebijakan dan sistem kontrol dengan eksekutornya.

“Majapahit tegak kembali, Majapahit adalah Masa depan”, bukanlah kegaduhan politik ambisius tentang perebutan kekuasaan yang mengatasnamakan nama NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Melainkan cita-cita yang seakan tak pernah tercapai, pengharapan yang hampir menyentuh garis putus asa, atas berlangsungnya keadilan sosial, kedewasaan politik, kebijaksanaan budaya dan kesejahteraan penghidupan rakyat Indonesia. Kebangkitan Majapahit Bukan kata-kata politik, bukan egosentrisme Kelompok-kelompok pengincar kekuasaan, juga bukan paranoia kaum yang sedang berkuasa. Melainkan bahasa hati, ungkapan penantian yang terlalu lama, atau semacam igauan natural dari ratusan juta rakyat yang terlelap ditidurkan nasibnya oleh kekejaman zaman.

Prabu Brawijaya V dengan sekitar sepuluh punggawanya bahkan menangis di depan saya. “Kasihan rakyat. Kami datang ke sini untuk menghimbau dan memastikan bahwa Panjenengan akan bertandang dan bertanding. Sudah beberapa tahun kami semua berpuasa Daud dan hampir setiap malam kami bertahajud”

Sudah pasti saya tidak tega untuk menjawab dengan kalimat yang menambah tangis mereka. Anda tidak akan pernah memiliki kecerdasan pikiran dan keliaran imajinasi untuk membayangkan bahwa Prabu Brawijaya V beserta punggawa-punggawanya, pengemban terakhir koalisi Hindu-Budha dengan konstitusi “Kutaramanawa”: berpuasa Daud dan shalat tahajud.

Lebih tidak terjangkau lagi suatu simulasi sejarah di mana Prabu Brawijaya V meminta saya untuk melaksanakan cita-cita luhurnya atas bangsa Indonesia. Mungkin saya perlu melacak apakah saya ini ternyata keturunan Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung dan mengambil alih kekuasaannya. Harus segera saya temukan siapa Empu Gandring di era Reformasi ini, yang pasti sekarang tengah merampungkan pembuatan Kerisnya. Begitu saya temukan, akan saya paksa dia memasukkan sepuhan ke Sukma Keris itu dengan Pamor Kesaktian Pancasila, plus Warangka Bhinneka Tunggal Ika.

Supaya tidak terpojok untuk menjawab pengharapannya, Prabu Brawijaya V saya seret ke tema Perang Bubat. “Begini, Prabu, kita harus bereskan dulu hubungan yang belum legolilo antara masyarakat Sunda dengan masyarakat Jawa, gara-gara Perang Bubat. Kelihatannya rakyat Siliwangi masih sakit hati rombongan Rajanya dicegat secara tidak bertata krama oleh pasukan Gadjah Mada. Di Jawa Barat sampai sekarang tidak ada Jalan Majapahit, Jalan Gajah Mada atau Jalan Hayam Wuruk. Kita harus melakukan tabayyun, yang bersalah minta maaf dan yang disalahi memaafkan”

Kelihatannya merupakan keharusan untuk menengok ke masa silam, dekat maupun jauh. Busur masa silam yang jauh akan meluncurkan anak panah pembangunan Indonesia kita ke cakrawala masa depan jauh. Tidak bisa kita meneruskan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dengan cara sepenggal demi sepenggal, haluan sepenggayuhan demi sepenggayuhan, mancalaputra-mancalaputri berganti-ganti kurikulum berdasarkan ambisi pengurusnya.

Tidak hanya diperlukan haluan Negara panjang jauh ke depan yang dipatuhi oleh siapapun Presiden dan Pemerintahannya. Juga karena ada ganjalan dan ketidaktuntasan dari masa silam yang menyerimpung kaki kita dalam menempuh masa depan.

“Memasadepankan Masa silam” itu yang membuat Brawijaya V saya persilakan naik panggung Padhangmbulan. Serta siapapun saja, tanpa pers

yaratan etnik, agama atau latar belakang apapun, termasuk andaikan ada hadirin yang bukan manusia – naik panggung Mimbar Bebas alias Forum Kemerdekaan di Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Kenduri Cinta, Bangbang Wetan, Papparandang Até, Jamparing Asih, Juguran Syafaat, Maneges Qudroh, Warok Kaprawiran, Tong Il Qoryah dan semua Forum-forum Maiyah lainnya.

Juga di setiap forum di Desa-desa, Kota-kota, Kampus-kampus, Sekolah-sekolah, Lapangan-lapangan, Lereng-lereng gunung, tepian-tepian hutan, serta area yang Ijtihad di manapun, yang kini sedang mencapai titik ke 3889. Termasuk di Keraton-keraton, Hamengkubuwanan, Pakualaman, atau yang terakhir 29 September kemarin di Mangkunegaran.

Kita banyak salah pandangan terhadap masa silam. Keliru pengetahuan dan tidak tepat ilmu dalam memperlakukan diri kita sendiri di masa silam. Karena itu kita akan terantuk-antuk batu gaib dalam perjalanan ke masa depan. Tetapi saya dan teman-teman tidak sanggup mengurangi atau apalagi membatalkan cinta kepada bangsa Indonesia. Maka tidak pernah pula berhenti melakukan perjalanan untuk memasadepankan masa silam.

Kalau itu semua tidak tercapai, tak apa. Toh rakyat Indonesia sudah tinggi jam terbangnya untuk tidak tercapai cita-citanya. Sudah sangat berpengalaman untuk tidak berhasil perjuangannya. Serta selalu tetap tangguh mentalnya di dalam segala macam kesengsaraan dan derita. Dan saya sendiri toh sebagai pribadi, tidak pernah punya cita-cita.

Jakarta, 3 Oktober 2017

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.