Sabtu, 27 April 24

Kritik Sosial Melalui Puisi

Kritik Sosial Melalui Puisi

Oleh: Denny JA, Pimpinan Lingkaran Survei Indonesia (LSI)

 

“Memilih Bob Dyland untuk Nobel Sastra sama salahnya seperti memilih Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat.” Demikianlah kritik Tim Stanley atas dipilihnya Bob Dyland sebagai pemenang Nobel Sastra 2016. Dunia sastra pun berguncang.

Memang sangat jarang Hadiah Nobel untuk sastra dianugrahkan kepada sosok yang tak dikenal lama dan panjang hidup sebagai sastrawan. Bob Dyland tak menulis novel. Ia tak membuat buku puisi. Ia juga tak pernah mengarang naskah drama. Ia adalah musisi yang banyak menulis lirik lagu protes sosial.

Saya pribadi justru senang Bob Dyland yang dipilih. Tokoh ini sudah masuk dalam memori ketika saya masih bocah. Bersama teman-teman Sekolah Dasar, di tahun 70-an, jauh dari ibu kota Jakarta, di Palembang, kami belajar gitar sambil bernyanyi. Dengan bahasa Inggris terpatah-patah bersama kami hafalkan Blowing in the Wind. Itu termasuk lagu awal yang saya hafalkan ketika belajar main gitar.

Saat itu tentu saya tak mengerti apa arti liriknya. Namun setelah menjadi mahasiswa 15 tahun kemudian, ketika menyanyikan lagi lagu Blowing in the Wind, terasa kedalamannya. Terasa pula protes sosial dalam lirik lagu itu.

How many deaths will it take till he knows

that too many people have died

The answer my friendis blowing in the wind

(Berapa banyak lagi kematian yang ia tunggu/Hingga ia sadar bahwa sudah begitu banyak orang mati/ Jawabannya, teman, tertiup angin)

Lagu ini disiarkan tahun 1962. Itu era bangkitnya protes kaum muda di Amerika Serikat menolak perang Vietnam. Di era itu begitu banyak lagu dan puisi dilahirkan sebagai protes karena massifnya warga Amerika mati akibat dikirim perang ke Vietnam.

Demonstrasi dan pawai terjadi di aneka tempat. Gerakan anti perang diromantisasi pula oleh aneka ekspresi seni. Bob Dyland merespon pedihnya zaman dalam banyak lagunya.

Belakangani ini saya kembali mendengarkan aneka lagu protes sosial Bob Dyland. Terasa ekspresi puitis dan kritik sosial yang tajam dalam aneka liriknya.

“Ia pergi ke Oxford Town

Senjata dan kelompok menyertainya

Itu karena warna kulitnya: coklat”

(Oxford Town)

“Kucoba yang terbaik

Menjadi diriku sendiri

Tapi mereka tak suka Ingin diriku menerima saja

Nikmati sebagai budak”

(Maggie’s Farm)

Aneka lirik ini dinyanyikan Bob Dyland kadang hanya dengan gitar dan harmonika saja. Tak banyak nada lagu Bob Dyland yang saya suka. Namun aneka lirik protes sosialnya merupakan kesaksian zaman. Lagu Oxford Town dan Maggie’s Farm itu protes terhadap perlakuan buruk atas kaum kulit hitam/coklat di tahun 1960an.

Di Amerika masa kini, di tahun 2017, puisi dengan isu sosial menjadi dunia sendiri, mempunyai komunitasnya sendiri, menjalakan kegiatannya sendiri, dan mengembangkan filosofinya sendiri. Academy of American Poets misalnya mengumpulkan koleksi sekitar 7000 karya hanya untuk puisi yang kental isu sosialnya.

Anti Demafation League (ADL) secara reguler memberikan penghargaan khusus untuk puisi isu sosial terbaik setiap tahunnya. Organisasi ini juga mulai memasukkan topik puisi dan keadilan sosial dalam kurikulum sekolah.

Jika ADL lebih dekat kepada komunitas Yahudi yang memprotes berkembanganya kultur anti semitis (anti Yahudi) di Amerika Serikat, banyak pula perkumpulan seniman dengan semangat anti diskriminasi tapi untuk komunitas kulit hitam. Penyair kulit hitam Amiri Baraka menonjol untuk isu itu.

Bagi mereka, puisi tak hanya mengekspresikan kegalauan pribadi. Puisi juga merekam ketidak adilan zamannya, menginterpretasikannya dengan mata batin, dan mempublikasikannya di ruang publik agar ikut membentuk kesadaran baru.

-000-

Kesadaran seperti di atas awalnya juga hinggap pada saya: menjadikan puisi sebagai bagian pergerakan sosial. Namun kemudian saya merasakan pergeseran proses kreatif.

Buku pertama saya Atas Nama Cinta memotret kisah cinta dalam aneka bentuk diskriminasi di Indonesia. Buku ini memang pertama tama lahir karena aktivisme sosial.

Sama seperti banyak penyair Amerika di tahun 2017, niatnya menjadikan puisi sebagai medium untuk lebih menyentuh hati. Tapi pesan utamanya, itu agar publik lebih memperhatikan diskriminasi di lingkungannya.

Buku puisi saya pertama tersebut berlanjut menjadi lima film pendek digarap bersama Hanung Bramantyo. Acapkal lima film pendek itu, dengan durasi 40 menit, menjadi pemulai aneka diskusi publik. Para aktivis memutar film pendek itu dahulu sebelum mereka masuk ke materi pelatihan.

Namun proses karya saya selanjutnya sudah berbeda. Menulis puisi bagi saya mulai lebih banyak karena kebutuhan batin saja. Ia bukan lagi pertama- tama ditujukan sebagai bagian pergerakan sosial.

Proses kreatif saya kemudian lebih menyerupai apa yang digambarkan Jalaluddin Rumi. “Bernyanyilah seperti burung yang berkicau/ Tak usah hirau siapa yang mendengar/dan apa yang mereka pikirkan/. Saya pun bernyanyi saja, berkicau seperti burung. Dan jadilah puisi.

Apa isi puisi itu? Bagaimama formatnya? Aliran apa yang perlu saya ikuti? Ternyata bukan itu yang pertama tama mengarahkan saya menulis puisi dalam aneka buku puisi selanjutnya.

Saya hanya senang mengeskpresikan diri melalui puisi. Tapi memang dari 24 buku puisi saya itu semakin terasa punya karakter tersendiri. Ini enam warna yang dominan mewarnai 24 buku puisi saya.

Pertama, umumnya puisi saya itu sebuah drama. Ia seperti cerita pendek yang dituliskan dalam bentuk puisi. Ada tokoh. Ada plot. Membaca puisi saya itu seperti membaca sebuah cerita.

Kedua, umumnya puisi saya kental isu sosial. Mayaritas, 23 buku dari 24 buku memotret batin individu dalam sebuah problema sosial. Hanya satu buku terakhir, Cintai Manusia Saja juga berisi puisi murni tentang cinta atau filsafat hidup.

Ketiga, umumnya puisi saya dilengkapi data. Mayoritas, 23 buku dari 24 buku memiliki banyak catatan kaki. Ini puisi yang seperti makalah, ada rujukannya pada kisah nyata. Bahkan kadang ada sejenis data statistik.

Keempat, umumnya puisi saya sangat panjang. Mayoritas, 23 buku dari 24 buku berbabak selayaknya naskah drama. Jika dibacakan memakan waktu mulai dari 8 menit sampai 30 menit. Hanya satu buku terakhir tersaji juga aneka puisi sangat pendek beberapa bait saja.

Kelima, semua puisi saya ditulis dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti. Walau banyak menggunakan matafor dan simbol lainnya, aneka puisi saya bukan puisi gelap, yang sulit dipahami.

Keenam, kapanpun ada kesempatan, saya senang jika puisi saya itu tak berhenti dalam bentuk puisi saja. Ia berlanjut menjadi naskah teater. Atau ia diberikan bobot teater untuk divideokan bagi pentas social media. Ada pula yang dikemas menjadi film.

Enam unsur itu semakin terasa dan menjadi karater puisi saya. Saya mencoba mendalami, mengapa karakter seperti itu yang muncul dalam puisi saya? Sisi apa dalam pengalaman, kepribadian, pilihan filsafat hidup saya yang mempengaruhi terbentuknya karakter itu?

Saya termasuk penggemar menonton film teramat sangat. Saya memiliki perpustakaan film sendiri. Sekitar 90 persen film yang menang Oscar sejak tahun pertama 1929, film pemenang festival film Cannes dan Berlin saya koleksi. Tak lupa pula aneka 100 film terbaik untuk aneka genre yang dipilih oleh AFI saya koleksi.

Dalam seminggu saya menonton paling sedikit tiga film di “bioskop mini” saya sendiri. Ini pula yang mempengaruhi saya sangat suka kisah yang diceritakan lewat drama. Akibatnya puisi yang saya tulis juga berbentuk drama, dan panjang berbabak.

Saya juga seorang peneliti. Melalui LSI, sudah ribuan survei saya buat. Itu semua soal data kuantitatif. Agaknya tradisi beropini dengan data itu mempengaruhi puisi saya pula. Umumnya puisi saya banyak catatan kaki.

Saya juga seorang aktivis. Sejak mahasiswa tiga puluhan tahun lalu saya merasa pentingnya warga ikut mengubah lingkungannya, sekecil apapun. Itu pula yang menyebabkan isu sosial kental dalam puisi saya.

Saya juga seorang kolumnis. Sejak mahasiswa saya sudah membiayai diri sendiri dengan menulis kolom. Sudah lebih dari seribu kolom saya tulis untuk aneka media nasional. Dibukukan kolom itu sudah menjelma menjadi 22 buku. Gaya penulis kolom ikut pula mempengaruhi corak menulis puisi. Saya memiilih bahasa yang sederhana, mudah dimengerti dan menghindari kerumitan ekspresi.

Saya juga seorang entrepreneur: menyukai banyak hal baru. Tak ingin saya terpenjara dalam satu konvensi atau kebiasaan generasi sebelumnya. Ini pula yang mempengaruhi bentuk puisi saya. Bukan saja saya tak peduli jika puisi saya itu puisi atau esai. Saya tak peduli pula ketika ia divideokan, apakah itu masih puisi atau sudah menjadi teater atau film?

Yang terasa pada saya adalah ingin berkicau seperti burung. Mengekspresikan saja apa yang terasa di hati. Ingin mengutarakan saja renungan yang lama mengendap. Ingin menyatakan saja kegelisahan melihat suasana.

-000-

Tak terasa pula dalam lima tahun ini saya begitu produktif berkarya. Di samping kesibukan saya menemani calon presiden, belasan calon gubernur, puluhan calon bupati/ walikota yang ingin menjadi kepala daerah.

Di samping kesibukan saya memimpin belasan perusahaan bisnis yang bergerak di bidang konsultan politik, properti, food and beverage, dan tambang.

Alhamdulilah saya masih sempat menulis 24 buku puisi, membuat dua film layar lebar, lima film pendek, 44 lukisan digital, satu lagu, puluhan video opini dalam puluhan diskusi isu sosial. Saya sempat pula menulis beberapa buku riset untuk topik politik dan psikologi.

Menulis puisi memang merupakan bagian kecil saja dari banyak aktvitas saya yang multi dimensi. Sungguhpun hanya bagian, tapi ia memberikan keindahan yang berbeda. Puisi akan terus saya selami.

Karena itu saya berterima kasih atas terselenggaranya Temu Sastrawan Asia Tenggara membahas Isu Sosial dalam 24 buku puisi saya. Ketika menulis puisi pertama kali, tak terbayang oleh saya jika buku puisi saya itu suatu ketika akan dibahas khusus oleh sastrawan Asia Tenggara.

Terima kasih yang utama saya haturkan kepada Jasni Matlani. Ia penerima Sea Write Award 2015, warga negara Malaysia, tinggal di Sabah, yang mengambil inisiatif dan menjadi ketua panitia pertemuan ini. Juga terima kasih kepada Fatin Hamama yang banyak berhubungan dengan Jasni Matlani mewakili saya.

Terima kasih kepada semua pembicara, pengisi acara, peserta yang tak bisa saya sebutkan satu per-satu.

Akan halnya apa yang menjadi isu sosial dalam puisi saya biarlah dibahas oleh para pembicara. Saya tak perlu mengulanginya lagi.

Suatu ketika Virginia Woolf berkata. Untuk menyembuhkan luka batin, ujar Woolf, sebagian pergi kepada pendeta/ulama. Namun sebagian mencari jawaban pada puisi.

Karena setiap zaman punya luka batin, selalu ada yang mencari dan menulis puisi ***

(Pengantar untuk buku Isu Sosial dalam Puisi: Temu Sastrawan Asia Tenggara Soal 24 Buku Puisi Denny JA)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.