Sabtu, 20 April 24

Korupsi dan Penyakit Mendua Hati

Korupsi dan Penyakit Mendua Hati

Oleh: Hendrajit, pengkaji geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute

 

Korupsi berjamaah di DPR terkait KTP elektronik, membuktikan secara terang-benderang bahwa di kalangan lapisan elit politik di pemerintahan maupun DPR, mengidap suatu penyakit yang sudah amat berurat-berakar, yaitu penyakit mendua hati.

Berkepribadian ganda? Saya kira tidak juga, karena secara kepribadian pada diri perorangan sang elite politik tersebut tidak mengalami perubahan kepribadian atau karakter secara bertolak belakang satu-sama lain pada waktu-waktu tertentu pada diri orang atau sosok yang sama. Artiya secara lahiriah dan secara kasat mata sosoknya tetap si dia dia juga. Lantas apa yang salah dengan dirinya yang mengidap penyakit mendua hati itu?

Pertama soal cara pandang dirinya dalam mengenali dan memberi makna peran dan kiprah dirinya baik sebagai kepala keluarga maupun tokoh masyarakat. Kedua, cara pandang dan pola pikir dirinya dalam mengartikan sebuah loyalitas dan kesetiaan.

Buat orang yang mengidap penyakit mendua hati, memainkan peran sebagai kepala keluarga dan sebagai wakil rakyat di DPR dalam pandangannya tidak ada konflik kepentingan, sehingga tidak menimbulkan kesetiaan ganda alias perselingkuhan.

Ketika seorang anggota dewan menerima uang terkait KTP elektronik, dia menerima itu tanpa ada rasa berdosa bahwa dirinya sebagai abdi rakyat telah berselingkuh terhadap kepentingan dirinya sebagai kepala keluarga.

Buat dirinya, menerima uang sogokan dari e-KTP, tidak berbenturan antara kesetiaan dan tangung jawab sebagai kepala keluarga dan drinya sebagai wakil rakyat. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah ketika dia menerima uang, dirinya sebagai wakil rakyat telah berselingkuh dengan peran lain dari dirinya, yaitu sebagai kepala keluarga.

Bagi orang-orang yang mengidap penyakit mendua hati, ketika dirinya menerima uang suap dalam kaitan e-KTP, dalam alam pemikirannya kesetiaan dirinya sebagai ayah dan suami sama sekali tidak bertabrakan dengan kesetiaan dan tanggung jawab dirinya sebagai wakil dan abdi rakyat di DPR.

Begitulah. Penyakit mendua hati hakekatnya adalah perselingkuhan namun sang pelakunya sama sekali tidak memandang itu sebagai perselingkuhan atau “main belakang.” Maka bukan suatu hal yang aneh ketika beberapa kasus tangkap tangan KPK terjadi, selalu terikut serta di dalamnya keterlibatan “pacar gelap” atau “pacar simpanan” meskipun dalam lingkup kasus korupsinya itu sendiri, peristiwa semacam itu hanyalah peristiwa-peristiwa ikutan belaka.

Persoalan besar bagi bangsa dan negara kita saat ini penyakit mendua hati bukan penyakit yang diderita secara menyeluruh oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Masalah krusialnya adala  ketika orang-orang yang memang jelas-jelas ada indikasi mengidap penyakit mendua hati, justru secara sadar dan terencana direkrut dan bahkan difasilitasi untuk menduduki dan menjabat pos-pos strategis dan penting baik di pemerintahan/eksekutif maupun legislatif (DPR).

Kenapa? Karena mendudukkan orang-orang berpenyakit mendua hati seperti itu merupakan aktor-aktor politik yang sangat tepat dan pas untuk menjalankan salah satu aspek dari pelemahan sistem kenegaraan kita, yaitu mengondisikan terciptanya sebuah sistem politik yang koruptif di semua tingkatan, baik pusat maupun daerah.

Situasi inilah yang memudahkan kepentingan-kepentingan asing menegara untuk membelokkan kebijakan-kebijakan strategis negara yang seharusnya pro rakyat menjadi pro kepentingan-kepentingan korporasi asing maupun kolaborator-kolaborator lokalnya di tanah air. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.