Jumat, 26 April 24

Keperkasaan Mak dan Dialektika Kehidupan

DEMI MERINGANKAN beban biaya hidup keluarga, terutama keperluan dapur. Mak turut bekerja membantu ayah mencari uang. Ia membanting tulang.

Bekerja menyuci pakaian tetangga, menumbuk tepung, membelah ikan, dan pekerjaan upahan lainnya.

Bahkan, mak acap diajak famili dan tetangga, bekerja di sawah mereka. Menyiang rumput atau menuai padi. Selesai bekerja, mak dikasih upah berupa gabah atau beras.

Dari penghasilan orangtuaku yang tak seberapa. Ibarat rezeki ayam, dikekas dulu baru dimakan, kami menjalani hidup dan kehidupan.

Memang, kami belum pernah merasa lapar. Kami selalu makan secara normal, tiga kali sehari makan nasi. Pakaian pun selalu ada, walaupun dari bahan yang murah dan di sana-sini banyak tambalan dan telah berwarna kusam.

Tetapi yang menyedihkan, setiap kali apa yang kami inginkan. Seperti jajanan makanan enak, mainan yang lagi musim, dan pakaian yang trend. Orangtuaku tidak bisa mengabulkannya.

Mereka selalu berdalih. “Nak, kita belum memiliki uang. Kalau pun ada, jumlahnya terbatas, harus kita penuhi keperluan yang mendesak terlebih dahulu.”

Jika orangtuaku, membelikan pakaian pada kami, yang dipilih adalah pakaian yang multi fungsi. Artinya, pakaian itu bisa dibawa untuk bergaya. Bisa juga, digunakan keperluan lain, seperti mengaji atau pakaian sekolah.

Ayah sangat jarang membelikan pakaian kaus oblong pada kami. Karena pakaian seperti itu, kata Ayah, janggal dipakai saat mengaji dan shalat.

Uniknya, kalau ayah membelikan sepatu pada kami, dibelinya yang agak kebesaran. Dua nomor lebih besar agar dapat dipakai dalam dua tahun ajaran.

Bagian ujung depan sepatu, terpaksa disumpal dengan kain. Ini dimaksudkan, untuk menghemat biaya supaya tidak membeli setiap tahun.

Sepatu kami ini, sebisanya kami hemat. Tidak sekalipun kami rendam di genangan air. Tak juga kami disepak-sepakkan ke batu atau benda keras lainnya. Pokoknya, semua pakaian kami rawat dengan baik supaya awet.

Situasi dan kondisi keluarga kami yang pendapatan banyak kurang dari pada lebih, membuat aku dan saudara-saudara sering “mencengang”.

Tak jarang, mereguk air ludah dan mengurut dada saat melihat anak sebaya kami sedang menikmati makanan enak, memakai pakaian baru yang trend atau memainkan mainan dengan asyiknya.

Namun, apa hendak dikata. Orangtua kami memang tidak berpunya. Kami harus bersabar.

Yang teramat menyedihkan, ibundaku, tidak pernahku saksikan mengenakan emas atau aksesoris sejenis, sebagaimana lazimnya kaum wanita.

Pakaian yang dikenakannya pun, sudah mulai lusuh dan warnanya pun sudah memudar.

Di pemukimanku, memang ada beberapa pekerjaan anak-anak yang bisa mendapatkan uang. Misalnya, membantu orang dewasa mengolah ikan.

Namun, ayah tidak mengizinkan kami mengerjakannya. Karena pekerjaaan itu dilakukan di pagi hari, saat sekolah berlangsung.

Ayah mengatakan, pada masa usia anak-anak lebih baik belajar. Jangan dulu bekerja. Masa belajar, tidak mungkin diulang.“Belajar diwaktu kecil, bagaikan mengukir di atas batu. Belajar dikala dewasa, bagaikan melukis di atas air,” begitu bunyi pepatah ungkap Ayah.

Apabila masa liburan atau setelah pulang sekolah, baru ayah mengizinkan kami bekerja. Kesempatan itu kadang kami gunakan berjualan kue yang dibuat tetangga, membantu ayah menjajakan ikan, mengambil upahan mengatur ikan pada jemurannya, mengeluarkan isi perut ikan, dan memperangkap kepiting bakau (Scylle seratta).

Khusus memerangkap kepiting bakau. Bagi kalangan anak-anak di kampung kami apalagi bagiku, memiliki keasyikan tersendiri.

Asyiknya, pada saat kepiting tertangkap dan mendarat di dalam perahu. Dan saat menerima uang dari hasil penjualan kepiting.

Yang lebih asyik lagi, jika kepiting ini tidak dijual tapi dikonsumsi sendiri. Kepiting direbus atau digulai.

Cita rasa kepeting ini luar biasa enak, gurih, dan penuh gizi. Maknyus. Siapa yang mencicipinya dijamin ketagihan.

Aku sipemburu kepiting berangkat menaiki perahu dengan membawa perangkap kepiting yang disebut warga namanya selanget.

Kemudian perahu didayung menyusuri sungai yang kiri kanannya ditumbuhi batang bakau dan hutan mangrove lainnya.

Di tubir sungai itulah selanget ditebar. Setelah ditunggu, sekitar 20 atau 30 minit, selanget diangkat dengan cara menarik talinya yang telah dibuat pelampung.

Pada jaring selanget itulah, tersangkut dan terperangkap kepiting. Kemudian, kepiting ini diikat. Lalu, dijual pada penampung dengan harga yang lumayan tinggi.

Selanget ini, dibuat dan dirangkai sedemikian rupa dari dua batang bilah-bilah bambu yang disilang dan dipasang jaring sekelilingnya dan dibuat pemberat. Kemudian di jaring ini, dilengket umpan dan dibadannya diberi tali yang diikatkan pada pelampung.

Sekarang alat tangkap kepiting selanget telah mengalami metamorfosis atau perkembangan bentuk yang signifikan malah lebih praktis. Dan masyarakat memberi nama dengan seruwo atau raban.

Ia terbuat dari lingkaran rotan dan diameternya sebesar pelak kereta honda. Di lingkaran itu dibuat jaring mengerucut dan dikasih lubang sebagai pintu.

Melalui pintu itulah kepiting masuk setelah mencium bau amis umpan yang dipasang pada jaring pintu.

Seruwo ini, tidak ditebar di air dalam tetapi cukup di air dangkal dan dikasih tanda dengan pancang. Setelah dibenam selama semalam, paginya baru diangkat. Begitu diangkat bergelantunglah kepiting.

Kali lain, kami memancing ikan di steker tepian sungai. Ikan yang didapat bermacam-macam jenisnya.

Ada belanak, marang, kapu-kapu, dan jenis lainnya. Ikan yang didapat, kami goreng atau bakar dan dijadikan lauk. Lalu dimakan dengan nasi atau dikudok begitu saja. Rasanya lezat sekali.

Dari pekerjaan-pekerjaan itu, kami mendapatkan uang dan kesenangan. Tetapi, uang itu tetap saja hanya untuk melepaskan jajan sehari-hari.

Kemudian sisanya, dianjurkan orangtua untuk disimpan dalam tabung bekas kaleng susu. Dengan uang tabungan itu nanti, kami akan bisa membeli hal-hal yang sifatnya sangat penting dan mendesak.

Dari hidup yang dilakoni ayah sebagai muge ikan dan ibu membantu meringankan beban keluarga, serta kreatifitas warga mencari nafkah saya menyaksikan drama kehidupan wong cilik: orang kelas bawah yang menopang hidup dengan keberanian, rasa syukur, dan tekad yang membara. Tak ada keluh-kesah. Tidak ada pula muncul gurat wajah kekecewaan dan keputusasaan.

Kami sangat memelihara harapan baik dan memiliki kemauan untuk menjalani dan mengubah hidup.

Orangtuaku telah mencontohkan padaku, bahwa situasi pas-pasan tidak membuat orangtuku frustrasi atau diam, mereka tetap kreatif.

Sedikit demi sedikit, aku mulai mengerti dan menyimpulkan bahwa hidup itu tidak mudah. Orangtua dan orang-orang sekelilingku memerlihatkan dengan jelas betapa hidup identik dengan perjuangan.

Kerja keras yang dilakukan ayah dalam upaya agar hidup kami bisa survive, perjuangan ibu yang membantu ayah dalam mengelola rumah tangga plus cara-cara warga mencari nafkah, menjadi sumber pelajaran, inspirasi, dan motivasi bagiku untuk hijrah pada kehidupan yang lebih baik.

Guratan-guratan peristiwa masa lalu aku jadikan cermin untuk perbaikan kehidupan aku di masa depan. Karena itu, aku berkeyakinan, masa depan aku, adalah hasil dari pemikiran masa lalu yang aku rasakan dan saksikan dalam lingkungan.

Apa yang membuat aku seperti sekarang sebenarnya adalah hasil dari dialektika kehidupan yang aku alami masa lalu. (Sadri Ondang Jaya, Sastrawan, berdomisili di Singkil, Aceh)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.