Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman, Mantan Anggota Komisi Hukum DPR dan Wakil Sekretaris Pemimpin Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum PBNU
Jaksa Penuntut Umum (JPU) amatiran. Surat dakwaan dan tuntutan bertolak belakang. Di dakwaan, JPU mendakwa Ahok dengan Pasal 156 a huruf a (ancaman hukuman 5 tahun). Di tuntutan oleh JPU, Pasal 156 a tak terbukti, primernya. Tapi, kata JPU, yang terbukti adalah Pasal 156 (subsidernya).
JPU juga curang. Tuduhan dari Penyidik ada dua: melanggar pasal 156 a huruf a, dan pasal 28 UU ITE ujaran kebencian. Tak ada Pasal 156. Oleh JPU, pasal 28 UU ITE diganti dengan Pasal 156 (penistaan antar golongan). Kapan ada masalah antar golongan? Tak ada! Golongan apa dengan golongan apa? Ahok bukan golongan Pak Jaksa. Emang Syiah versus Sunny, atau Islam Gafatar versus Islam Agama. Gitu aja sampean repot. Ngaco berat. Kalau sudah terbukti pernyataan kebencian, ujarannya menjadi ujaran kebencian pada Pasal 28 UU ITE. Itu otomatis Pak Jaksa. Ayak-ayak wae.
JPU menuntut hukuman percobaan pula. Tak pernah ada ancaman hukuman blasphemi seperti itu sepanjang Indonesia merdeka.
Untuk menutupi rekayasa, dihadirkan jaksa yang jadi JPU di kasus Jessica agar publik percaya. Tetap distrust, pak bro. Busuk. Menghina intelektualitas hukum itu.
Pekan depan, Humprey Djemat minta vispraak alias bebas murni. Dan, majelis mengabulkannya. Selesai fiat justicia ruat coelloem. Luar biasa Ahok. (***)