Jumat, 19 April 24

Iklan Meikarta

Iklan Meikarta

Oleh: Teuku Gandawan, Direktur Strategi Indonesia™

Saya tidak habis pikir kenapa di era tahun 2017, yang katanya era “Jokowi New Hope” ini beredar video-video jahat yang terang benderang merusak citra Indonesia. Dan hebatnya seolah mendapat dukungan pihak-pihak yang berkompeten.

Masih ingat video rasis yang dikeluarkan oleh tim pemenangan Ahok saat Pilkada Jakarta? Saat itu ramai-ramai banyak pihak mempersoalkan video rasis ini dengan hashtag #AhokJahat. Jelas sekali Ahok jahat, karena memfitnah dan mengadu domba. Video ini segera ditarik dari peredaran, karena ternyata jadi blunder bagi kampanye Ahok. Namun. konyolnya saat itu Ahok sama sekali tidak didiskualifikasi oleh KPUD Jakarta. Padahal aturan tentang hal ini sangat jelas, karena video tersebut merupakan rilid resmi tim kampanyenya

Kemudian meluncur pula video konyol yang datang dari festival yang justru diselenggarakan oleh Polri. Bayangkan, Polri yang harusnya menjadi wasit yang adil atas berbagai potensi SARA dan pecah belah rakyat, malah jadi pihak yang mendukung video bodoh “Kau Adalah Aku Yang Lain”. Bahkan Polri membela video yang menistakan pengajian, menistakan rumah sakit dan menistakan mayoritas publik itu  seolah tidak punya nurani.

Dan kini, sudah berlangsung beberapa minggu, iklan video Meikarta bergentayangan di berbagai televisi. Isinya tentang betapa mencekamnya hidup di luar Meikarta. Seolah hanya di Meikarta ada kedamaian dan peradaban. Ditambah dengan tulisan beli hunian hanya di Meikarta. Konyolnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang biasanya atau katanya kritis memonitor acara televisi, terdiam dalam sunyinya. Mereka enggan untuk perduli, bahwa bahkan anak-anak kini pun dibodohi untuk alasan tempat tinggal.

Bagaimana bisa kita mengiklankan ke dunia internasional tentang “Wonderful Indonesia” sebagai promosi turisme kalau sehari-hari kita terus-menerus mencecoki dan menceritakan kepada publik betapa tak amannya negara ini sejak presidennya Jokowi. Kita tak pernah mengalami masa di mana rakyat begitu hebat dibiarkan siap bertarung antar kelompok seperti sekarang ini. Haruskah kita menyatakan jargon seperti yang kerap kita dengar, “Pertama kali dalam sejarah, presiden membiarkan konflik horizontal terus-menerus, yakni pada masa Presiden Jokowi”. Perlukah begitu?

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.