Rabu, 24 April 24

Hobi Membohongi Rakyat

Hobi Membohongi Rakyat

Oleh: Derek Manangka, Wartawan Senior

 

Ketika kuliah di Perguruan Tinggi Publisistik (PTP) Jakarta, sebuah lembaga pendidikan swasta yang mengajarkan teori-teori menjadi wartawan, ada satu mata kuliah yang paling tidak menarik, yakni Kebijakan Pemerintah. Setidaknya untuk saya pribadi.

Mata kuliah ini antara lain mengajarkan tentang apa dan bagaimana peran Bank Dunia (World Bank atau IBRD -International Bank for Reconstruction and Development) , Dana Moneter Internasional (IMF – International Monetary Fund), IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia), dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank).

Dosennya, Pak Siregar. Lupa nama lengkapnya. Yang paling saya ingat Pak Siregar sehari-hari bekerja di Bank Indonesia. Dan saat itu Pak Siregar sudah mengendarai mobil, manakala datang ke kampus.

Saat itu harga mobil tergolong masih mahal, membelinya harus “indent”. Dan orang Jakarta yang punya mobil, boleh dikatakan, masih bisa dihitung dengan jari.

Pak Siregar kalau sudah memberi kuliah sangat serius. Dia ramah, sekalipun nyaris tidak pernah senyum.

Mata kulah ini tidak menarik bagi saya, karena antara lain tidak ada buku referensnya. Tidak ada “textbook” , bukunya yang bisa dibeli di toko buku “Gunung Agung” atau “Indira” – penerbit terkenal di zaman itu.

“Gramedia”, waktu itu belum ada atau sudah ada mungkin, tapi belum menjadi rujukan sebagai toko buku yang lengkap.

Jadi semua kuliahnya harus dicatat. Tidak jarang, untuk mencatat penjelasan-penjelasannya, banyak yang tak tercatat atau ketinggalan.

Tulisan pun menjadi compang-camping – yang sering kali setelah usai kuliah dan baca kembali catatannya, saya sendiri tidak mengerti dengan apa yang saya tulis.

Yang membuat mata kuliah tersebut menjadi agak “ringan”, karena materinya sering diulang pada dua atau tiga pekan ke depan. Tapi hal ini baru saya sadari belakangan.

Karena kuliahnya malam hari – maklum PTP tergolong lembaga pendidikan ‘miskin’ – hanya mampu menyewa ruangan di gedung SMA Kanisius, Jakarta Pusat, di saat-saat tertentu, terkadang diganggu oleh rasa mengantuk yang sangat berat.

Yang membuat mengapa rasa mengantuk sering mengganggu, karena menulis cepat untuk apa yang disimak dari kuliah Pak Siregar, cukup melelahkan.

Harus peras otak dan konsentrasi tinggi. Sementara ruang kuliah tidak ada AC. Pendingin ruangan ketika itu masih barang mewah.

Di saat yang letih itu, saya sering merenung atau bertanya dalam diri sendiri, apa manfaat dari mata kuliah tersebut ?

Untuk apa mau menjadi wartawan, tapi yang dipelajari, ilmu yang tidak ada hubungannya dengan dunia kewartawanan ? Mengapa saya pilih wartawan sebagai profesi?

Sementara itu, di era itu – untuk menjadi wartawan – apakah di surat kabar atau majalah tidak mudah. Media cetak khususnya, masih dalam hitungan di bawah 10 jari. Jumlah media, tidak banyak pilihan.

Mau pindah kuliah, supaya bisa ganti profesi, sudah terlanjur kehilangan waktu selama 4 tahun. Waduh sungguh merisaukan.

Baru pada tahun 1977, ketika harian “Sinar Harapan” menugaskan saya sebagai peliput kegiatan di DPR-RI, Senayan dan sering mengikuti rapat kerja Komisi APBN dan Komisi Keuangan di lembaga legislatif itu, mata kuliah tentang Kebijakan Pemerintah tersebut, saya rasakan manfaatnya.

Karena dalam penjelasan para menteri digambarkan tentang kerja sama Indonesia dengan lembaga-lembaga internasional di atas dan ditunjukkan contoh-contoh proyek pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.

Anggota-anggota DPR RI zaman itu, kelihatannya juga masih banyak yang ‘bego’ seperti saya. Hanya saja sebagai politisi, mereka harus menyembunyikan ‘kebegoan’ mereka, dengan cara tidak selalu memberi komentar.

Atau kalau bertanya, pertanyaan pun seperti seorang mahasiswa bertanya kepada dosen. Karena standar pengetahuan menteri saat itu, tergolong cukup tinggi.

Dalam ingatan saya, kalau sudah bicara soal ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan kerja sama ekonomi internasional, hanya beberapa nama anggota dewan saja yang bisa disebut.

Dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) hanya Rachmat Mulyomiseno dan Chalik Ali. Keduanya bergelar doktorandus (Drs). Keduanya sudah almarhum seperti halnya Menteri Widjojo, Ali Wardhana dan Radius Prawiro.

Berikutya barulah Hamzah Haz – yang kelak di tahun 2001, menjadi Wakil Presiden RI, berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden.

Namun saat itu titel akademinya baru Bsc atau sarjana muda. Pak Haz di mata saya, selalu bersaing dengan Pak Chalik Ali. Mengapa begitu ?

Biasanya kalau Chalik Ali sudah memberi keterangan pers, Pak Haz akan ‘mengejar-ngejar’ saya dengan press release yang sudah ditulis dengan mesin ketik. Belum menggunakan komputer.

“Tolong yah Derek, ini tambahan keterangan dari saya,” ujar Pak Haz politisi asal Kalimantan Barat itu, ramah, sambil memberikan lembaran kertasnya.

Tak jarang saya bingung bagaimana meladeni kedua politisi dari PPP ini. Sebab dua-duanya baik, seperti tidak ada persaingan, tapi dari keterangan pers mereka, tak jarang ada yang berseberangan.

Sekilas, kesan saya, pernyataan-pernyataan Chalik Ali lebih frontal terhadap pemerintah (Orde Baru). Sementara Pak Haz, agak soft (lunak).

Disusul oleh Johny Simanjuntak dan Jakob Tobing, keduanya dari Golkar. Dan seorang lagi anggota Golkar lainnya yang saya tiba-tiba saat mau menulis, lupa namanya. Yang pasti dia dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan dan setelah DPR RI dia kemudian terpilih sebagai anggota Bepeka (Badan Pemeriksa Keuangan).

Dari PDI (Partai Demokrasi Indonesia) – belum ada kata “Perjuangan”, praktis tidak ada ekonomnya. Lagi pula jumlah kursi partai ini, kalau tidak salah hanya 27.

Kalaupun PDI bersuara, paling banter Drs. Soerjadi yang kelak menjadi Ketua Umum PDI di tahun 1986. Dan itupun karena Soerjadi menduduki posisi Ketua Komisi APBN. Jadi bukan karena dia seorang ekonom.

Parpol ketika itu hanya berjumlah tiga : PPP, Golkar dan PDI. Sementara fraksinya ada empat. Selain yang tersebut sebelumnya, ditambah dengan Fraksi ABRI (Angkatann Bersenjata Republik Indonesia atau TNI).

Sekalipun saya hanya menjadi pencatat kemudian menuliskannya dalam bentuk berita di harian sore tempat saya bekerja, tetapi ketika menyusun beritanya, saya gunakan perspektif, bahwa pembaca yang akan membaca berita saya adalah mahasiswa seperti saya yang ketika kuliah di PTP, tidak tertarik mengenai isu-isu terebut.

Jadi berita yang saya susun, harus dibuat sedemikian rupa, menarik dan dimengerti oleh pembaca.

Dalam arti, penjelasan-penjelasan yang bersifat akademis yang diberikan oleh ekonom-teknokrat seperti Prof.Dr.Widjojo Nitisastro (Ketua Bappenas), Prof.Dr. Ali Wardhana (Menteri Keuangan) atau Drs. Radius Prawiro (Gubernur Bank Indonesia), haruslah saya kemas “membumi”.

Saya bersyukur, sekalipun pengetahuan saya tentang ekonomi dan Kebijakan Pemerintah sangat minim, tetapi liputan saya tidak pernah menimbulkan masalah.

Artinya, tidak ada berita yang menyangkut Kebijakan Pemerintah – dan yang dirumuskan oleh para profesor kaliber Pak Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana dan Radius Prawiro – lantas terpelintir atau saya pelintir. Baik sengaja atau secara “human error”.

Moral dari cerita nostalgia ini, saya ingin menyampaikan sekaligus menggugat soal penyebaran informasi belakangan ini yang banyak dipelintir oleh politisi ataupun pekerja media.

Seperti topik tentang jumlah hutang luar negeri, dominasi asing, BLBI (Bantuan Likwiditas Bank Indonesia), Freeport dan Subsidi BBM.

Kemudian isu politik seperti PKI dan konglomerasi di Indonesia yang dikuasai oleh etnis China atau Tionghoa. Demikian juga isu soal Pancasila serta persoalan mayoritas versus minoritas dalam dunia agama yang bahasa kekiniannya intoleransi.

Semua isu ini, menurut saya tidak relevan jika digunakan untuk menohok pemerintahan sekarang – rezim Joko Widodo. Apalagi mau dikesankan isu-isu di atas menjadi masalah bangsa, yang baru dan tidak bisa diselesaikan – akibat ketidakmampuan Joko Widodo, wong “ndeso” yang jadi “lurah” Indonesia.

Lagi pula akan sangat mengada-ada kalau mau dipersepsikan, bahwa semua isu akan selesai dengan sendirnya, jika yang jadi Presiden di tahun 2019, sosok yang memiliki pengalaman di dunia militer, berpendidikan luar negeri ……. Dstnya.

Semuanya merupakan isu lama yang didaur ulang. Dan Joko Widodo kebetulan Presiden yang “ketiban pulung”.

Sudah begitu di zaman demokrasi, siapa saja bisa mengeritik, membully dan memfitnah.

Yang gak paham persolan pun begitu vokal dan sok hebat.

Yang tidak jujur dan sportif, yang mendaur ulang isu-isu ini. Sebab kelihatannya pendaur ulang ini bagian dari kekuasaan lama yang ingin kembali berkuasa.

Dan yang membuat saya hanya bisa geleng-geleng kepala, karena akhirnya saya melihat ungkapan lama bahwa politik itu kotor, memang ada benarnya.

Konkretnya yang membuat kekisruhan sebuah bangsa, biasanya para politisi yang berpikiran kotor. Mereka tidak punya rasa bersalah apalagi berdosa, sekalipun secara sadar mereka membohongi rakyat.

Saran saya, kalau boleh, mari kita buang kebiasaan dan hobi membohongi rakyat.

Sadarlah – kalau mau menjadi penguasa, jangan hanya bermodalkan kemampuan atau hobi membohongi rakyat. Kelak, suatu waktu, ‘belang’ anda akan ketahuan. Di saat itu rakyatlah yang akan menjatuhkan anda. Sekalipun anda berada di puncak kekuasaan.

Mari kita bulatkan tekad untuk membuang jauh-jauh hobi membohongi rakyat.

Teliti dan selidik, politisi atau orang ambisi berkuasa yang hobi membohongi rakyat. *****

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.