Jumat, 19 April 24

Hikam: Pendukung Kudeta Keliru Simpulkan Pemerintah Erdogan Alami Krisis

Hikam: Pendukung Kudeta Keliru Simpulkan Pemerintah Erdogan Alami Krisis

Jakarta, Obsessionnews.com – Apa buah dari kudeta militer yang gagal di Turki?  Hitung-hitungan sementara jumlah korban adalah 265 korban tewas, 104 di antaranya para penyerang, 1.440 korban luka, dan 2,839 orang ditahan. Aksi kudeta yang konon dilancarkan oleh faksi-faksi militer dalam Angkatan Darat dan Angkatan Udara Turki Jumat (15/7/2016) malam tersebut bisa diatasi oleh pemerintah Recep Tayyip Erdogan kurang dari 24 jam, Sabtu (16/7) dini hari.

Aksi publik yang marah kepada tentara pelaku kudeta.
Aksi publik yang marah kepada tentara pelaku kudeta.

Dunia menyaksikan kudeta militer itu berujung dengan kegagalan karena perlawanan rakyat, yang  muncul sejak aksi kudeta dilancarkan. Terjadi di seluruh negeri secara massif dan spontan: di jalanan, gedung-gedung, dan ruang publik lain.

Pihak elite militer sendiri akhirnya menolak aksi kudeta yang dilakukan oleh sebagian faksi di dalamnya. Demikian juga partai politik oposisi terkuat, Partai Demokrasi Rakyat (HDP), menentang kudeta tersebut karena dianggap sebagai tindakan anti demokrasi.

Perkembangan pasca-kudeta menunjukkan pemerintah Erdogan menuding seorang ulama Sunni yang kini dalam pengasingan di Amerika Serikat (AS), Fethulleh Gulen, sebagai aktor intelektual di balik aksi tersebut. Gulen dikenal luas di seluruh dunia sebagai pemimpin ormas dan gerakan sosial keagamaan yang  populer disebut dengan Gerakan Gulen (Gulen Movement, GM).

Kendati bukan organisasi politik, GM memang memiliki pengaruh kuat di kalangan kaum tradisionalis Muslim, militer, kelas menengah, dan kelompok nasionalis sekular di Turki. Sikap oposisi Gulen menyebabkannya dianggap sebagai lawan politik Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang ideologinya seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir itu. Pihak GM sendiri menolak tudingan Erdogan terlibat dalam aksi kudeta yang gagal tersebut.

Mengapa kudeta militer di negeri Aya Sophia tersebut gagal?

Muhammad AS Hikam.
Muhammad AS Hikam.

Pengamat politik yang juga dosen Universitas Presiden, Bekasi, Jawa Barat, Muhammad AS Hikam, berpendapat ada beberapa faktor utama:  Pertama, faksi militer pelaku kudeta tidak kompak sehingga tidak memiliki kesiapan melakukan mobilisasi dukungan baik internal maupun dari rakyat. Hal ini berbeda dengan kudeta militer pada 1980-an.

Kedua, pendukung kudeta keliru menyimpulkan bahwa pemerintah Erdogan sudah mengalami krisis sehingga rakyat bisa dimobilisasi mendukung kudeta. Eskalasi serangan bom dari teroris Islamis jihadis seperti ISIS dan Al-Qaeda, serta gerakan separatis Kurdi, dianggap sebagai modal penting untuk meraih simpati rakyat.

Ketiga, kelompok militer pendukung kudeta meremehkan loyalitas rakyat terhadap sistem demokrasi di Turki yang semakin berakar selama lebih dari dua dekade, serta keberhasilan Pemerintah Erdogan  dalam membangun perekonomian nasional Turki sejak berkuasa pada 2003.

Keempat, kelompok pelaku kudeta mengabaikan kondisi lingkungan strategis global, khususnya kepentingan AS dan Uni Eropa yang sangat besar  terhadap Turki yang stabil dalam rangka menghadapi masalah strategis dan keamanan di kawasan, khususnya perang melawan terorisme di Eropa dan Timteng.

“Namun demikian, kudeta militer yang gagal tersebut tidak bisa diabaikan dampaknya oleh pemerintah Erdogan,  dan seharusnya menjadi pelajaran baginya dalam menjalankan sistem politik demokrasi. Sehingga tidak mengarah pada otoriterisme sebagaimana ditengarai sedang terjadi di Turki,” kata Hikam dalam keterangan tertulisnya, Minggu (17/7/2016).

Mantan peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini melanjutkan, jika pemerintah Erdogan melakukan represi besar-besaran dalam rangka pembersihan terhadap lawan-lawan politiknya, hal  itu membuka terjadinya politik balas dendam dan anarki dalam masyarakat yang merusak stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan negeri tersebut.

“Godaan melakukan kudeta militer atau upaya-upaya pengambilalihan kekuasaan yang tidak demokratis lainnya bisa muncul lagi, mengingat sejarah politik negeri ini yang masih belum lama meninggalkan praktik-praktik seperti itu,” kata Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1999-2001) ini. (arh, @arif_rhakim)

Post source : Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.