Sabtu, 27 April 24

Heboh Makar: JK, Gatot, dan Ahok

Heboh Makar:  JK, Gatot, dan Ahok
* Aksi Bela Islam 1 di Jakarta, Jumat (14/10/2016). (Foto: Edwin B/Obsessionnews.com)

Oleh Edward Marthens*

Kapolri Tito Karnavian menuding ada rencana makar di balik Aksi Bela Islam (ABI) jilid 3. Ketika didesak wartawan tentang tudingannya itu, Tito mengatakan, silakan baca di Google. Keruan saja pernyataan petinggi Polri itu jadi bulan-bulanan di media sosial. Berbagai meme terkait makar dan Tito pun menjejali dunia maya.

Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI berkali-kali menegaskan, aksi yang insya Allah bakal digelar 2 Desember 2016 itu sama sekali tidak berniat makar. Bahkan, karena agenda aksi adalah zikir, doa, dan shalat Jumat, Ketua GNPF ustadz Bahtiar Nasir menyebutnya sebagai aksi superdamai. Tagline aksi adalah bersatu dan berdoa untuk negeri. Tuntutannya sama dengan ABI 1 dan 2, yaitu tangkap penista al Quran. Namun pada ABI 3, tuntutan sedikit ditambah menjadi Tangkap Penista al Quran dan Pelindungnya!

Memang sangat memprihatinkan, bagaimana mungkin pemimpin tertinggi Polri, yang tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban, justru memicu teror dan keresahan publik. Bagaiman mungkin dia bisa menebar tuduhan seram berdasarkan informasi dari Google. Mesin pencari canggih ini ternyata, diam-diam, menjadi ‘konsultan sekaligus intel’ Kapolri Tito. Hehehe…

Padahal, Menteri Pertahanan Riymizard Ryacudu memastikan tidak mendengar adanya rencana makar di balik ABI 3. Begitu juga, para intel Kemenhan tidak memberikan secuil pun info tersebut kepada bos mereka.

Tepisan senada juga datang dari Menkopolhukam, Wiranto. “Bukankah pak Tito gak percaya medsos?” ujar Ketum Partai Hanura ini, seperti menyindir Kapolri.

Meski dua menteri sudah menepis indikasi makar, toh Tito bagai tidak peduli. Bahkan, bagai paranoid, dia memerintahkan seluruh jajarannya dari Polda hingga Polsek, untuk menghalang-halangi massa dari daerah ke Jakarta untuk ikut aksi ABI 3. Seperti tidak cukup, aparatnya juga mengancam pengusaha bus dan angkutan umum, agar tidak membawa penumpang peserta aksi ke Jakarta. Ancamannya tidak main-main, pencabutan izin usaha. Bukan main!

Sebagai aparat penegak hukum, Tito dan jajarannya pasti tahu benar, bahwa tindakannya menghalang-halangi dan mengancam peserta unjuk rasa adalah sebuah pelanggaran terhadap konstitusi dan UU. UU no 9/1998 tentang unjuk rasa bahkan menyebut perilaku itu sebagai tindak pidana.

Tapi, begitulah hukum di negeri ini. Hukum hanya berlaku bagi orang kecil. Tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Lebih ironis lagi, hukum hanya berlaku bagi publik. Sedangkan bagi para penegak hukum, hukum boleh dimasukkan ke tong sampah. Lagi pula, siapa yang bakal menyeret para penegak hukum yang melanggar hukum? Mungkin begitu yang bertengger di benak mereka.

JK dan Panglima TNI?

Tapi, baiklah, anggap saja tuduhan Tito benar adanya. Ada rencana makar di balik Aksi Bela Islam jilid 3. Pertanyaannya, siapa pelakunya?

Jika berpegang pada ‘ilmu polisi’ dalam menguak aksi kejahatan, mereka akan mencari (atau menduga-duga) motif dari tindak kejahatan itu. Dari motif ini, kemudian ditelusuri lagi, siapa yang (paling) diuntungkan atas kejahatan yang terjadi.

Pada konteks makar, motifnya cukup jelas. Mengambil alih kekuasaan. Lalu, siapa yang (paling) diuntungkan dengan pengambilalihan kekuasaan?

Menurut konstitusi kita, jika Presiden meninggal atau berhalangan tetap, maka Wakil Presiden naik menggantikannya. Nah, sampai di sini, apa Tito mau menyebut Wapres Jusuf kalla (bisa) sebagai dalang di balik upaya makar. Bukankah JK akan sangat diuntungkan jika Jokowi terjungkal? Jadi ingat kisah Brutus yang dikhianatis Julius Caesar, nih…

Dengan logika seperti ini, kita tunggu apakah Tito juga akan sigap memeriksa JK? Atau, malah wong Palembang yang satu ini maju lebih jauh, langsung menangkap dan menahan JK karena diindikasikan sebagai dalang makar? Bukankah itu yang Tito lakukan terhadap Hidayat pengunggah video Kapolda yang memprovokasi massa untuk memukuli anak-anak HMI saat aksi bela Islam jilid 2 yang lalu? Bukankah itu pula yang Tito lakukan terhadap Buni Yani karena mengunggah cuplikan ucapan Ahok yang menista al Quran di Kepulauan Seribu?

Selanjutnya, jika makar berlanjut pada kerusuhan yang meluas, keamanan negara pun terancam. Maka, tentara akan mengambil alih keadaan. Tentara akan mengambail alih kekuasaan untuk melakukan segala hal yang dianggap perlu untuk mengembalikan keamanan. Begitulah yang akan terjadi.

Pada konteks ini, orang atau pihak lain yang diuntungkan jika Jokowi terguling adalah Panglima TNI, Gatot Nurmantyo. Pertanyaan berikutnya, apakah Kapolri akan segera memeriksa Gatot dengan tuduhan dianggap sebagai aktor di balik rencana makar? Atau, apakah Tito akan langsung menangkap dan menahan Panglima TNI sebagaimana dilakukannya kepada Hidayat dan Buni Yani?

Atau, seperti yang dilakukannya saat menjadi Komandan Densus 88 dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT)? Tito memerintahkan anak buahnya langsung menembak mati para ustadz yang distempeli terduga teroris? Padahal, mereka baru terduga teroris. Sekali lagi, terduga!

Semburan lidah api Tito tentang makar ini memang tidak bisa dianggap main-main. Itulah sebabnya, anggota DPR Muhammad Syafi’i menyebut tudingan tersebut secara tidak langsung menuduh TNI.

“Kalau menuduh ada makar, artinya menuduh TNI terlibat. Dan saya tidak percaya karena TNI jelas memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Panglima TNI dalam ILC, tegas mengatakan dirinya tetap panglima bukan berhasrat jadi presiden,” ujar politikus Partai Gerindra kepada wartawan, Rabu (23/11).

Tangkap Ahok!

Dua asumsi tadi memang sekadar asumsi. Bisa salah. Tapi, bisa juga benar. Hanya Allah SWT (dan para peniat makar) yang tahu kebenarannya.

Tapi terlepas dari semua itu, bagaimana dengan ummat Islam? Apakah benar ummat Islam akan makar lewat ABI 3? Untuk pertanyaan ini, cukuplah pernyataan Menhan sebagai jawaban. “Kalau makar bawa senjata. Kalau bawa sajadah dan al Quran itu bukan makar.”

Nah, sekarang bagaimana sikap ummat Islam bila ada yang mau makar? Belajar dari ilmu polisi soal ‘motif dan siapa yang diuntungkan’ tadi, maka sepertinya ummat Islam sudah punya sikap. Pertama, kalau (sekali lagi; kalau) Jusuf Kalla yang berada di balik rencana makar, maka ini sama saja ummat Islam membiarkan JK mendapat durian runtuh sambil duduk di teras rumah. Artinya, JK bakal memperoleh rejeki sangat besar tanpa harus bersusah-payah.

Jika ini terjadi, belum tentu ummat Islam ridho. Maklum, dalam sejarah Indonesia modern (1945, 1966, 1998) ummat Islam selalu saja kebagian jadi tukang dorong mobil mogok. Hanya kebagian asap knalpot dan cipratan lumpur dan oli muncrat! Mosok iya, ummat Islam mau saja terjerembab di lubang yang sama untuk kesekian kalinya.

Kedua, jika tentara mengambil alih kekuasaan, ummat Islam juga belum tentu rela. Berkaca dari pengalaman dari seantero penjuru dunia, bila tentara yang berkuasa, mereka akan bertindak otoriter. Apalagi, bukan rahasia lagi, bahwa hingga kini banyak tentara kita yang selalu dan masih berkiblat pada Amerika. Ummat Islam tentu tidak mau penguasa negaranya menjadi kepanjangan tangan Amerika!

Lelah juga ya berandai-andai dengan tudingan makar yang dikobarkan Tito. Jadi, biar ga ribet, ada satu solusi pamungkas untuk keluar dari kehebohan ini. Yaitu, selesaikan sumber kegaduhan. Tangkap dan penjarakan Ahok!

Dengan cara ini, tidak ada lagi Aksi Bela Islam 3 yang dianggap seram oleh Tito dan aparatnya serta mereka yang memang hatinya benci terhadap Islam. Dengan menangkap dan memenjarakan Ahok, Tito dan aparatnya tidak perlu lagi melanggar konstitusi dan UU karena menghalang-halangi dan mengancam peserta aksi. Dengan menangkap dan memenjarakan Ahok, tidak ada lagi saling curiga di antara anak bangsa tentang rencana makar dan siapa pelakunya.

Dengan menangkap dan memenjarakan Ahok, energi dan sumber daya seluruh bangsa tidak terkuras hanya untuk membela dan melindungi seorang penista agama orang lain. dengan menangkap dan memenjarakan Ahok, kita bisa kembali merajut harmoni dan sinergi seluruh potensi untuk membangun negeri. Membangun Indonesia agar lebih baik. Indonesia yang digdaya dan rakyatnya sejahtera. Aamiin… (*)

*) Edward Marthens, pekerja sosial, tinggal di Jakarta

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.