Guruh: Orba Sengaja Kubur Fakta tentang Bung Karno

Jakarta, Obsessionnews – Keluarga Presiden pertama Indonesia Ir. Sukarno atau Bung Karno menuding Orde Baru (Orba) pimpinan Presiden kedua Indonesia Soeharto sengaja mematikan atau mengubur dalam-dalam segala fakta tentang Bung Karno dan keluarganya, bahkan juga ajaran-ajaran nasionalisme yang digagas Bung Karno. (Baca: Guruh Ungkap Bung Karno Lahir di Surabaya) Hal itu dikatakan Guruh Soekarnoputra, putra bungsu Bung Karno dari pernikahannya dengan Fatmawati, saat berpidato dalam acara penerbitan buku Di Bawah Bendera Revolusi (Jilid II) di Gedung Pola, Jakarta, Sabtu (6/6/2015). Acara itu digelar untuk merayakan 114 tahun kelahiran Bung Karno. Dalam kesempatan itu Guruh mengoreksi atau meluruskan terkait pemahaman masyarakat yang dianggapnya keliru tentang Bung Karno. Salah satu di antaranya adalah tentang beberapa pihak yang menyebutkan pemerintahan Sukarno adalah zaman Orde Lama. Guruh membantah pengertian tersebut. Menurutnya, penyebutan Bung Karno adalah Orde Lama (Orla) itu suatu penghinaan. Bung Karno sendiri anti Orla, karena Orla adalah keadaan pada saat manusia Indonesia masih dengan mental dijajah atau zaman kolonialisme. “Kalau mau bilang ya sebut saja pemerintahan masa Bung Karno, bukan pemerintahan masa Orla," katanya. Berbagai pemahaman yang keliru tentang Bung Karno tersebut, tambah anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) DPR ini, dikarenakan praktik politik kaum neokolonialisme dan imperialisme (nekolim) pada masa Orba. Bahkan wasiat Bung Karno untuk minta dimakamkan di daerah Priangan, Jawa Barat, pun tidak pernah terlaksana karena Soeharto memerintahkan agar Bung Karno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Bung Karno dalam wasiatnya sering bilang kalau dia meninggal ingin dimakamkan di Priangan, di mana banyak pegunungan dan sungai mengalir. Dia cukup dikuburkan di sebuah pohon rindang. Makamnya tidak usah diapa-apakan, tidak usah diberi nisan dan tulisan macam-macam. Cukup batu sederhana dengan tulisan Sukarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Dipersulit Berbisnis dan Berpolitik Pernikahan Bung Karno dan Fatmawati menghasilkan lima anak, yakni Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Sejak kejatuhan Bung Karno akibat pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965 hingga Sang Proklamator meninggal dunia tahun 1970, rezim Orba mengucilkan keluarganya. Soeharto dan kroninya gencar menyebarkan fitnah terhadap Bung Karno. Pemerintahan Orba mempersulit keluarga Bung Karno berkiprah di bidang bisnis dan politik. Di antara lima anak Bung Karno yang mewarisi ilmu politik Bung Karno adalah Guntur. Pada Pemilu 1971 yang merupakan pemilu pertama di era Orba, Guntur menjadi juru kampanye (jurkam) Partai Nasional Indonesia (PNI), partai yang didirikan ayahndanya. Itulah penampilan pertama dan terakhir Guntur di panggung politik. Putera sulung Bung Karno itu dicekal berpolitik karena dianggap berbahaya. Tahun 1973 Soeharto menyederhanakan jumlah partai politik (parpol) menjadi tiga buah, yakni Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar) menjadi Golkar, parpol-parpol berbasis agama Islam, yakni Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Pamusi), Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan parpol-parpol berhaluan nasional dan agama non Islam, yakni PNI, Partai Murba, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam lima kali pemilu di era Orba, yakni Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, dan Pemilu 1997, Golkar yang didukung pemerintah selalu menjadi juara, diikuti PPP dan PDI. Untuk mendongkrak perolehan suara PDI, pada Pemilu 1987 parpol pimpinan Soerjadi ini merekrut dua anak Bung Karno, yakni Megawati dan Guruh, menjadi calon anggota legislatif (caleg). Soeharto mengizinkan karena menganggap Megawati dan Guruh tak berbahaya. Ternyata, Soeharto salah perhitungan. Nama Megawati langsung melejit. Dan bahkan secara mengejutkan Megawati terpilih meenjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI periode 1993-1998 dalam Kongres PDI di Surabaya tahun 1993. Megawati mengalahkan Soerjadi yang didukung pemerintah. Pemerintah Tak Akui Kepemimpinan Megawati Kemenangan Megawati itu membuat Soeharto marah. Soeharto khawatir PDI di bawah kepemimpinan Megawati akan menjadi besar, dan mengancam keberadaan Golkar. Soeharto menyadari Megawati tidak bisa disetir. Untuk itu berbagai cara dilakukan menggulingkan Megawati. Pemerintah menciptakan konflik di internal PDI, mengadu domba kubu Megawati dengan kubu Soerjadi. Pemerintah tak mengakui kepemimpinan Megawati dan mengizinkan digelarnya Kongres PDI tandingan di Medan tahun 1996 yang diadakan kubu Soerjadi. Dalam Kongres PDI di Medan tersebut, Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum. Pemerintah merestui PDI dipimpin Soerjadi, dan mencoret semua daftar caleg Pemilu 1997 versi Megawati. Yang diakui pemerintah hanya daftar caleg versi Soerjadi. Manuver rezim Soeharto itu membuat para kader dan simpatisan PDI Megawati murka. Mereka menduduki kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro No. 58 Menteng, Jakarta Pusat. Mereka membuat panggung demokrasi dan berorasi menghujat pemerintah. 27 Juli 1996 kantor DPP PDI diserbu orang-orang tak dikenal dengan senjata tajam dan senjata api. Para kader dan simpatisan PDI melakukan perlawanan dengan tangan kayu dan senjata tajam. Namun, mereka kalah. Banyak di antara mereka yang tewas dan terluka berat. Dalam Sidang Umum MPR 1998 Soeharto kembali terpilih menjadi Presiden periode 1998-2003. Namun, tanggal 21 Mei 1998 Soeharto akhirnya berhasil dipaksa turun oleh gerakan reformasi. BJ Habibie yang semula menduduki kursi Wakil Presiden naik menjadi Presiden ketiga RI. Di era reformasi Megawati mendirikan PDI-P pada Desember 1998. Pada Pemilu 1999 yang diikuti 48 parpol tersebut PDI-P keluar sebagai juara, Golkar berada di urutan kedua, PPP menduduki peringkat ketiga, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menempati ranking keempat, dan Partai Amanat Nasional (PAN) menyabet posisi keempat. Dalam Sidang Umum MPR 1999 KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terpilih menjadi Presiden, sedangkan Megawati harus puas menjadi menjadi Wakil Presiden. Pada 23 Juli 2001 MPR memberhentikan Gus Dur. Megawati kemudian naik kelas menjadi Presiden hingga Oktober 2004. (Arif RH)