Jumat, 19 April 24

Era Perusakan Hukum?

Oleh: Teuku Gandawan, Direktur StrategiIndonesia ™, Alumni ITB, dan Pemerhati Sosial Politik

 

Berulang kali kita melihat aparat hukum dengan ceroboh menempatkan seseorang menjadi pesakitan hukum yang kemudian diketahui ternyata korban salah duga aparat. Memang ada mekanisme rehabilitasi jika ternyata terjadi kesalahan.

Rehabilitasi buat pesakitan adalah satu hal, walau ini kerap tidak cukup adil. Karena belum tentu orang yang mendengar saat ditersangkakannya seseorang, juga mendengar saat yang bersangkutan dipulihkan nama baiknya.

Pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto pernah dikriminalisasikan lalu dianggap selesai kasusnya. Tapi dengan konsekuensi mereka tersingkir dari jabatannya tanpa keadilan yang cukup.

Ahok yang terang benderang menista agama, diperumit kasusnya sedemikian rupa seolah dialah korbannya. Seolah umat Islam yang tak adil kepada umat Kristen dan keturunan Cina. Berbagai aksi kekerasan dan melanggar hukum oleh massa kotak-kotak pada masa pilkada dibiarkan aparat seolah bukan persoalan hukum.

Kasus lainnya adalah tuduhan money laundry kepada Ustadz Adnin Armas dan Ustadz Bachtiar Nasir. Kini kasusnya menguap tanpa ada penjelasan. Kapolri yang sekenanya menersangkakan Ustadz Adnin saat RDP DPR juga tidak terkena sanksi apapun, walau status tersangka tersebut kemudian dibantah Bareskrim.

Kini kita juga sedang melihat bagaimana Kapolri dan Kapolda dengan tegas menyatakan tersangka kepada Firza Husein dan Habib Rizieq Syihab. Kita menyaksikan bagaimana Kapolda dengan enteng menyatakan kasus ini mirip dengan kasus Ariel. Bagaimana kalau faktanya tidak demikian?

Begitu keras kasus dugaan seks FH dan HRS ini dikejar, sedangkan kasus pesta LGBT yang tertangkap basah malah para pelakunya diepaskan begitu saja. Bagaimana bisa dua kasus seksual yang bersamaan terjadinya diperlakukan bertolak belakang?

Berbagai aksi Densus 88 juga tak luput dari keserampangan. Sekian orang harus mati di ujung peluru panas dengan dugaan pelaku teroris yang tak bisa dibuktikan dengan tegas. Bukti yang disodorkan hanya buku, bendera, sajam, panci dan ciri-ciri puritan. Absurd sekali.

Apakah memang tidak ada konsekuensi hukum bagi aparat-aparat yang berlaku demikian? Apakah mereka bisa berlaku seenaknya? Inikah wajah negara hukum di bawah Presiden Jokowi?

Presiden Jokowi boleh berpidato di berbagai kesempatan seolah dia patuh hukum, dia tidak memihak, dia ingin semua berjalan sesuai prosedur. Faktanya berulangkali aparat bekerja tak sesuai tupoksi dan prinsip keadilan, tidak pernah sekalipun kita mendengar Presiden menegur Kapolri dan jajarannya.

Artinya apa? Artinya Presiden Jokowi melakukan pembiaran. Presiden secara tak langsung sudah merusak citra hukum. Siapa yang dirugikan? Seluruh rakyat negeri ini! Ketidakpastian hukum membuat pihak investor asing menjadi jengah. Mereka berinvestasi alakadarnya jika kita bandingkan dengan nilai investasi asing di negara-negara tetangga kita.

Ini akan terus berlangsung jika Presiden Jokowi tak kunjung menyadari pentingnya hukum tegak di atas kepentingan politik kekuasaan. Tentu harusnya Presiden Jokowi tidak merencanakan dirinya akan tercatat dalam sejarah kehidupan negara ini sebagai presiden yang paling bobrok dalam menegakkan hukum. Atau apa memang itu rencananya? Menjadikan eranya sebagai era hukum dirusak? Hanya Presiden Jokwi yang tahu. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.