Kamis, 28 Maret 24

Breaking News
  • No items

Enam Pertimbangan MK yang Lalu Soal Presidential Threshold

Enam Pertimbangan MK yang Lalu Soal Presidential Threshold
* Yusril Ihza Mahendra salah satu pihak yang akan menggugat UU Pemilu ke MK.

Jakarta, Obsessionnews.com – Meski RUU Pemilu sudah disahkan menjadi UU. Namun tetap sejumlah partai ada yang menolak diberlakukan sistem ambang batas pencalonan presiden dan juga anggota legislatif atau presidential threshold dan parlementery threshold.

Mahkamah Konstitusi (MK) periode yang lalu pernah memutuskan ambang batas adalah kebijakan terbuka yang sifatnya sah dan konstitusional. Hal itu bertujuan agar mencegah kebebasan tanpa batas dengan menciptakan iklim politik yang sehat. Sikap MK di tahun 2008 saat itu tertuang dalam pertimbangan MK dalam putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.

Usai disahkan di mana partai pendukung pemerintah sepakat memilih paket A yang mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20-25 persen. Maka UU itu kemudian digugat kembali di MK oleh sebagian kalangan yang tidak setuju.

Dalam website resmi MK dijelaskan ada enam pertimbangan mengapa, sistem ambang batas dalam pemilu perlu dilakukan. Berikut enam penjelasan MK soal presidential threshold dan
parlementery threshold.

1. Hukum Harus Menciptakan Iklim Politik yang Sehat

Paradigma yang telah berubah setelah adanya perubahan UUD 1945, yaitu dari paradigma pemerintahan yang sentralistis otoriter menjadi pemerintahan yang desentralistis demokratis dalam banyak hal dilakukan pada tingkatan Undang-Undang yaitu pendelegasian kewenangan dari pusat ke daerah seperti pada otonomi daerah. Di samping itu, penghargaan terhadap kedudukan individu tercermin pada meningkatnya kesadaran hukum dengan hak-hak asasi manusia, baik untuk perseorangan maupun untuk kelompok.

Penguatan atas hak asasi manusia mendorong rakyat untuk melunakkan sifat represif negara serta membangun terbentuknya masyarakat yang demokratis yang bisa berwujud pemilihan umum yang langsung, bebas, jujur, dan adil.

Dengan demikian akan tercipta iklim politik yang sehat dan bermanfaat bagi bangsa dan negara.

2. Hukum Harus Mencegah Kebebasan Tanpa Batas

Perubahan paradigma yang diikuti oleh perubahan hukum tersebut harus memperhitungkan tingkat kemampuan rakyat untuk beradaptasi dengan perubahan dimaksud. Untuk itu perlu memperhitungkan seberapa lama hukum baru itu sudah dapat diterima dan dijalankan secara maksimal sebagai proses pelembagaan hukum serta kendala apa saja yang akan dialami oleh adanya hukum yang baru tersebut.

Tanpa memperhitungkan faktor-faktor di luar hukum tersebut, maka hukum yang baru itu berpotensi menimbulkan ketidakpastian yang resikonya mungkin tidak mampu dipikul oleh rakyat.

Betapa dahsyatnya beban sosial dan ekonomi yang harus dipikul oleh rakyat dan negara akibat dari meledaknya persoalan ketatanegaraan seperti jumlah partai dari Pemilu ke Pemilu tanpa desain hukum (legal design) yang jelas akan apa yang hendak dibangun dengan sistem kepartaian di Indonesia. Hal itu diperparah dengan alasan-alasan yang mendasarkan diri pada kebebasan individu yang konsepsinya diterima begitu saja tanpa memperhitungkan kondisi baik lokal maupun internasional.

“Sudah waktunya pula untuk tidak terjebak dengan kebebasan tanpa batas, sehingga segala sesuatunya menjadi serba boleh (permissive). Demokrasi atas landasan demikian adalah demokrasi yang tidak menyejahterakan atau membahagiakan rakyat,” cetus MK.

3. Hukum Bersifat Dinamis dan Statis

Hukum pun mengandung sifat statis dan sifat dinamis. Sifat statis untuk menjaga dan menciptakan stabilitas dan kepastian hukum. Sifat dinamis untuk memberikan kelenturan dalam mengikuti dinamika masyarakat.

Terlalu cepat berubah akan menimbulkan ketidakpastian dan anomali dalam masyarakat yang tercermin dari tidak sesuainya apa yang diinginkan oleh (tafsir) hukum baru dengan perilaku nyata masyarakat. Ada jarak antara formal democracy dengan substantial democracy. Di mana-mana orang meneriakkan demokrasi padahal yang terjadi adalah anarki.

4. Tafsir Hukum yang Konstruktif

Tafsir-tafsir baru atas konstitusi dituntut sehingga sering menciptakan ketidakpastian dalam masyarakat karena menimbulkan contradictio in terminis, melupakan proses-proses pelembagaan hukum yang memakan waktu panjang agar suatu saat dengan penuh kejernihan mampu mengevaluasi apa yang kurang dan apa yang perlu dilakukan perbaikan terhadap hukum tersebut.

5. Tanggung Jawab Pembentuk UU dan Penafsir Konstitusi

Para pembentuk Undang-Undang, demikian juga para penafsir konstitusi harus bertanggung jawab untuk mendiagnosis dan menentukan pilihan penafsiran yang paling sesuai dengan kebutuhan masyarakat masa kini dan akan datang. Bukan saja dari lapisan masyarakat perkotaan tetapi juga masyarakat pedesaan yang penuh dengan kesederhanaan cara berfikir dan bertindak dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

Hukum tidak lagi menjadi monopoli para ahli di bidang hukum, tetapi juga harus mampu menjadi milik bersama. Mahkamah selaku pengawal dan penafsir konstitusi harus membangun suatu “institutional dialogue at achieving the proper balance between constitutional principles and public policies”. Dengan demikian akan
dicapai argumen atau alasan yang baik bagi semua pihak.

6. Hukum Harus Bisa Mengukur Kemampuan Masyarakat

Hukum dalam memenuhi fungsinya sebagai sarana adaptasi atas perubahan-perubahan yang terjadi yang tidak ditentukan begitu saja tanpa memperhitungkan kemampuan adaptasi masyarakat sebagai addressat ketentuan hukum tersebut. Jika tidak demikian maka akan berlaku seleksi alamiah (survival of the fittest), yang akan merugikan mereka yang tidak atau kurang mampu beradaptasi oleh perubahan hukum.

Atas pertimbangan di atas, maka MK menilai threshold adalah kebijakan terbuka yang sah dan konstitusional.

“Mahkamah berpendapat tata cara sebagai prosedur pemilihan presiden/wakil presiden dikaitkan dengan Pasal 22E ayat 6 UUD 1945 sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan dalam pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan threshold yang diamanatkan dalam UUD 1945,” ucap majelis pada 18 Februari 2009. (Albar)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.