Kamis, 25 April 24

Diskusi GN Center: Capres Alternatif Berpeluang Mentas 2019

Diskusi GN Center: Capres Alternatif Berpeluang Mentas 2019
* Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro (kedua kiri) FOTO: RILIS.ID

Jakarta, Obsessionnews.com – Calon presiden (capres) alternatif berpeluang mentas pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Hal ini mengemuka pada diskusi bertema “Siapa Presiden 2019” yang digelar oleh Garuda Nusantara (GN) Center di Bangi Kopi Tiam SCBD, Jakarta, Kamis (12/10/2017).

Nara sumber diskusi adalah Prof Siti Zuhro (Peniliti utama LIPI), Prof Rocky Gerung (Dosen Fisipol UI) dan Dr Syahganda Nainggolan (Direktur SMC), dengan moderator Rahman Toha (Sekjen KA KAMMI). Diskusi yang ditutup doa oleh Ustadz Sambo (Ketua Presidium Alumni 212) ini dihadiri kalangan tokoh masyarakat diantaranya: Al Habib Muchsin, Syarwan Hamid, Edi Junedi, Ishak Raffic dan lain-lain dengan seratusan peserta aktif.

Prof Siti Zuhro memaparkan, konstestasi Pilpres 2019 akan menarik karena petahana kurang berhasil melakukan program-program pembangunannya. Apalagi, visi dan tujuan pemerintahannya tidak terpatri dengan baik. “Sehingga publik sulit menangkap maknanya,” ungkapnya.

“Banyak juga terjadi kegaduhan serta tidak kompatibelnya pemerintahan dengan seringnya reshuffle, serta adanya personel kabinet yang tidak ferporm,” bebernya pula.

Maka, lanjut Zuhro, ke depan yang dibutuhkan publik adalah “Strong Government” yang menstabilisasi pemerintahan guna berakselarasi percepatan ekonomi. “Hal ini penting mengingat masalah kesenjangan sosial, ekonomi, hukum begitu problem di era saat ini,” tandasnya.

Zuhro juga menekankan pentingnya demokrasi partisipatoris dari masyarakat untuk otonom memilih pemimpinnya. “Jangan lagi partai politik menentukan segalanya. Sehingga ke depan bermunculan figur pemimpin yang didamba masyarakat, bukan parpol semata,” tuturnya.
.
Prof Rocky Gerung menegaskan, saat ini kita menghadapi masyarkat yang terbelah secara diametral utamanya sehabis Pilkada DKI Jakarta. “Yang ironis hal ini disebabkan ketidakmampuan state menjalankan fungsi secara baik. Hukum tidak berjalan secara koridor keadilan,” paparnya.

“Bila kritis langsung dijerat. Lain kalau dari pihak pendukung pemerintah hukum tumpul. Hal ini menjadi kerawanan social, yang bakal mengarah kekacauan social,” tambahnya.

Ia pun punya alasan soal kekhawatiran itu. Rocky menuturkan, hubungan masyarakat tidak lagi berdasarkan etika humanis yang sedari awal didengungkan para pendiri bangsa. Dalam hubungan masyarakat yang muncul malah kebencian dan dendam politik.

“Hal itu, membuat keakraban masyarakat dalam negara menjadi hilang. Keakraban negara hilang. Relasi antarwarga negara dibayang-bayangi oleh dendam dan kebencian,” tegasnya,

Hanya saja, menurut Rocky, basis yang dianggap sebagai infrastruktur demokrasi ini sudah tidak tampak dalam dinamika kehidupan sosial.

Rocky menganggap, pembangunan infrastruktur ekonomi yang digalakkan pemerintah tidak akan memberikan penyelesaian masalah sosial. Alasannya karena ruang bagi infrastruktur demokrasi terhambat.

Parahnya, dalam penilaian Prof Rocky, Indonesia sudah tidak punya instrumen demokrasi. “Jadi kita tidak punya infrastruktur berdemokrasi,” pungkasnya.

Sementara itu, Dr Syahganda Nainggolan mengatakan, publik menginginkan figur yang baru dalam kontestasi Pilpres ke depan. Menurutnya, sangat dimungkinkan munculnya figur alternatif. “Design framing kita hanya dikooptasi oleh figur Jokowi dan Prabowo, padahal publik harus dapatkan kemewahan untuk dambakan figur baru,” tandasnya.

Ia menilai, kemunculan sosok Jenderal Gatot Nurmantyo seakan menjadi oase akan sosok yang pandamai dari munculnya dua titik ekstrim pasca Pilkada DKI yakni kutub Pancasilais dan kubu agamis. “Hanya sosok yang berkapasitas tinggi yang bisa menyatukan dua kutub ekstrim ini,” tuturnya.

Bila tidak, kata dia, masyarakat akan terus terbelah. “Sangat disayangkan ketika dunia alami krisis kita tidak memainkan politik secara canggih. Akibatnya, kita seperti dalam lingkaran kabut gelap. Politik gaduh, ekonomi masih loyo,” bebernya.

Syaghanda juga menyakini figur Gatot Nurmantyo tidak akan tenggelam meski berhenti baik dipecat maupun pensiun dari TNI. “Jendera Gatot berbeda ketimbang Panglima TNI sebelumnya. Yakni ada momentum yang mengiringi dari mulai aspirasi umat terhadap penistaan agama maupun kecemasan akan PKI bangkit,” sebutnya.

Menurutnyha, pembelaan Jenderal Gatot terhadap Kedaulatan NKRI menciptakan kesan Nasionalistik. “Jenderal Gatot sering berujar soal Proxy dan Makmurnya RI sehingga jadi incaran serius kekuatan dominan dunia,” jelasnya.

Syahganda optimistis sosok Jendera Gatot bisa diterima publik sebagai bagian penerimaan fakta sosok seperti apa yang dibutuhkan rakyat saat ini. (Red)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.