Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

Catatan Pulang Kampung (Bagian 4)

Catatan Pulang Kampung (Bagian 4)

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, New York

 

Bagi saya pulang kampung ke Makassar sekalian kembali bernostalgia dengan masa lalu di pondok pesantren. Karenanya saya lebih memilih tinggal di rumah mertua di kompleks pesantren ketimbang di hotel. Walaupun kenyataannya ada saja yang selalu menyiapkan bagi saya kamar di sebuah hotel di kota ini. (Baca: Catatan Pulang Kampung (Bagian 1))

Salah satu kegiatan rutin saya di pesantren adalah memberikan kuliah subuh kepada para santri dan guru-guru yang hadir. Pesantren “Darul-Aman” adalah pondok yang didirikan oleh KH Abdul Djabbar Ashiry, guru dan kiai kami dulu di pesantren Muhammadiyah “Darul-Arqam” Gombara bersama KH Abdul Djalil Thohir, juga mantan direktur Pesantren Gombara saat itu. Kini pesantren “Darul-Aman” menjadi salah satu pesantren yang mengalami kemajuan pesat di wilayah Sulsel, baik secara kuantitas maupun kualitas sebagai institusi pendidikan Islam.

Umumnya ceramah-ceramah yang saya sampaikan bersifat motivasi, sekaligus membuka wawasan santri terhadap perubahan dunia yang super cepat. Memotivasi para santri untuk membangun jiwa percaya diri (self confidence) bahwa dunia pesantren adalah dunia yang unik dan dahsyat. Pesantren adalah basis penting, bahkan terpenting, bagi umat ini dalam membangun sumber daya manusia dan skill kepemimpinan dunia. (Baca: Catatan Pulang Kampung (Bagian 2))

Intinya adalah saya mengingatkan para santri dan gurunya bahwa salah satu penyakit kronis umat masa kini adalah hilangnya percaya diri itu. Ada asumsi umum yang terbangun seolah dunia pesantren, bahkan umat secara keseluruhan, tidak mampu bersaing dengan kompetitor lain yang ada di dunia saat ini. Sehingga kita lebih bersiap untuk menjadi “objek” dalam segala hal ketimbang menjadi “pelaku”. Lihatlah misalnya betapa umat saat ini menjadi objek pasar, bahkan maaf lebih dari itu menjadi objek mainan dunia luar.

Inferiority Complex

Sebagai anak bangsa yang telah hidup di luar negeri sejak umur 18 tahun, sejak tamat pesantren (setingkat SMU), saya tetap menaruh perhatian penuh terhadap perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Semakin saya mengenal bangsa dan negara saya, semakin pula rasa bangga itu tumbuh. Entah inikah yang disebut rasa nasionalisme?

Akan tetapi pada saat yang sama dengan situasi riil di lapangan, juga menumbuhkan rasa sedih, bahkan terkadang amarah dalam hati. Betapa situasi umat, termasuk umat Indonesia saat ini mengalami fase degradasi yang sangat memprihatinkan. Kemiskinan, kebodohan dan perpecahan yang dalam di antara sesama menjadi sesuatu mendominasi. (Baca: Catatan Pulang Kampung (Bagian 3))

Tapi barangkali yang paling menyedihkan adalah tumbuhnya sifat “inferioritas” umat. Perasaan minder dan rendah diri yang luar biasa. Bangsa Indonesia kehilangan rasa percaya diri (confidence), dan karenanya bertekuk lutut dan silau dengan kehebatan orang lain.

Kecenderungan inferioritas ini meliputi dua sisi kehidupan, dunia dan agama. Dalam hal dunia, sebagai ilustrasi saja, sebuah perusahaan di Indonesia ingin merekrut seorang insinyur. Ada dua orang yang melamar. Seorang warga sendiri, asli Indonesia, tamatan ITB atau ITS. Seorang lagi pelamar berwarga Amerika, berkulit putih, tamatan NYU atau Harvard. Saya curiga justru perusahaan itu akan lebih memilih pelamar Amerika.

Pertanyaannya kenapa yang Amerika? Jawabannya tidak selalu karena kualifikasi dan kemampuannya. Tapi lebih kepada asumsi yang sudah terbangun selama ini bahwa seorang tamatan Amerika, apalagi orang Amerika berkulit putih, pasti kebih hebat. Sementara warga/bangsa sendiri akan dilirik sebelah mata.

Dalam hal agama juga demikian. Masih saja banyak umat Islam Indonesia yang menghubungkan kehebatan beragama seseorang dengan ras dan kebangsaan. Kerap kali jika ada orang Arab Muslim, apalagi mengaku sebagai keturunan nabi, orang-orang akan berlomba cium tangan untuk mendapakan keberkahan (barokah). Tapi seorang ulama besar dari bangsa sendiri boleh jadi disikapi biasa-biasa saja.

Di kedua sisi kehidupan di atas, dunia dan agama menggambarkan suasana kejiwaan yang inferior (rendah diri atau minder). Sikap yang bukan saja tidak percaya diri. Bahkan cenderung merendahkan diri dan sesama bangsa.

Oleh karenanya ceramah-ceramah yang saya sampaikan di pondok bertujuan membangun rasa “percaya diri” (confidence) dan termotivasi untuk melakukan yang terbaik. Lebih jauh bahkan siap bersaing dengan bangsa lain dalam menampilkan karya-karya terbaik.

Saya teringat kata-kata seorang teman yang kebetulan juga seorang pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri Amerika. Beliau pernah berkata kepada saya,”Shamsi, you the Indonesian people must be less humble.” Yang kira-kita artinya,”Anda orang Indonesia itu harus mengurangi ketawadhuan.”

Awalnya saya terkejut. Apakah kami diminta menyombongkan diri? Bukankah tawadhu atau rendah hati itu adalah nilai kemanusiaan yang mulia? Saya menanyakan kepada beliau. Beliau menjawab,”Bukan. Tapi anda harus lebih berani menampilkan potensi anda sebagai umat Islam terbesar di dunia. Bangsa Indonesia memiliki kredibilitas dan potensi besar dalam menampilkan Islam yang sesungguhnya. Bukan Islam yang didistorsi oleh misinformasi media saat ini.”

Saya lalu tersadarkan kalau ternyata beliau menangkap dari bangsa ini sikap malu-malu, bahkan minder tadi. Punya potensi tapi merasa tidak mampu apa-apa. Sehingga semua peluang itu diambil oleh orang lain. Padahal orang lain belum tentu punya kredibilitas dan potensi itu. (Bersambung)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.