Kamis, 18 April 24

Ahok Sumber Masalah, Pengadilan Harus Bijak!

Ahok Sumber Masalah, Pengadilan Harus Bijak!
* Unjuk rasa menuntut Ahok si penista agama dipenjara.

Oleh: Edward Marthens, pekerja sosial, tinggal di Jakarta

 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus penodaan agama oleh terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus sering-sering berselancar di dunia maya. Ini penting banget. Pasalnya, dalam beberapa hari terakhir ini, jagad medsos dibanjiri respons atas postingan ancaman Nathan Purwanto. Warga Surabaya ini dengan jumawa mengancam akan membunuh Fahira Idris, Buni Yani, Fadli Zon, Habib Rizieq Shihab, dan Fahri Hamzah lewat akun twitternya.

Tidak bisa tidak, unggahan Nathan ini sudah masuk kategori ujaran kebencian. Kapolri Tito Karnavian dan jajarannya bolak-balik mengingatkan, sesuai UU ITE ada sanksi tegas bagi para pelakunya. Tito bahkan sudah membuktikan ancaman tersebut kepada sejumlah pihak yang dianggap melabrak UU ITE. Buni Yani adalah salah satu korbannya.

Kita tunggu, apakah Tito akan menerapkan ancaman itu kepada Nathan? Jangan lupa, heboh status yang bernafsu membunuh ulama dan sejumlah tokoh itu sudah berseliweran sejak empat hari silam. Akan jadi aneh, kalau sampai sekarang polisi masih belum beringsut untuk bertindak. Padahal biasanya, polisi paling gesit dan sigap menangkap pelakunya, terutama kalau dianggap yang menjadi korban adalah Ahok dan para konconya.

Oh ya, sekadar info saja, Nathan ini beretnis Cina, sama dengan Ahok. Sama juga dengan Steven Hadisuryo yang mencaci Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Zainul Madjdi di Bandara Changi, Singapura. Steven menyebut gubernur hafal 30 juz al Quran itu dengan pribumi tiko. Kata tiko adalah akronim dari tikus kotor. Sebagian menyebut tiko juga bermakna anjing babi.

Sayangnya, hingga kini publik tidak mendengar adanya tindakan polisi terhadap Steven. Padahal, begitu mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Zainul Majdi langsung melaporkan ke polisi.

Bandingkan dengan Ahmad Sadeli, yang langsung ditangkap hanya gara-gara dalam deklarasi dukungan kepada pasangan calon (paslon) Anies-Sandi mengatakan,“Tidak akan mendukung calon gubernur kafir.” Polisi menilai ucapan “calon gubernur kafir” telah memenuhi unsur ujaran kebencian. Padahal, saat itu tidak ada seorang pun yang melaporkan Ahmad Sadeli ke polisi. Hebat, kan?

Apa jangan-jangan pasal-pasal tentang ujaran kebencian memang tidak berlaku kalau pelakunya adalah orang Cina, ya? Ada yang mau tolong memberi pencerahan?

Tentu saja, tidak semua Cina sombong dan bermasalah seperti Ahok. Masih banyak Cina lain yang baik. Mereka bahkan telah menunjukkan nasionalisme dan kecintaannya yang amat besar kepada Indonesia. Di ranah olah raga, khususnya bulutangkis, ada banyak Cina yang berjasa besar. Rudi Hartono, Liem Swie King, Alan dan Susi, serta yang lainnya. Yang masih berkelebatan di sekitar kita antara lain ada Kwik Kian Gie, Jaya Suprana, Lieus Sungkharisma, dan Zeng Wei Jian.

Saat Kwik duduk di kabinet sebagai Menko Perekonomian dan Kepala Bappenas, tidak ada kehebohan yang memantik kemarahan publik. Begitu juga ada Menteri ESDM dan mantan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan, semuanya baik dan lancar-lancar saja. Dulu, ada Marie Elka Pangestu yang menjadi Menteri Perdagangan. Kalaupun ada protes di sana-sini terhadap Marie, itu karena kebijakannya dianggap terlalu beraroma neolib. Bukan karena dia Cina!

Mencontoh Ahok

Kembali ke sidang penistaan agama oleh Ahok, semestinya heboh Nathan ini menjadi perhatian khusus bagi JPU. Sangat boleh jadi, maraknya sikap arogan ini dipicu oleh prilaku Ahok yang kelewat sombong. Dengan jabatan yang disandangnya, si gubernur yang satu ini merasa berhak dan boleh memaki siapa saja di depan publik.

Bahkan dia juga tidak merasa bersalah saat menistakan surat al Maidah ayat 51. Kendati memantik kemarahan luar biasa umat Islam dan berujung aksi bela Islam berjilid dengan masa hingga jutaan orang, Basuki tetap merasa tidak bersalah. Kepada televisi Al Jazeera lagi-lagi dengan pongah dia menyatakan tidak segan-segan mengulang pidatonya di Kepulauan Seribu yang menghebohkan itu.

Buat sebagian kalangan minoritas Cina, diam-diam Ahok telah menjadi contoh, bahkan idola. Mereka juga ‘belajar’, bahwa ternyata di negeri ini boleh menghina dan menistakan agama lain; terutama kalau dilakukan oleh minoritas Cina terhadap mayoritas. Tidak percaya, silakan berselancar di dunia maya. Anda akan menemukan banyak unggahan ujaran kebencian datang dari kalangan Cina kepada pribumi dan umat Islam.

Buktinya, ya Ahok itu. Walau sudah menistakan agama Islam yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia, toh dia masih bebas-bebas saja. Dia tidak ditahan walau diancam dengan hukuman lima tahun, dia tidak dipenjara sebagaimana para pelaku penista agama lainnya, juga tidak diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai para kepala daerah lain. Bahkan di pengadilan pun hanya dituntut hukuman setahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Bagaimana JPU melihat fakta ini? Dia harus bisa dan berani menggunakan nuraninya. Mosok rentetan fakta yang begitu benderang tidak mampu mengusik lubuk hatinya yang paling dalam.

Pelajaran penting tentang pun mestinya berlaku bagi majelis hakim yang mengadili perkara penodaan agama oleh Ahok. Kalau tidak ada aral melintang, vonis akan dibacakan pada Selasa, 9 Mei 2017. Sebagai pemutus vonis, mereka adalah ‘wakil Tuhan’ di meja pengadilan. Jika mereka bekerja berdasarkan ilmu dan nuraninya, kita percaya hakim tidak akan melacurkan diri. Sebaliknya, kalau mereka lebih suka tunduk kepada kekuasaan yang menekan, mari kita lihat bakal seperti apa nasib Indonesia yang kita cintai ini ke depan… (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.